LELAKI itu tersenyum, sumringah, dan wajahnya cerah. Putrinya disunting seorang lelaki dan sebentar lagi akad nikah akan digelar.
Hari pernikahan pun telah ditentukan. Ramai-ramai tetangganya membantu mengolah makanan, kue-kuean, menyediakan tempat, membuat panggung, mendekor, dan menyebar undangan.
Detik-detik menjelang hari bahagia itu, keluarga sang calon memepelai wanita resah.
Lelaki yang selama ini melamarnya tak bisa dihubungi, nomor telfonnya tak aktif, dicari tak ketemu, dan disusul ke rumahnya tak ada.
Alamat yang diberikannya ternyata palsu. Para tetangga di alamat tersebut, tak ada yang tahu sosok lelaki bernama X itu.
Pecah tangis sang calon mempelai wanita, keluarga besar kecewa, menelan ludah, dan menitikkan air mata. Kerabat, sahabat, dan tetangga turut berduka.
Nanar mata mereka melihat panggung, makanan, kue, dan segala olahan yang disediakan. Kecewa, marah, sedih, dan sesal menyelimuti keluarga itu. Betapa pilu kisah nyata tetangga kami ini. Ibu dan saya di kampung turut gerimis.
Kisah serupa dialami sahabat istri saya. Saat pernikahan telah disepekati, hari H sudah ditentukan, dan segala persiapan telah disediakan. Undangan telah dicetak dan disebarkan, tetiba sang lelaki membatalkan pernikahannya.
Meskipun sudah dibujuk, dinasihati orangtuanya, dan segala upaya dilakukan, lelaki tetangga kampungnya itu tetap tak mau melanjutkan pernikahan.
Pedih bukan?
Sungguh tak beradab para lelaki yang berlaku demikian. Bila memang tidak siap, sebaiknya berkata jujur dari awal. Bila memang tidak serius, jangan menyatakan cinta pada wanita.
Apakah cukup sampai di sini?
Tidak.
Ada kisah lain..
Kisah seorang lelaki yang sungguh-sungguh ingin menikah, lalu ada seorang wanita menyatakan siap. Setelah dua keluarga besar sepakat menikah, hari H sudah ditentukan, undangan sudah disebar, orang-orang diberitahu, sang wanita baru mengaku ia sedang hamil.
Betapa hancur hati sang lelaki, tapi dengan legowo siap menikah setelah sang wanita melahirkan anak dalam kandungannya. Setelah sepakat, dan dengan berat keluarga besar terpaksa merestui. Lalu sang wanita ingkar pada janjinya.
Ironis bukan?
Wahai para lajang, bila belum siap menikah jangan dulu menyatakan cinta. Mari siap diri sejak dini, agar saatnya tiba nanti pernikahan bisa dilaksankan dengan syari.
Wahai para penggombal cinta! Ingatlah, saat para lajang merintih karena belum menemukan jodohnya, engkau justru mempermainkan pernikahan. Betapa tak beradab, dzalim, keji, dan buruk.
Sesungguhnya pernikahan itu perkara besar, kita tak boleh bermain-main dengannya. Pernikahan itu perkara agung, al-Quran menyebutnya Mitsaqan Ghaliza (perjanjian yang kuat).
Hanya tiga kali Mitsaqan Ghaliza disebutkan al-Quran, pertama perjanjian Allah dengan para nabi, perjanjian Allah dengan Bani Israil, dan pernikahan.
Sehingga, tak layaklah kita mempermainkan pernikahan.
Bagi yang merindukan pernikahan, semoga Allah segera karuniakan pasangan terbaiknya.
Bagi yang belum siap menikah, tak usah terburu-buru menyatakan cinta. Lebih baik siapkan sejak dini sembari memperbaiki diri. []