EPILEPSI dikenal juga dengan sebutan Ayan, merupakan gangguan sistem saraf pusat akibat pola aktivitas listrik otak yang tidak normal. Epilepsi sudah tercatat dalam berbagai peradaban kuno. Namun, umumnya penyakit ini dikaitkan dengan hal-hal gaib.
Orang Babilonia menilai epilepsi sebagai miqtu atau penyakit jatuh ambruk, yang disebabkan kerasukan roh. Menurut Tablet Sakkiku (1000 SM), gejalanya berupa kejang-kejang dan mulut berbusa.
Orang Romawi juga percaya epilepsi penyakit supranatural. Ketika memilih budak, mereka biasa menyodorkan sebongkah batu jet super hitam.
BACA JUGA: Aromaterapi dalam Sejarah Islam
“Jika budak itu tidak jatuh ke tanah mencium bau jet, ia dinyatakan bebas penyakit jatuh ambruk,” tulis Owsei Temkin dalam The Falling Sickness: A History of Epilepsy from the Greeks to the Beginnings of Modern Neurology (1971).
Sementara itu, menurut Marten Stol dalam Epilepsy in Babylonia, orang Yunani menganggap epilepsi merupakan ‘penyakit keramat’ yang berasal dari kekuatan gaib.
Adapun studi ilmiah tentang epilepsi pertama kali dilakukan oleh ilmuwan Yunani, Hipocrates. Ia berhasil mengidentifikasi penyakit ayan ini sebagai masalah pada otak.
Hippocrates (460-370 SM), seorang filsuf dan ahli medis Yunani, menolak pandangan umum itu. “Penyakit ini [epilepsi]… tidak lebih suci dibanding penyakit lain; ia memiliki asal-muasal serupa, kesuciannya setara, serta kesempatan pemulihan yang sama dengan penyakit lain,” tulis seorang penulis anonim yang menyarikan kuliah Hippocrates dalam Corpus Hippocratium (400 SM).
Risalah medis dari Hipocrates lantas diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab. Kemudian menjadi rujukan pengembangan kajian kedokteran di dunia Islam.
Umat Muslim mengerahkan kemampuan untuk meneliti penyebab epilepsi serta diagnosisnya secara tepat. Para dokter Muslim membangun penelitian medis yang lebih maju untuk mengurai masalah epilepsi ini.
BACA JUGA: Menderita Epilepsi, Wanita Ini Justru Bukan Meminta Doa Kesembuhan
Lebih dari seribu tahun lalu, ilmuwan dan dokter Muslim berhasil menyusun sejumlah teks dan risalah penting terkait epilepsi. Mereka berkiprah di pusat-pusat ilmu, seperti Baghdad, Kairo, dan Kordoba.
Ibnu Sina (980-1037) adalah ilmuwan sekaligus dokter muslim yang jadi pelopor kajian tentang epilepsi. Ia mengategorikan epilepsi dalam unsur neuropsikiatri. Menurut Syed Wasim dan Hasan Aziz, Ibnu Sina pula yang pertama kali memakai kata ‘epilepsi’ di bidang kedokteran. Kata itu terdapat dalam mahakarya berjudul al-Qanun fi at-Thibb atau Kanun Kedokteran.
Ibnu Sina mengutip dari kata Latin, epilepsia, yang berarti ‘serangan dari luar.’ Ini salah satu kontribusi berharga dari umat Muslim di ranah medis dunia. Istilah itu lantas digunakan secara luas di Eropa hingga berabad-abad kemudian.
Para sejarawan sains tak hanya mengagumi, tapi juga membandingkan karya dan pemikiran Ibnu Sina dan Hipocrates. Kedua ilmuwan legendaris itu diketahui tetap memasukkan persepsi publik terkait aspek supranatural seputar epilepsi. Menurut tokoh bernama lengkap Abu Ali al Husayn ibn Abd Allah ibn Sina itu, epilepsi terjadi karena adanya gangguan pada saraf otak.
“Gejala epilepsi bisa berupa kejang-kejang hingga hilang kesadaran,” kata Ibnu Sina yang dikenal di barat sebagai Avicenna itu.
BACA JUGA: Ibnu Sina, Ilmuwan Muslim yang Kenalkan Metode Karantina
Ibnu Sina membahas secara perinci segala hal tentang epilepsi. Mulai dari jenis, gejala, juga efek yang ditimbulkan. Ia menulis berbagai resep obat, yang terdiri atas bahan herbal dan kimia, bagi penyembuhan epilepsi. Selain itu, Ibnu Sina menyarankan terapi kejiwaan bagi pasien penyakit ini.
Kanun Kedokteran juga membahas penyakit neuropsikiatri lain, seperti halusinasi, mimpi buruk, melankolia, demensia, paralisis, darah tinggi, vertigo, serta tremor. Kontribusi penting turut disumbangkan para ahli kedokteran asal Persia yang berhasil merintis metode penyembuhan epilepsi. []
SUMBER: REPUBLIKA | HISTORIA