Oleh: Atabik Luthfi
ALLAH SWT memperkenalkan anugerahNya yang berupa harta dengan istilah ‘khair‘, yang dimaknai ‘baik’ atau ‘kebaikan’ oleh para mufassir. Terdapat tujuh ayat yang menggunakan kata khair, yang dimaknai oleh para mufassir dengan makna harta, yaitu Al-Baqarah: 180, 215, 272, 273, Shaad: 32, Al-Ma’arij: 21, dan Al-Adiyat: 8.
Ayat terakhir yang menyebut harta itu baik adalah surat Al-Adiyat: 8, “Dan sungguh manusia sangat besar cintanya kepada khair (harta)”.
Secara fitrah, seluruh manusia tanpa terkecuali sangat mencintai harta, bahkan terkadang cintanya kepada harta sangat besar, melebihi cinta kepada yang lain.
BACA JUGA: Abdurrahman Bin ‘Auf, Orang yang Berhasil Mengendalikan Hartanya
Nabi Sulaiman as yang dianugerahi harta tiada terhingga dan tiada tertandingi dalam berbagai bentuknya, memahami harta sebagai sebuah kebaikan, “Sesungguhnya aku menyukai segala yang baik (kuda), yang membuat aku ingat akan (kebesaran) Tuhanku, sampai matahari terbenam.” (QS. Shaad: 32). Dan terbukti, hartanya menjadi izzah bagi dirinya, dan menjadi alat membawa segenap manusia kepada kebaikan, termasuk ratu Balkis sekalipun.
Kata Khair juga malah dimaknai dengan harta yang banyak oleh ulama tafsir di surat Al-Baqarah: 180: “Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang di antara kamu, jika dia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”
Semua anugerah Allah SWT pasti baik dan mengandung kebaikan, karena Allah sebagai Pemilik hakiki dari semua harta, mustahil menginginkan keburukan dari hamba-hambaNya. Prinsip kebaikan dalam semua anugerah Allah swt, tercermin dari QS. Yunus: 44 “Sesungguhnya Allah tidak menzalimi manusia sedikit pun, tetapi manusia itulah yang menzalimi dirinya sendiri.”
Urgensi harta dalam konteks khair, dapat dilihat dari pelaksanaan semua rukun Islam, kecuali syahadat. Shalat mensyaratkan seseorang bersih dan suci badannya, pakaiannya, dan tempatnya. Semuanya membutuhkan harta, terlebih kewajiban memakmurkan masjid secara lahiriyah dan bathiniyah menuntut tersedianya harta yang tidak sedikit.
Ibadah puasa agar dapat dijalankan dengan tenang, memerlukan asupan gizi yang baik, saat menyantap sahur maupun berbuka puasa, ditambah konsumsi lain yang dibutuhkan untuk kesehatan dan kesempurnaan seluruh rangkaian ibadah Ramadhan.
Ibadah zakat sangat jelas merupakan kewajiban bagi yang memenuhi persyaratan harta yang mencapai nishab. Malah tetap ada ibadah harta yang tidak dibatasi dengan jumlah minimal harta, seperti wakaf, infak, dan sedekah. Ibadah harta atau ibadah dengan harta yang bersifat sukarela ini membuktikan urgensi harta dalam membangun hubungan baik dengan Allah (Hablun Minallah), dan hubungan baik dengan manusia (Hablun Minan Naas)
Rukun Islam terakhir yaitu ibadah haji ke Baitullah, dipersyaratkan kemampuan oleh Allah SWT di QS. Ali Imran: 97: “Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana”. Di antara kesanggupan yang dipersyaratkan adalah kemampuan finansial berupa ongkos naik haji, dan bekal perjalanan diri dan kehidupan keluarga yang ditanggungnya.
Malah ibadah harta atau ibadah dengan harta, termasuk ibadah yang bersifat abadi dan kekal secara nilai dan pahala, dengan jaminan tidak terputus, meskipun pemilik harta itu sudah meninggal dunia. Rasulullah SAW malah menetapkan ‘sedekah jariyah’ di urutan pertama dalam haditsnya tentang ibadah yang tidak akan terputus pahalanya.
“Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah pahala amalnya, melainkan tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakan”. (HR. Muslim)
Amal kedua dan ketiga yang disebut di hadits tersebut pun bergantung pencapaiannya kepada ketersediaan harta. Aktifitas meraih ilmu membutuhkan bekal harta. Demikian pula usaha menshalihkan anak dibutuhkan modal harta untuk memenuhi kebutuhan agama dan akhlaknya, agar menjadi anak shalih di kemudian hari.
BACA JUGA: Semua Harta yang Kita Miliki Pasti Dihisab
Nasihat Imam Syafi’i yang terkenal bagi penuntut ilmu, yang terangkum dalam enam perkara, di antaranya ialah bekal harta atau biaya: ‘Saudaraku, engkau tidak akan mendapat ilmu, melainkan dengan enam perkara, di antaranya dirham atau harta sebagai bekal bagi para penuntut ilmu.
Tercatat beberapa ulama besar rela mengorbankan harta bendanya untuk melakukan perjalanan menuntut ilmu. Imam Abu Hatim menjual bajunya agar dapat menuntut Ilmu, Imam Malik bin Anas menjual kayu atap rumahnya untuk bekal menuntut ilmu, bahkan Al Hamadzan Al-Atthar, seorang syaikh dari Hamadzan menjual seluruh warisannya untuk biaya menuntut ilmu. Demikian agungnya para penuntut ilmu zaman dahulu, mencurahkan segala kemampuan materi, atau apapun yang ia miliki demi menggapai cita-cita mereka mumpuni dalam berbagai bidang keilmuan.
Penyesalan di kemudian hari yang diabadikan oleh Alquran tentang ibadah adalah penyesalan orang yang berharta, namun tidak mampu beribadah dengan hartanya. Ia menyesali dan meminta tambahan jatah hidup di dunia, agar dapat berwakaf, berinfak, dan bersedekah dengan hartanya tersebut.
“Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesali), “Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku pasti akan bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang shalih.” (QS. Al- Munafiqun: 10). []
SUMBER: IKADI