KHITBAH atau yang dikenal dengan istilah meminang artinya ketika ada seorang laki-laki yang datang meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku dalam masyarakat tersebut.
Selanjutnya jika pihak wanita menerima lamaran pihak lelaki maka pasangan tersebut dinyatakan telah bertunangan. Dalam melaksanakan khitbah atau lamaran ada dua syarat yang harus dipenuhi yakni :
1. Syarat mustahsinah
Syarat mustahsinah adalah syarat yang menganjurkan pihak laki-laki untuk meneliti dahulu wanita yang akan dipinang atau dikhitbahnya. Syarat ini termasuk syarat yang tidak wajib dilakukan sebelum meminang seseorang.
Khitbah seseorang tetap sah meskipun tanpa memenuhi syarat mustahsinah. Bagi seorang lelaki ia perlu melihat dulu sifat dan seperti apa penampilan wanita yang akan dipinang apakah memenuhi kriteria calon istri yang baik dan sesuai dengan anjuran Rasulullah dalam hadits berikut ini:
“Wanita dikawin karena empat hal, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, maka akan memelihara tanganmu.” (HR Abu Hurairah)
Berdasarkan hadits tersebut maka hendaknya pria memperhatikan agama sang wanita, keturunan, kedudukan wanita (apakah sesuai dengan dirinya), sifat kasih sayang dan lemah lembut, serta jasmani dan rohani yang sehat.
BACA JUGA: Waktu Tunangan Sering Bermesraan, Bagaimana Hukum Pernikahan Kami?
2. Syarat lazimah
Yang dimaksud syarat lazimah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan dan jika tidak dilakukan maka pinangannya atau tunangannya tidak sah. Syarat lazimah meliputi:
Wanita yang dipinang tidak sedang dalam pinangan laki-laki lain sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits berikut ini
“Janganlah seseorang dari kamu meminang (wanita) yang dipinang saudaranya, sehingga peminang sebelumnya meninggal-kannya atau telah mengizinkannya.” (HR Abu Hurairah)
Wanita yang sedang berada dalam iddah talak raj’i. Wanita yang sedang dalam talak raj’i masih bisa rujuk dengan suaminya dan dianjurkan untuk tidak dipinang sebelum masa iddahnya habis dan tidak memutuskan untuk berislah atau berbaikan dengan mantan suaminya.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 228, “Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.” (QS Al-Baqarah: 228)
Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dan dalam masa iddah atau yang menjalanai idah talak ba’in) boleh dipinang dengan sindiran atau kinayah. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al qur’an,
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma’ruf.” (QS Al-Baqarah: 235)
Menurut sebagian besar ulama, tunangan dikategorikan sebagai pendahuluan atau persiapan sebelum menikah dan melakukan khitbah atau pinangan yang mengikat seorang wanita sebelum menikah hukumnya adalah mubah (boleh), selama syarat khitbah dipenuhi.
Tunangan atau khitbah diperbolehkan dalam islam karena tujuan peminangan atau tunangan hanyalah sekedar mengetahui kerelaan dari pihak wanita yang dipinang sekaligus sebagai janji bahwa sang pria akan menikahi wanita tersebut. Sebagaimana hadits berikut ini:
“Jika di antara kalian hendak meminang seorang wanita, dan mampu untuk melihat darinya apa-apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka lakukanlah.” (HR.Imam Ahmad dan Abu Dawud)
Hadits tersebut menjelaskan bahwa islam mengizinkan laki-laki untuk melakukan pinangan kepada seorang wanita dan mengikatnya dengan tali pertunangan namun jika hal ini sesuai syariat islam.
Setelah melaksanakan pertunangan sang wanita tetap belum halal bagi sang pria dan keduanya tidak diperbolehkan untuk saling melihat, berkumpul bersama atau melakukan hal-hal yang dilarang yang dapat menjerumuskan dalam perbuatan zina.
BACA JUGA: Khitbah Itu Bukan Tunangan
Saat bertunangan kita sering mendengar istilah tukar cincin, lalu bagaimanakah hukumnya dalam islam? Sebenarnya kebiasaan tukar cincin bisa jadi hanyalah kebiasaan namun seorang laki-laki diperbolehkan memberi hadiah atau cinderamata kepada tunangannya atau yang disebut dengan istilah urf.
Jika dikemudian hari pihak pria membatalkan pertunangan atau pinangannya maka ia tidak dibenarkan untuk mengambil kembali hadiah tersebut. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang menyebutkan bahwa,
“Tidak halal bagi seseorang muslim memberi sesuatu kepada orang lain kemudian memintanya kembali, kecuali pemberian ayah kepada anaknya.” (HR. Ahmad)
Tunangan atau pinangan hanyalah janji seorang pria yang akan menikahi seorang wanita dan merupakan langkah awal dalam mempersiapkan suatu pernikahan. Berdsarakan hal tersebut maka sebenarnya pertunangan bisa diputuskan atau dibatalkan oleh salah satu pihak misalnya jika terjadi konflik dalam keluarga.
meskipun demikian jika tunangan dibatalkan oleh pihak perempuan ada baiknya mahar yang telah diberikan oleh sang pria dikembalikan. Meskipun demikian seorang pria yang sudah berjanji pada seorang wanita sebaiknya memenuhi janjinya tersebut karena bukankah seorang muslim harus memenuhi janjinya sebagaimana yang disebutkan dalam Alqur’an,
”Dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (QS Al isra: 34). []
SUMBER: DALAMISLAM.COM