“Kabar-kabar tentang Paduka telah sampai pada kami bersinar bagai permata. Tetapkanlah hati. Paduka akan beruntung jika Paduka bekerja semata karena takwa pada Allah. Janganlah takut akan kemalangan dan jauhilah segala perbuatan jahat. Jika orang melakukan yang demikian, akan dia temukan surga tanpa awan dan bumi tanpa kotoran..” Surakarta, 1772.
TIGA surat berbahasa Arab beserta bendera bertulis “La ilaha illallah” yang diserahkan Patih Kasunanan, Raden Adipati Sasradiningrat itu menggemparkan kediaman Residen F.C. Van Straalendorff. Salinan terjemah dari salah satu nawala yang kemudian dikirim ke Batavia bahkan membuat Gubernur Jenderal VOC, Petrus Albertus van der Parra (1761-1775) sukar tidur, meski Sasradiningrat bersumpah bahwa tak seorang Jawapun yang telah membaca surat itu selain dia dan carik (sekretaris)-nya.
Penulis surat itu tinggal nun jauh di Makkah. Namanya Syaikh ‘Abdushshamad Al Jawi Al Falimbani (1704-1789), seorang ‘ulama besar di Masjidil Haram kelahiran Palembang, penulis berbagai kitab dan yang terpenting untuk disebut di sini di antaranya berjudul Nashihatul Muslimin wa Tadzkiratul Mu’minin fi Fadhailil Jihadi wa Karamatil Mujahidin (Nasehat orang-orang muslim dan pengingat orang-orang mukmin tentang keutaman jihad dan kemulian para mujahid).
Alamat yang dituju adalah tiga anggota Wangsa Mataram yang paling berkuasa di Jawa; Kangjeng Sultan Hamengkubuwana I (1755-1792) di Yogyakarta, Sri Susuhunan Pakubuwana III (1749-1788) di Surakarta, dan Pangeran Miji Mangkunegara (1757-1795).
Yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Jawa oleh Carik Kertabasa adalah surat untuk Mangkunegara, yang lalu dialihmakna ke Bahasa Belanda untuk dikirim pada Gubernur Jenderal. Sejarawan Merle C. Ricklefs dalam karyanya, Yogyakarta Under Sultan Mangkubumi 1749-1792, menduga bahwa surat untuk Mangkunegara inilah yang paling menghasut, mengingat Sang Pangeran “angkuh dan mudah berkelahi” serta “lebih cenderung menggunakan kekerasan” karena “milik yang dipertaruhkannya paling kecil dan berharap mendapat lebih besar jika terjadi pergolakan”.
Tapi patut pula diduga, surat untuk Susuhunan Surakarta, dan terutama Sultan Yogyakarta yang pernah membuat VOC berdarah-darah dalam Perang Palihan Nagari (1746-1755) tak kalah seru isinya. Bahkan konon surat untuk Sultan disertai hadiah air zam-zam sebagaimana dahulu moyangnya Sultan Agung (1613-1645) menerimanya dalam Enceh Kyai Mendung dari Sultan ‘Utsmani, Murad IV (1623-1640) dan Syarif Makkah, Zaid ibn Muhsin Al Hasyimi (1631-1666). Tentu saja, atas perintah Batavia semua surat itu segera dihancurkan agar tak bocor isinya.
Arena Paduka adalah keturunan Raja-raja Mataram yang dianugerahi berkat Allah dan RasulNya. Maka keadilan Paduka sudah diketahui di mana-mana. Lagi pula sudilah hendaknya Paduka membaca ayat-ayat Al Quran yang berbunyi: ‘Sedikit orang dapat mengalahkan kekuatan besar.’
Lagi pula sudilah hendaknya Paduka mempertimbangkan bahwa dalam Quran tertulis ayat-ayat yang menyatakan: ‘Bila seseorang mati dalam Perang Sabil, janganlah kalian katakan dia mati.’ Karena Allah telah berfirman bahwa jiwa orang itu masuk ke dalam badan seekor burung yang langsung membawanya ke surga.
Dan haruslah lebih-lebih Paduka camkan, karena jiwa yang mati dalam Perang Sabil adalah bagai bunga yang harumnya tercium dari fajar sampai petang. Ya, bahkan semua Makkah dan Madinah, beserta seluruh negeri Melayu, takjub akan keharumannya.”
Dalam kutipan singkat kita membaca, betapa luar biasa perhatian Syaikh ‘Abdushshamad yang ayahnya menjadi Mufti Kesultanan Kedah ini terhadap perkembangan Nusantara dan bagaimana pemahamannya akan kewajiban ‘Ulama untuk menasehati Umara’, menegakkan amar ma’ruf-nahi munkar, serta mengobarkan jihad di Nusantara melawan kekuatan penjajah kafir.
Betapapun surat-surat ini keburu dicegat oleh Patih Surakarta yang amat setia kepada VOC dan gagal sampai pada tujuannya, tulisan kami ini hendak memberi penghargaan kepada kurir yang telah membawanya menantang bahaya, terombang-ambing di lautan dari Jeddah ke Aden ke Mascat ke Gujarat ke Sailan ke Penang ke Palembang ke Batavia ke Semarang hingga sampai di ibukota Kasunanan. []
BERSAMBUNG