DUSUN yang tidak terlalu besar itu selalu menyimpan berita yang cepat menyebar. Hal kecil apapun tidak sulit untuk diketahui oleh setiap orang. Maklum, selain luasnya yang tidak seberapa, penghuninya sangat suka berkumpul. Mereka membicarakan apa saja sekiranya menarik. Mungkin itu rencana-rencana untuk memperbaiki desa mereka. Atau sekadar obrolan ringan saja.
Maka, ketika seorang laki-laki hanya berkutat di dalam masjid saja dan tidak bergaul dengan masyarakat, semua orang menjadi tahu. Tapi, semua orang juga menjadi bertanya-tanya; apa gerangan sebabnya?
Untuk mendekati orang itu dan menanyakannya, orang-orang merasa tidak enak. Segan soalnya orang itu tampak alim. Tapi tetap saja, caranya untuk tidak bergaul dengan penduduk sekitar membuat orang-orang keheranan.
BACA JUGA: Nasihat Imam Hasan Al-Bashri untuk Bahagiakan Ibu
Akhirnya untuk memecahkan persoalan itu, salah seorang dari mereka menghadap Hasan al-Basri. Hasan al-Basri adalah orang yang juga terkenal sangat alim dan dekat dengan Allah SWT. Hasan al-Basri juga terkenal akan penguasaan tasawufnya. Pendapatnya didengarkan dan dituruti oleh orang-orang.
“Wahai Abu Said,” utusan itu berkata. “Di sini ada seorang lelaki yang tidak mau berkumpul dengan orang-orang ramai. Dia senantiasa duduk sendirian saja. Kami tidak tahu kenapa dia bersikap seperti itu.”
Hasan al-Basri mendengarkan, “Lalu apa yang memberatkan kalian?”
Orang itu tercekat, “Kami takut tidak membuatnya nyaman, dan sesungguhnya kami juga tidak merasa nyaman atas sikapnya.”
Hasan al-Basri mengangguk-nganggukkan kepalanya. Ia paham duduk persoalannya. Tapi ia juga tidak mengetahui siapa gerangan lelaki tersebut.
“Apakah kalian mengenal dia?”
“Ya, ia merupakan penduduk desa kami.”
Hasan al-Basri menarik napas sejenak. Kemudian ia berkata perlahan, “Baiklah aku akan coba menemui orang yang kalian maksud. Untuk sementara waktu, kau kembalilah kepada kaummu dan katakan untuk menunggu.”
Orang itu pun kembali. Ia merasa sedikit lega karena Hasan al-Basri akan mencari tahu tentang perihal ini. Akhirnya, pada suatu hari yang cerah Hasan al-Basri pun bergegas menemui orang yang dimaksud oleh penduduk desa. Hasan al-Basri datang dengan hati yang tulus. Ingin mengetahui apa gerangan sebabnya yang membuat orang tersebut berlaku demikian.
Ketika sampai ke tujuan, Hasan al-Basri segera menemui orang tersebut. Ia menemukan orang itu memang tengah duduk sendirian saja. Tetapi ternyata ia tidak diam. Keningnya tampak berkerut dan mulutnya tak henti menggumamkan sesuatu. Tampaknya ia tengah sibuk akan suatu hal.
Hasan al-Basri duduk di hadapan orang itu. Ia menyalaminya. Orang itu hanya tersenyum kepada ulama besar asal Basra itu.
“Ya saudaraku, aku ini menemuimu karena suatu urusan,” Hasan al-Basri memulai prcakapan.
“Ada apakah kiranya?”
Hasan al-Basri menarik napas sejenak. Ia tampak berhati-hati. Ia tidak ingin membuat orang yang di temuinya merasa tidak nyaman. “Begini, aku diutus oleh orang-orang untuk menanyakan sesuatu perihal kepadamu.”
“Perihal apakah itu? Maukah kau cepat mengatakannya padaku?”
“Wahai hamba Allah,” ujar Hasan al-Basri. “Engkau terlihat suka duduk menyendiri saja. Mengapa engkau tidak suka bergaul dengan orang ramai?”
Orang itu terdiam sejenak. Ia memandangi Hasan al-Basri. Sejenak kemudian, ia berkata, “Ada suatu perkara yang telah menyibukkan aku dari berkumpul dengan manusia.”
Kali ini ganti Hasan al-Basri yang mengangkat keningnya keheranan. “Ya saudaraku, sekurangnya engkau pergi kepada lelaki yang dipanggil sebagai Hasan al-Basri dan duduk di majlis ilmunya,” kata Hasan lagi.
“Ada satu perkara yang mencegah aku dari berkumpul dengan manusia termasuk Hasan al-Basri,” kata lelaki itu. Ia menarik napas panjang.
“Semoga Allah merahmatimu. Apakah gerangan yang senantiasa manyibukkan engkau?”
Orang itu tidak langsung menjawab. Ia tertunduk. Tapi tak urung ia kemudian berkata juga, “Aku setiap hari terjepit di antara nikmat dan dosa. Maka setiap hari diriku sibuk mensyukuri nikmat-nikmat Allah dan sibuk bertaubat atas dosa-dosa tersebut.”
BACA JUGA: Gambaran Sosok Muslim Menurut Hasan Al-Bashri
Mendengar jawaban itu, Hasan al-Basri terhenyak. Laki-laki di hadapannya tampaknya memahami arti sebuah perenungan. Arti mendekatkan diri kepada Allah di waktu-waktu tertentu. Akhirnya Hasan al-Basri berkata, “Wahai hamba Allah! Kalau begitu engkau lebih alim daripada Hasan al-Basri. Maka kekalkanlah amalan yang telah engkau lakukan.”
Setelah itu Hasan al-Basri pun minta diri, pamit. Ia meninggalkan laki-laki itu. Dan kembali kepada kaumnya. Hendak diberitahukannya orang-orang, bahwa laki-laki yang dimaksud dan telah ditemuinya adalah seorang hamba yang mengenal Tuhannya dengan perenungan dan pendekatan yang sangat dalam. []
Sumber: Peri Hidup Nabi & Para Sahabat, Kumpulan Kisah Yang Menyentuh & Menggetarkan Hati/Karya: Saad Saefullah/Penerbit: SPU Publishing/2012