HAMKA itu inspiratif. Dia tak tamat Sekolah Dasar (SD), tapi jejak dakwahnya luar biasa panjang. Kecakapan berdakwahnya -baik dengan lisan maupun lewat tulisan- diakui oleh banyak kalangan dan termasuk dari luar negeri.
Kecuali itu, sikapnya yang bijaksana dalam menjaga harmoni saat berukhuwah sungguh patut untuk diteladani.
Jejak Emas
HAMKA itu bukan nama sebenarnya. Nama yang sangat populer di tengah-tengah umat Islam itu adalah sebuah singkatan. Benar, HAMKA adalah singkatan dari seseorang yang bernama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah.
HAMKA lahir di Maninjau, Sumatera Barat, pada 17/02/1908. Ayah dia, Syaikh Abdul Karim Amrullah adalah pelopor gerakan tajdid di Minangkabau.
HAMKA mendapat pendidikan dasar pada usia 7 tahun di Sekolah Dasar Maninjau selama dua tahun. Lalu, ketika dia berusia 10 tahun, ayahnya mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ HAMKA belajar Islam dan mendalami bahasa Arab. Di samping itu, melalui sebuah perpustakaan milik gurunya, HAMKA berkesempatan membaca banyak buku.
Pada kurun 1930-an, HAMKA ke Medan. Dari kota itu, jejak dakwahnya semakin terlihat terang. Bersama M. Yunan Nasution, HAMKA memimpin majalah Pedoman Masyarakat yang terbit tiap pekan. Rubrik Tasawuf Modern yang diasuhnya memikat para pembaca, baik yang terpelajar maupun yang awam. Tak hanya itu, lantaran tulisan-tulisan itu pulalah dia lalu bisa akrab berkomunikasi dengan intelektual lainnya seperti dengan M. Natsir, Agus Salim, Muhammad Isa Anshary, dan Hatta.
HAMKA memang fenomenal. Dia tak tamat Sekolah Dasar. Tapi, dia otodidak untuk berbagai bidang ilmu seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, dan politik. Dia mahir berbahasa Arab, yang dengan itu HAMKA dapat meneliti berbagai karya ‘intelektual besar’ dari Timur dan Barat.
Dakwah HAMKA –termasuk lewat tulisan- tak hanya diterima di Indonesia, tapi juga di Malaysia, Singapura, dan Thailand. Terutama di Malaysia, buku-bukunya menghiasi sejumlah perpustakaan universitas terkemuka dan banyak menginspirasi para aktivis.
Sekarang, mari rasakan betapa mahalnya nilai seorang HAMKA dengan melihat sebagian judul dari 130-an karya tulisnya. Berikut ini, judul yang bertema dakwah: Prinsip-prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, 1990. Kepentingan Melakukan Tabligh, 1929. Pedoman Mubaligh Islam, 1941.
Di perihal gerakan pembaruan Islam, ada yang berjudul: Gerakan Pembaruan Agama (Islam) di Minangkabau, 1969. Pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia, 1965. Sayyid Jamaluddin al-Afghani, 1965. KH A. Dahlan, 1952.
Tentang relasi Islam, masyarakat, dan negara ada yang berjudul: Beberapa Tantangan terhadap Umat Islam di Masa Kini, 1973. Ghirah dan Tantangan terhadap Islam, 1982. Hubungan antara Agama dengan Negara menurut Islam, 1970. Islam, Alim Ulama dan Pembangunan, 1971.
Adapun dua judul di antara berbagai novel Islaminya, adalah: Di bawah Lindungan Ka’bah (1957) dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijk (1979).
Semua karya HAMKA –termasuk yang berbentuk novel dan cerpen- digemari banyak kalangan. Sementara, karyanya yang paling monumental adalah Tafsir Al-Azhar.
Dakwah adalah bagian terbesar dari aktivitas HAMKA. Hal itu lalu diperkuatnya dengan berbagai kegiatan lain, seperti lewat profesinya sebagai wartawan, penulis, dan aktivis politik. Pendek kata, kehidupan HAMKA penuh warna.
Pada November 2011 Pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional. Sementara, jauh sebelumnya, atas berbagai prestasinya, dua universitas terkemuka tak ragu-ragu untuk memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepada HAMKA. Gelar itu diberikan oleh Universitas Al-Azhar Mesir pada 1958 dan Universitas Kebangsaan Malaysia pada 1974.
Alhasil, HAMKA memiliki beragam predikat: ulama, sastrawan, pemikir, dan aktivis politik. HAMKA meninggal pada 24/07/1981. Tapi, karena dia mewariskan lebih dari seratus buku, dia serasa masih bersama kita.
Jaga Harmoni
Di situs www.muhammadiyah.or.id 10/06/2011 ada biografi ringkas HAMKA. Tampak, bahwa dia benar-benar seorang aktivis dakwah. Dia aktif di Muhammadiyah untuk waktu yang sangat lama dan dengan berbagai jabatan.
Lelaki ini mulai aktif di Muhammadiyah pada 1925 dan pada 1928 mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada 1929 HAMKA mendirikan Pusat Latihan Pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah di Makassar. Lalu, menjadi Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat pada 1946. Pada 1953, HAMKA menjadi Penasihat Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Reputasi keulamaan HAMKA diakui oleh kalangan yang sangat luas. Pengaruhnya terasa hingga kini. Sekarang, kita lihat HAMKA di satu aspek penting, yaitu bagaimana sikap dia dalam menghadapi persoalan furu’iyah (bersifat cabang, bukan yang pokok). Ini penting, sebab perselisihan di aspek ini sesekali masih terjadi dan mengganggu –untuk tak menyebut merusak- ukhuwah. Sekadar menyebut dua contoh hal yang bersifat furu’iyah adalah soal: Bacaan qunut di shalat subuh itu, boleh atau tidak? Adzan shalat Jum’at itu, sekali atau dua kali?
Mari kita kenang dua fragmen menarik. Pertama, ketika pada suatu kesempatan HAMKA shalat subuh berjamaah bersama KH Dr. Idham Chalid. Siapa KH Idham Chalid?
“KH Idham Chalid Pencetak Para Muballigh Kondang,” tulis www.nu.or.id pada 14/07/2010. Terkait ini, KH Syukron Makmun dan KH Zainuddin MZ adalah sekadar menyebut dua di antara murid-muridnya. Lalu, dia yang lulusan Pondok Modern Gontor itu adalah Ketua Umum PB-NU 1956-1984 dan Ketua MPR/DPR 1971-1977.
Berikutnya, ada dua hal yang sama dari HAMKA dan Idham Chalid. Sebagaimana HAMKA, Idham Chalid juga mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar-Mesir. Kemudian, kedua ulama itu ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada waktu yang bersamaan, yaitu di tanggal 08/11/2011.
Kembali ke pelaksanaan sholat subuh. Kala itu HAMKA yang mengimami dan Idham Chalid menjadi makmum. Ternyata, pada rakaat kedua, HAMKA membaca doa qunut (Sabili 21/02/2008). Ini menarik, sebab membaca qunut tak biasa dilakukan HAMKA. Artinya, kisah “qunut HAMKA” bisa memberi pelajaran yang dalam bagi kita.
Kedua, bahwa di sebuah Jum’at, KH Abdullah Syafii mengunjungi HAMKA di Masjid Al-Azhar Jakarta Selatan (catatan: HAMKA memimpin pelaksanaan ibadah sehari-hari dan pengajian di masjid tersebut sejak kali pertama digunakan, pada 1958). Hari itu seharusnya HAMKA yang menjadi khatib. Tapi, sebagai penghormatan kepada sahabat dan sekaligus tamunya, HAMKA dengan santun meminta Abdullah Syafii menjadi khatib (www.ustsarwat.com).
Hal menarik terjadi. Saat itu, adzan Juma’t dikumandangkan dua kali. Padahal, siapapun tahu, di masjid itu adzan Jum’at selalu hanya satu kali. Rupanya, HAMKA menghormati Abdullah Syafii sebab melaksanakan adzan dua kali pada shalat Jum’at adalah pendapat yang dipegang oleh sang sahabat.
Siapa KH Abdullah Syafii? Mari kita ‘berkenalan’ dengan ulama yang memiliki ‘latar-belakang’ berbeda dengan HAMKA itu. Situs www.majalah-alkisah.com 12/10/2011 menurunkan judul “KH Abdullah Syafii, Penjaga Benteng Moral Umat”. Berikut ini petikannya:
KH Abdullah Syafii adalah ulama kelahiran Kampung Bali Matraman, Jakarta pada 10/08/1910 dan wafat pada 03/09/1985. Sedari kecil, dia telah belajar Islam kepada sejumlah ulama di Jakarta. Dia juga pernah mengenyam pendidikan di Mekkah.
Abdullah Syafii mengabdikan hidupnya untuk pendidikan umat. Saat berusia 17 tahun, Abdullah Syafii telah terjun ke masyarakat, mengajarkan agama. Dia kerap berceramah di berbagai tempat. Gaya ceramahnya yang lantang, tegas, dan berapi-api membuatnya dikenal sebagai “Macan Betawi”.
Pada masa penjajahan, sebagian besar warga pribumi tidak mendapatkan pemahaman agama dengan baik. Maka, semangat dakwah Abdullah Syafii kian tidak terbendung. Dia merasa begitu terpanggil mensyiarkan Islam (antara lain dengan jalan memberantas buta huruf Al-Qur’an). Berbagai keterbatasan dan kendala tidak membuatnya patah semangat. Dia rela mengorbankan tenaga, pikiran, dan harta.
Abdullah Syafii memulai kegiatan ta’limnya dengan sarana sangat sederhana. Dalam perjalanannya, dia kemudian mendirikan lembaga pendidikan agama yang diberi nama “Madrasah Islamiyah Ibtidaiyah”. Puluhan tahun kemudian madrasah itu berganti nama menjadi “Asy-Syafi’iyah” dan berkembang pesat, mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi Agama Islam. Ada juga pesantren tradisional untuk putra dan putri serta pesantren khusus yatim. Lokasinya tak hanya di Jakarta, tapi juga di Jatiwaringin, Pondok Gede, Bekasi. Ada sekitar 33 lembaga pendidikan, 19 lembaga dakwah, dan 11 lembaga sosial yang telah didirikannya.
Abdullah Syafii tercatat sebagai salah satu pendiri Majelis Ulama Indonesia (MUI). Selain pernah menjabat Wakil Ketua MUI Pusat, dia juga pernah menjadi Ketua Umum MUI DKI Jakarta.
Banyak jasa Abdullah Syafii. Peran dan perjuangannya dalam mendidik umat sangat bisa dirasakan. Maka, wajar, jika dia lalu mendapat penghargaan dari Pemerintah Indonesia berupa Bintang Maha Karya Putra Utama. Sementara, Pemerintah DKI Jakarta memberikan penghargaan dengan menamai salah satu jalan di Jakarta Selatan dengan nama “Jalan KH Abdullah Syafii” (www.ummatonline.net 01/08/2010).
Dari uraian di atas, tampak bahwa Prof. Dr. HAMKA, KH Dr. Idham Chalid, dan KH Abdullah Syafii berilmu tinggi. HAMKA adalah ulama Muhammadiyah, ‘punya’ Tafsir Al-Azhar, dan ‘memiliki’ Perguruan Al-Azhar. Lalu, KH Idham Chalid memimpin PB-NU dalam waktu yang sangat lama. Sementara, KH Abdullah Syafii ‘memiliki’ Pesantren Asy-Syafi’iyah dan banyak alumnusnya yang juga sukses mengikuti jejak sang guru.
Terlihat, mereka berukhuwah secara indah dengan berprinsip saling menghormati. HAMKA –misalnya- dengan keluasan ilmunya, bisa ‘menyesuaikan diri’ dengan praktik ibadah yang berbeda dari saudara Muslim lainnya.
Cermin Elok
HAMKA –ketua MUI 1977 sampai 1981- telah memberi teladan yang elok. Maka, masihkah akan ada di antara kita yang suka menyoal hal-hal furu’iyah? Mari, belajar kepada HAMKA, ulama yang tidak kita ragukan ketinggian ilmunya. Insya-Allah, antara lain dengan cara itu, ukhuwah Islamiyah dapat kita pelihara dengan baik. []