MAHA Agung Allah Ta’ala yang telah menciptakan dunia ini dengan penuh hikmah. Kita tidak akan pernah mendapatkan pada ciptaan Allah dan syari’at-Nya sesuatu yang saling bertentangan. Rizki yang halal adalah bekal dan sekaligus pembangkit semangat amal shalih. Simaklah firman Allah berikut:
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shlih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Mukminun: 51)
Ibnu Katsir menyatakan: “Allah Ta’ala pada ayat ini memerintahkan para rasul ‘alaihimussalaam agar makan makanan halal, dan beramal shalih. Disandingkannya dua perintah ini mengisyaratkan bahwa makanan halal adalah pembangkit amal shalih. Dan sungguh mereka benar-benar telah menaati kedua perintah ini.” (Tafsir Ibnu Katsir 5/477, baca juga: Adwaa’ul Bayan 5/339)
BACA JUGA: Bagaimana Seorang Muslim Menyikapi Harta?
Saudaraku! apakah selama ini kita merasakan malas, dan berat untuk beramal? Alangkah baiknya bila kita mengoreksi kembali makanan dan minuman kita. Jangan-jangan ada yang perlu ditinjau ulang.
نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ
“Sebaik-baik harta yang halal adalah harta halal yang dimiliki oleh orang shalih.” (Riwayat Ahmad dan dishahihkan oleh Al Albani)
أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِىَّ يَقُولُ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَخَطَبَ النَّاسَ فَقَالَ إِنَّ أَكْثَرَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ مَا يُخْرِجُ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ بَرَكَاتِ الأَرْضِ . قِيلَ وَمَا بَرَكَاتُ الأَرْضِ قَالَ : زَهْرَةُ الدُّنْيَا . فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ هَلْ يَأْتِى الْخَيْرُ بِالشَّرِّ فَصَمَتَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ يُنْزَلُ عَلَيْهِ ، ثُمَّ جَعَلَ يَمْسَحُ عَنْ جَبِينِهِ فَقَالَ : أَيْنَ السَّائِلُ . قَالَ أَنَا . قَالَ : لاَ يَأْتِى الْخَيْرُ إِلاَّ بِالْخَيْرِ ، إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، وَإِنَّ كُلَّ مَا أَنْبَتَ الرَّبِيعُ يَقْتُلُ حَبَطًا أَوْ يُلِمُّ ، إِلاَّ آكِلَةَ الْخَضِرَةِ ، أَكَلَتْ حَتَّى إِذَا امْتَدَّتْ خَاصِرَتَاهَا اسْتَقْبَلَتِ الشَّمْسَ ، فَاجْتَرَّتْ وَثَلَطَتْ وَبَالَتْ ، ثُمَّ عَادَتْ فَأَكَلَتْ ، وَإِنَّ هَذَا الْمَالَ حُلْوَةٌ ، مَنْ أَخَذَهُ بِحَقِّهِ وَوَضَعَهُ فِى حَقِّهِ ، فَنِعْمَ الْمَعُونَةُ هُوَ ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِغَيْرِ حَقِّهِ ، كَانَ الَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ. متفق عليه.
Abu Sa’id Al Khudri mengisahkan: Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke mimbar lalu beliau berkhutbah:
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian ialah keberkahan bumi yang akan Allah keluarkan untuk kalian.”
Sebagian sahabat bertanya: “Apakah keberkahan bumi itu?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Perhiasan kehidupan dunia.”
Selanjutnya seorang sahabat kembali bertanya: “Apakah kebaikan (perhiasan dunia) itu dapat mendatangkan kejelekan?”
Mendengar pertanyaan itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi terdiam, sampai-sampai kami mengira bahwa beliau sedang menerima wahyu. Selanjutnya beliau menyeka peluh dari dahinya, lalu bersabda: “Manakah penanya tadi?”
Sahabat penanyapun menyahut: “Inilah aku.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Kebaikan itu tidaklah membuahkan/mendatangkan kecuali kebaikan. Sesungguhnya harta benda ini nampak hijau (indah) nan manis (menggiurkan). Sungguh perumpamaannya bagaikan rerumputan yang tumbuh di musim semi. Betapa banyak rerumputan yang tumbuh di musin semi menyebabkan binatang ternak mati kekenyangan hingga perutnya bengkak dan akhirnya mati atau hampir mati. Kecuali binatang yang memakan rumput hijau, ia makan hingga ketika perutnya telah penuh, ia segera menghadap ke arah matahari, lalu memamahnya kembali, kemudian ia berhasil membuang kotorannya dengan mudah dan juga kencing. Untuk selanjutnya kembali makan, demikianlah seterusnya. Dan sesungguhnya harta benda ini terasa manis, barang siapa yang mengambilnya dengan cara yang benar dan membelanjakannya dengan benar pula, maka ia adalah sebaik-baik bekal. Sedangkan barang siapa yang mengumpulkannya dengan cara yang tidak benar, maka ia bagaikan binatang yang makan rerumputan akan tetapi ia tidak pernah merasa kenyang, (hingga akhirnya iapun celaka karenanya).” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada riwayat Imam Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْخَيْرَ لاَ يَأْتِى إِلاَّ بِخَيْرٍ أَوَ خَيْرٌ هُوَ
“Sesungguhnya kebaikan yang sebenarnya tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan, apakah harta benda itu benar-benar kebaikan?”
Ibnu Hajar al-Asqalaani dan lainnya menjelaskan bahwa maksud dari hadits ini ialah: “Harta kekayaan dunia ini diperumpamakan dengan ladang gembalaan binatang ternak. Maka barang siapa yang mendapatkannya dengan benar, yaitu seperlunya, dari jalan yang benar dan dibelanjakan pada jalan yang benar pula, baik pada nafkah yang wajib atau sunnah, maka harta itu menjadi sebaik-baik bekal dalam beramal ketaatan. Dengan harta kekayaan, ia dapat memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian sebaik-baik bekal dalam beragama adalah harta kekayaan. Dengan demikian hadits ini semakna dengan hadits:
BACA JUGA: Halal-Haram; Cara Islam Menjaga Keselamatan Manusia
نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ
“Sebaik-baik harta yang halal adalah harta halal yang dimiliki oleh orang shalih.”
Sedangkan orang yang mengumpulkan harta kekayaan dengan cara yang tidak benar, melebihi keperluannya, dari jalan haram dan ia tidak membelanjakannya di jalan yang diridhai Allah, maka perumpamannya bagaikan orang yang makan akan tetapi tidak pernah merasa kenyang. Akibatnya ia ditimpa penyakit berbahaya dan terjerumus kebinasaan. Bagaikan binatang yang tidak pernah kenyang, atau orang sakit yang senantiasa kehausan, setiap kali ia minum, ia semakin bertambah haus, akibatnya perutnyapun semakin bengkak. Dan kelak pada hari kiamat, harta bendanya itu akan menjadi saksi atas ketamakannya, dan perilakunya yang senantiasa membelanjakan harta benda pada jalan-jalan yang dimurkai Allah. (Fathul Bari 11/246-249 & Syarah Muslim oleh Imam An Nawawi 7/141-144.)
Demikianlah saudaraku perbandingan antara kehidupan manusia yang menjadikan harta kekayaan sebagai sarana penunjang bagi peribadahannya kepada Allah dengan orang yangmenjadikan harta kekayaan sebagai pujaannya.
Termasuk kelompok manakah diri Anda? []
SUMBER: PENGUSAHA MUSLIM