Oleh: Raidah Athirah
Kontirbutor Islampos, Penulis, Ibu Rumah Tangga, Tinggal di Polandia
SAYA terkenang waktu saat saya menunjukkan kota Warsawa yang indah dengan ceria dan tawa kepada saudara di tanah air. Tetapi saat saya sendiri berada dalam bus yang hendak membawa kaki ini kembali ke ruma , pikiran saya melayang menerbangkan hati ke masa-masa hidup ketika saya menjalani takdir sebagai seorang pengungsi.
Kemudian, satu kalimat terucap dari bibir saya atas nikmat perjalanan ini ;
Alhamdulillah…….
Alhamdulillah…….
Alhamdulillah ……..
Di hari Raya ini air mata saya tak henti-henti menetes karena selalu ada kenangan yang membawa saya ke masa lalu, hari dimana saya merayakan kegembiraan di tempat pengungsian.
Allahu Akbar…..
Allahu Akbar …..
Allahu Akbar…….
Kenapa saya banyak mengucap tahmid dan takbir? Karena hari -hari di pengungsian itu berat dan perih tapi memiliki akhir sedangkan derita Rohingya adalah derita yang panjang yang sampai saat ini belum ada titik akhir justru sebaliknya penderitaan mereka kian menganga.
Setiap saya menulis tentang Rohingya saya tak kuasa menahan air mata yang tumpah, saya berdoa, berharap bahwa Allah Ta’ Ala Yang Maha Rahman dan Rahim meletakkan di hati -hati manusia gerak kemanusiaan untuk membantu mereka.
Bayangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri melabeli mereka sebagai “Etnis yang paling menderita di dunia”.
Seberapa berat masalah kita?
Berapa lama kita menahan lapar?
Pernahkah kita berlari dan melihat keluarga kita dibunuh dan dianiaya?
Apakah kita pernah mengalami penolakan ketika hendak kembali ke rumah?
Adakah momen paling tragis saat kita tiba di sebuah rumah untuk menyelamatkan ibu, Â anak-anak dan Istri kita namun tak ada siapapun yang sudi membuka pintu?
Berapa lama kita hidup menderita ,sehari ,sebulan atau hanya beberapa jam?
Ketika Anda menjawab pertanyaan di atas Anda akan mengerti betapa beruntungnya hidup Anda selama ini.
Saya perlu menggambarkan derita dan perjuangan mereka untuk hidup agar setidaknya dalam hati ucapan syukur (Alhamdulillah) selalu membasahi lisan untuk menunjukkan bahwa hidup kita dikelilingi nikmat yang banyak yang tidak perlu dikeluhkan.
Saudara kita orang Rohingya deritanya telah lama menganga, mungkin saja diantara saudara yang membaca tulisan saya ini tahun yang saya sebutkan adalah tahun kelahiran Anda.
Sudah sejak tahun 1990 mereka menderita .Dan terus… terus… terus… bertambah sampai saat ini. Di tahun 2017 ketika orang -orang dengan lantang meneriakkan Hak Asasi Manusia, di saat ini pula saudara kita yang malang ini mengorbankan banyak hal bahkan nyawa untuk menyelamatkan iman yang tersisa di dada.
Hari ini, lagi dan lagi derita mereka menganga bahkan kian perih.
Kyaw Win, Direktur Burma Human Rights Network merilis video terbaru yang saya sertakan di bawah tulisan ini tentang anak Rohingya yang lari usai desanya dibakar tentara Myanmar agar dunia sedikit saja membuka dan memberi perhatian kepada derita anak-anak malang ini.
Ia benar bahwa hari ini kemanusiaan hilang ditelan persoalan politik. ASEAN sampai saat ini tak ada solusi untuk mengakhiri derita saudara kita yang terjadi di depan mata.
Genosida terus meningkat dan mereka berlari kemana saja, ke negeri manapun agar bisa selamat, salah satunya ke negeri yang diduga etnis mereka berasal, Bangladesh.
Kenyataannya, derita ini belum mau pergi. Mereka ditahan di perbatasan Bangladesh dan akan dipulangkan kembali ke tempat mereka dibantai. Laa hawla wa laa quwwata illa Billaah.
Rumah mereka dibakar, sebagian besar terbunuh dan diperkarakan sekitar 18.000 orang berjalan kaki hendak mencapai Bangladesh. Ini data terbaru yang ditulis Reuters.
Diantara mereka itu ada ibu-ibu, saudara perempuan, anak-anak kita yang merintih ke langit untuk duka mereka yang perih ini. Kapan kita bersuara dan bergerak untuk mereka?
*****
Saat pertama kali saya menulis tentang Rohingya dan kemudian diserang dengan caci maki dan ancaman di inbox, dari situ saya semakin yakin untuk apa yang saya suarakan.
Saya adalah anak pengungsi di masa lalu. Dan takdir membawa langkah kaki saya ke sini (Polandia). Tak ada yang banyak yang bisa saya lakukan selain syukur dan menulis tentang mereka, tentang saudara-saudara saya yang teraniaya dan mengalami derita yang tiada henti.
Ancaman kepada saya adalah pelecut bahwa saya seharusnya bersuara lebih keras tentang mereka karena Allah, Yang Maha Kuasa telah memberkahi saya dengan hidup penuh nikmat hari ini.
Salah satu alasan saya sampai saat ini tetap memakai foto profile adik-adik putri Rohingya agar setiap saya membuka Facebook saya ingat bahwa aksi saya dalam tulisan untuk mereka adalah belum apa-apa.
Mereka adalah cermin kemanusiaan bagi saya untuk bersyukur dan bersyukur.
Mereka pula adalah tamparan keras bila lidah saya terus mengeluh.
Mereka adalah bayangan langkah saya untuk bertanya, “Dimana persaudaraan dan kemanusiaan hari ini untuk tangis mereka?”
Di hari Raya, hari dimana gembira menghias wajah kita. Mari sedikit saja kita buka hati dan luangkan waktu memanjatkan doa ke langit untuk saudara-saudara kita yang belum merdeka (Palestina), untuk saudara-saudara kita yang masih dalam perang (Suriah), untuk saudara-saudara kita yang kini dalam tangis derita, Rohingya. Dan untuk negeri tercinta, semoga pemimpin kita terketuk hati untuk melihat penderitaan rakyat kecil yang kian bertambah.
Selamat Hari Raya Kurban, Â Saudara-saudara saya di seluruh dunia!
Semoga Allah menerima kurban-kurban kita dan menjadikan kita manusia yang lebih bermanfaat bagi sesama. []
Polandia , 1 September 2017