KETAHUILAH bahwa setiap sesuatu bisa ternoda oleh yang lain. Jika sesuatu itu bersih dan terhindar dari kotoran, maka itu dinamakan khalish (yang bersih). Pekerjaan membersihkan disebut ikhlash.
Allah berfirman: “(berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang yang meminumnya.” (an-Nahl: 66)
Lawan ikhlas adalah syirik. Siapa yang tidak ikhlas adalah musyrik, hanya saja syirik itu ada beberapa tingkatan. Ikhlas dan lawannya senantiasa datang kepada hati. Jadi tempatnya adalah hati dan hal itu hanya berkenaan dengan tujuan dan niat.
Disebutkan bahwa hakikat niat itu mengacu kepada respon berbagai hal yang membangkitkan. Bila faktor pembangkitnya hanya satu maka perbuatan itu disebut ikhlash dalam kaitannya dengan apa yang diniatkan.
Siapa yang bershadaqah dengan tujuan riya’ (pamrih kepada manusia) semata-mata maka dia (secara bahasa) disebut sebagai orang yang mukhlish. Siapa yang tujuannya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah maka dia juga disebut orang yang mukhlish.
Tetapi sudah menjadi tradisi bahwa istilah ikhlash itu khusus berkenaan dengan tujuan semata-mata mencari taqarrub kepada Allah dan pelakunya disebut mukhlish, sebagaimana istilah ilhad berarti kecenderungan tetapi sudah menjadi tradisi istilah ini ditanami sebagai penyimpangan dari kebenaran. Siapa yang pembangkitnya semata-mata riya’ (pamrih kepada manusia) maka dia terancam kehancuran.
Mari kita belajar untuk ikhlas. Karena amal tanpa ikhlas adalah sia-sia.[]
Sumber: Intisari Ihya ‘Ulumuddin al-Ghazali Mensucikan Jiwa/ Disusun Oleh: Sa’id Hawa/ Penerbit:Robbani Press