ADAKAH di antara kita yang tak butuh air untuk minum dan untuk keperluan lainnya? Pernahkah kita membayangkan bahwa karena sesuatu dan lain hal, kita mengalami kesulitan untuk mendapatkan –bahkan sekadar- segelas air saja?
Nikmat Hebat
Bagi rata-rata orang, segelas air kerap dipandang sebagai sesuatu yang murah. Mereka tak menilainya sebagai sebuah nikmat sangat luar biasa yang patut disyukuri secara khusus. Tapi, hal yang seperti itu tak berlaku bagi Harun Al-Rasyid, yang menjadi khalifah pada 786-809 M dan termasuk dalam rentang zaman keemasan dari daulah Abbasiyah. Dia senang dengan ilmu dan dekat dengan ulama.
Lihatlah, pada sebuah kesempatan, Harun Al-Rasyid terlibat dalam sebuah dialog yang cukup mendalam dengan seorang ulama ahli hikmah.
“Berilah nasihat agar saya bisa lebih baik dalam beribadah,” kata Harun Al-Rasyid.
“Baiklah. Tolong ambilkan air untuk kita minum,” pinta si ahli hikmah.
Seseorang lalu mengambil dua gelas air minum, segelas untuk Harun Al-Rasyid dan segelas untuk sang ahli hikmah.
Saat Harun Al-Rasyid akan minum, si ahli hikmah menahannya: “Tunggu dulu, saya mau bertanya terlebih dahulu.”
“Silakan,” kata Harun Al-Rasyid dengan penuh rasa heran.
“Andai di sebuah kesempatan, Anda benar-benar mengalami kesulitan untuk mendapatkan segelas air. Padahal, kala itu, situasi sangat terik dan tenggorokan Anda sangat kering karena rasa haus yang hebat. Sedemikian hausnya, jika tidak segera mendapat air minum, Anda akan meninggal. Maka, apa yang akan Anda lakukan,” tanya sang ahli hikmah.
“Akan saya umumkan, bahwa kepada yang memiliki segelas air minum, akan saya ganti air dia dengan separuh wilayah kekuasaan (kerajaan) saya. Itu, demi keselamatan saya,” jawab Harun Al-Rasyid tanpa ragu-ragu.
“Anda benar,” simpul si ahli hikmah.
Lalu, Harun Al-Rasyid dan sang ahli hikmah minum. Setelah itu, sang ahli hikmah bertanya lagi: “Apa sikap Anda, andai air yang telah diminum tadi, kemudian malah mendatangkan penyakit yaitu Anda tak mampu buang air kecil? Keadaan itu bahkan berkembang menjadi penyakit hebat yang bila tidak segera diobati Anda akan meninggal.”
“Jika keadaannya demikian, maka akan saya umumkan pula bahwa kepada dokter –atau siapapun- yang mampu membuat saya sehat seperti sediakala, yaitu bisa buang air kecil dengan mudah, akan saya hargai jasanya dengan separuh wilayah kekuasaan (kerajaan) yang tersisa,” ungkap Harun Al-Rasyid mantap.
“Sebuah jawaban yang tepat sekali,” kata si ahli hikmah.
Dari kisah di atas, cukup mudah untuk menangkap pesannya. Bahwa di keseharian kita, karunia Allah (seperti berbagai jenis makanan dan minuman yang kita konsumsi) serta beragam amanah Allah (seperti mata, tangan, atau kaki yang kita pakai sehari-hari) sering kita sepelekan keberadaannya. Padahal, jika dirupiahkan berbagai nikmat itu sungguh tak ternilai.
Banyak di antara kita, terutama di saat sedang sehat, tak peduli dengan keberadaan air. “Air untuk minum? Jika tak ada air dari sumur, bukankah ada air berlangganan dari Perusahaan milik Pemerintah? Jikapun keduanya tak ada, bukankah segelas air dalam kemasan bisa kita beli Rp. 500,-?” Demikian jalan berpikir dari banyak orang. Begitu juga denga nikmat berupa kemudahan saat kita membuang air kecil, misalnya. Seringkali, kemudahan tersebut kita abaikan dengan tiada bersyukur secara khusus untuk itu. “Buang air kecil? Bukankah itu sudah biasa kita lakukan sedari kecil? Buat apa dipikirkan lebih jauh?” Begitu jalan berpikir dari banyak orang. Padahal, atas semua nikmat yang diberikan kepada kita, Allah hanya meminta kita bersyukur kepada-Nya dengan cara menaati semua perintah-Nya danmeninggalkan segenap larangan-Nya.
Tapi, ‘siapa’-kah air itu sebenarnya? Rasakanlah betapa sangat bermaknanya air bagi hidup dan kehidupan kita: “Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS Al-Anbiyaa’ [21]: 30).
Air menjadi salah satu tanda kemahakuasaan-Nya. Allah yang mengatur ada-tidaknya air di sebuah tempat dan bukan manusia. “Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya” (QS Al-Hijr [15]: 22).
Sungguh, ada atau tiadanya air di sebuah daerah menjadi salah satu bukti bahwa Allah Maha-Kuasa. “Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya” (QS Al-Mu’minuun [23]: 18).
Air dijadikan Allah untuk menghidup-suburkan bumi sehingga menjadi lingkungan hidup yang indah bagi manusia. “Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah” (QS Al-Hajj [22]: 5).
Kelak, di akhirat, air juga tetap menjadi ‘menu’ yang sangat membahagiakan manusia. Di surga, Allah menggambarkan tentang penghuninya yang suka berdekat-dekat dengan air, lambang kesejukan dan kenikmatan. “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam surga (taman-taman) dan (di dekat) mata air-mata air (yang mengalir)” (QS Al-Hijr [15]: 45).
Sementara, di neraka, air menjadi sesuatu yang sangat diidamkan-idamkan oleh para penghuninya. Tapi, Allah mengharamkan air untuk segenap warga neraka (baca QS Al-A’raaf [7]: 50),
Ada dan Ahad
Alhasil, pertama, kisah Harun Al-Rasyid di atas semoga terus menyadarkan kita tentang betapa tak ternilainya nikmat Allah yang bernama air. Kedua, keberadaan air mengajarkan kepada kita bahwa Allah itu Maha-Kuasa dan tak punya sekutu. “Atau siapakah yang telah menciptakan langit dan bumi dan yang menurunkan air untukmu dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah, yang kamu sekali-kali tidak mampu menumbuhkan pohon-pohonnya? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)?” (QS An-Naml [27]: 60). Allahu-Akbar!