Oleh: Nurul Huda, nuhu271@gmail.com
ENGKAU, wahai calon imamku yang tertulis di Lauhul Mahfudz. Aku tak tahu dimana engkau berada. Dibelahan bumi mana engkau menjalani proses kehidupan. Disini, aku calon isterimu yang akan mendampingimu, sedang berjuang memperbaiki diri, memantaskan diriku.
Aku sedang mentarbiyah diriku. Aku sadar, saat ini ilmuku belum pantas. Akhlakku masih jauh dari kata baik. Namun, aku sedang belajar; menunggumu dalam bingkai pendidikan.
Aku bukan wanita sholehah, bukan wanita serba bisa, bukan pula wanita yang serba tahu. Namun saat Allah mempertemukaanku denganmu, entah di tahun berapa, entah bagaimana caranya, dimana tempatnya, bagaimana kejadiannya. Dan alasan apa engkau jatuh hati memilihku menjadi pendampingmu.
BACA JUGA: Tidak Apa-apa Dikatakan Telat Menikah
Semoga itu adalah jalan diriku untuk terus meningkatkan kualitas diri; semakin mengenal dan mencintai Rabbku melalui tanganmu. Aku mendampingimu dan kau pun mendampingiku untuk bersama-sama memperbaiki diri.
Berusaha melaksanakan apa yang menjadi kewajiban dan tanggung jawabku. Membantumu dengan apa yang kubisa dan kumampu. Ingatkan aku, tegur aku jika lalai. Denganmu surga yang akan kita tuju.
Jangan kecewa padaku, ketika kau dapati aku belum sempurna. Aku masih bodoh dengan ilmu-Nya. Maka bimbing aku, jadilah guru dalam rumah tangga kita..
Jangan membentak apalagi kasar kepadaku, ketika aku melakukan kesalahan terhadapmu. Tapi nasihati aku dengan lembut sehingga tak melukai hatiku.
Jangan rubah aku, seperti yang kau mau. Cinta yang tulus, adalah cinta yang kau mau menerima kelebihan dan kekuranganku. Aku wanita biasa, yang jauh dari kata sempurna.
Jangan kau bandingkan aku dengan mereka yang memang sebelumnya kau kenal, jika ternyata mereka memang lebih baik dibanding aku. Karena aku bukanlah wanita terbaik di antara yang baik.
Bimbing aku bersamamu. Beri aku pengetahuan atas ketidakpahamanku. Nasihati aku dengan lembut. Didik aku dengan sabar.
Kau adalah imamku, pemimpinku. Aku adalah makmummu, anggotamu. Kita bangun organisasi kecil kita dengan proses yang luar bisa.
Membuat program keluarga, guna menata ibadah penuh pahala. Ibadah pada-Nya, menjadi dasar kita bangun keluarga samara. Untuk kita yang merindukan surga.
BACA JUGA: Pentingnya Mahar dalam Pernikahan Islam
Meminta padamu, bahwa jangan kau cintai aku atas dasar apa yang ada pada diriku, atas rupa atau fisikku, atas pengetahuanku, atas keterampilanku, atas kemandirian yang kumiliki, atas tegarnya sikapku, atas pengertian dan kesabaran yang kuberikan padamu.
Tapi cintai aku karena Allah, cintai aku karena Allah. Karena hanya itu alasan terkuat, pondasi terkuat, landasan terkuat untuk kita saling mencintai.
Karena jika kau cintai aku atas dasar apa yang kusebutkan tadi, ketahuilah kelak kau akan kecewa. Karena itu akan berubah seiring waktu. Rupa/fisikku akan berubah, di makan usia atau terjadi kecelakaan tak terduga.
Daya ingatku akan menurun, sehingga pengetahuan dan keterampilanku tak sebaik dulu. Kemandirianku dapat goyah, jika ternyata kemanjaan ku menyeruak kepadamu. Tegarnya sikapku menipis, jika ternyata aku tak mampu menahan badai yang datang.
Pengertian dan kesabaranku hilang tertelan oleh ego sesaat. Jika kau cintai aku atas itu, jika hal-hal itu terjadi padaku ‘Seberapa tangguh cintamu untuk bersamaku?’
“Seberapa kuat cintamu bertahan bersamaku?”
“Seberapa besar cintamu mema’afkanku?”
“Seberapa mampu cintamu untuk tetap setia kepadaku?”
Maka aku berharap kau dapat mencintaiku karena-Nya. Begitupun aku akan mencintaimu karena-Nya. Dengan begitu kita dapat menjalankan perjuangan pernikahan karena-Nya dan untuk-Nya.
Dengan begitu pula saat niat sudah kita luruskan hanya untuk-Nya dalam proses penantian pun kita akan senantiasa melakukan sesuatu sesuai aturan-Nya. Tak melanggar larangan-Nya. Sehingga Allah pertemukan kita dalam kehalalan yang di ridhoi-Nya.
BACA JUGA: Hukum Nikah dalam Keadaan Hamil
Meski saat ini aku tak tahu namamu, aku tak tahu suaramu, aku tak tahu rupamu, aku tak tahu dimana kamu tinggal, bagaimana keseharianmu, rutinitas apa yang kamu lakukan, kegiatan apa yang kamu jalankan, bagaimana interaksimu dengan orang lain, dan lain-lain, aku tak tahu itu.
Aku berdo’a kepada Allah, semoga segala apa yang sedang kau jalankan mendapat kelancaran, sehat jasmanimu, sehat rohanimu, semoga kebaikan selalu menyertaimu dan keluargamu serta ridho Allah selalu bersamamu. Begitupun aku, do’akan aku. Sebut aku dalam do’amu.
Itu adalah harapan-harapan duniaku. Jika ternyata Allah belum menghendaki kita bertemu. Mungkin, Allah ambil ruhku lebih dulu. Dan ketika kita belum sempat berkenalan, bersama di dunia, semoga kelak Allah izinkan kita bertemu di Jannah-Nya.
Akhir dari perjalanan hidupku terhenti saat Allah mengambil ruh dari jasadku. Saat itulah proses perjuangan hidupku berhenti. Semoga cita-cita yang ku gantungkan pada Allah di dunia, dapat terjalankan kelak di surga-Nya, bahkan lebih indah dari itu. Itu cita-cita terbesarku. Cita-cita untuk meraih Ridho Allah bersamamu, cita-cita terbesar umat Islam untuk sukses meraih Jannah-Nya.
BACA JUGA: 11 Hal Ini Batalkan Pernikahan
Bersabarlah dalam penantian, jika hari ini kau dan aku masih sibuk memperbaiki diri, masih sibuk dengan aktivitas organisasi, masih sibuk dengan cita-cita yang tinggi.
Bersabarlah. Semoga keistiqomahan menguatkan hati. Semoga kita dapat menjaga perasaan satu sama lain. Tak mengotori hati, tak mengotori diri atas lalai-kurang nya penjagaan diri.
Kita sadar bahwa ketertarikan pada seseorang memang datang dan pergi. Rasa suka, rasa kagum, bahkan rasa sayang dan cinta tumbuh seiring waktu…namun saat diri sadar belum mampu, semoga kita dapat melewati ujian itu dengan bersabar.
Kita tak perlu berlebihan menyikapinya apalagi terjebak dalam hubungan pacaran (berkhalawat). Cinta itu fitrah dan kita hanya perlu memanage diri kita dengan sebaiknya.
Aamiin Yaa Rabbal ‘alamiin. []