DISADARI atau tidak, pemahaman sebagian teman-teman ‘salafy’ bahwa pakaian muslimah dianjurkan atau bahkan wajib berwarna hitam, merupakan fakta yang jelas ada. Baik secara lisanul maqol (ucapan lisan) ataupun lisanul hal (amaliah mereka). Ada yang mengganggap, bahwa warna hitam bagi pakain muslimah lebih afdhol dari yang lainnya. Sebagian lagi berkeyakinan, bahwa warna hitam bersifat harus.
Bahkan ada seorang yang syaikh yang diundang mereka pada acara daurah di Indonesia beberapa tahun yang lalu menyatakan, bahwa pakain warna hitam untuk muslimah, merupakan sunnah para shahabiyah zaman itu. Mereka berdalil dengan kisah dalam sunan Abu Dawud ketika turun ayat hijab, bahwa pakaian wanita dari kaum Anshor kelihatan seperti burung gagak.
Dari sisi amaliah sehari-hari, mereka juga mengharuskan warna hitam untuk dikenakan di luar rumah. Seolah, seorang wanita yang keluar rumah dengan memakai pakaian bukan warna hitam, telah melakukan tindak kemaksiatan kepada Allah, atau minimal dituduh telah ‘futur’.
BACA JUGA: Wanita dalam Pikiran Laki-laki
Hal ini nyata keluar dari lisan-lisan sebagian ustadz-ustadz mereka. Yang tentunya secara alami diadopsi dan diterapkan oleh para ikhwah dan akhwat selalu pendengar setia mereka. Bahkan ada suatu kejadian unik menimpa seorang akhwat, saat mengikuti acara walimah urs di suatu tempat. Akhwat tersebut biasanya memamaki pakaian warna hitam-hitam. Maka waktu acara tersebut beliau memakai warna selain hitam. Tak tunggu lama, sebagian akhwat yang mengaku paling salafy menegur keras dengan sindiran yang menyakitkan hati :”Anti sekarang sudah berubah ya ?”. Walau bertanya, maksudnya menghina.
Seorang akhwat yang memakai jibab dengan warna selain hitam, distempel dengan berbagai gelar buruk, seperti : ‘tidak kokoh’, lembek manhajnya, bermudah-mudahan, future, dan yang lainnya oleh ‘mereka’.
Benarkah pemahaman mereka yang seperti ini ? insya Allah artikel kali ini akan membahas secara ilmiyyah tentang permasalahan ini. Kami tidak akan membahas tentang pakaian muslimah secara umum, namun pembahasan hanya terfokus kepada hukum memakai warna hitam bagi seorang muslimah. Semoga bermanfaat untuk kita semua.
PERINTAH BERHIJAB BERSIFAT MUTLAK
Perintah berhijab yang terdapat dalam beberapa ayat di dalam Al-Qur’an, semuanya bersifat mutlak, tanpa ada batasan dengan warna tertentu. Jika suatu dalil datang dalam bentuk mutlak, maka diamalkan sesuai dengan kemutlakkannya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya.” [ QS. An-Nuur : 31 ].
Allah hanya memerintahkan untuk menutupkan kerudung tanpa menentukan jenis warna kerudung yang diperintahkan. Hal ini menunjukkan akan kemutlakan kerudung dari jenis warna apa saja. Baik hitam, atau warna selainnya.
Al-khumur (kerudung) dalam ayat di atas dijelaskan oleh Al-Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- dalam tafsirnya. Beliau berkata:
وَالْخُمُرُ جَمْعُ خِمَارٍ وَهُوَ مَا يُخَمَّرُ بِهِ أَيْ يُغَطَّى بِهِ الرَّأْسُ وَهِيَ الَّتِي تُسَمِّيهَا النَّاسُ الْمَقَانِعَ.
“Al-Khumur bentuk jamak dari khimar, adalah apa yang ditutupkan pada sesuatu, artinya : apa yang digunakan untuk menutup kepala. Ia dinamakan oleh manusia dengan al-maqoni’.” [ Tafsir Ibnu Katsir : 6/42 ].
Kemudian Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah merekamengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[ QS. Al-Ahzab : 59 ].
Al-Imam Ibnu Katsri –rahimahullah- berkata:
يَقُولُ تَعَالَى آمِرًا رَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا أَنْ يَأْمُرَ النِّسَاءَ الْمُؤْمِنَاتِ- خَاصَّةً أَزْوَاجَهُ وَبَنَاتِهِ لِشَرَفِهِنَّ- بِأَنْ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ لِيَتَمَيَّزْنَ عَنْ سِمَاتِ نِسَاءِ الْجَاهِلِيَّةِ وَسِمَاتِ الْإِمَاءِ
“Allah berkata dalam keadaan memerintahkan Rosul-Nya –shollallahu ‘alaihi wa sallam- agar memerintahkan para wanita yang beriman –secara khusus para istri beliau dan anak-anak perempuan beliau karena kemulian mereka-, agar mengulurkan jilbabnyake tubuh mereka. supaya mereka dapa terbedakan dari ciri khas wanita jahiliyyah dan para budak.” [ Tafsir Ibnu Katsri : 6/425 ].
Dalam dua ayat di atas dan penjelasannya dari Ibnu Katsir, menunjukkan sesungguhnya perintah untuk mengenakan jilbab bagi para wanita bersifat mutlak, tidak ada ketentuan warna tertentu tanpa warna yang lain. Tidak ada sedikitpun makna yang menunjukkan bahwa jilbab itu harus warna hitam, atau lebih afdhol warna hitam.
Faidah :
Kata “jilbab” dalam ayat di atas, dijelaskan oleh Al-Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- :
وَالْجِلْبَابُ هُوَ الرِّدَاءُ فَوْقَ الْخِمَارِ، قَالَهُ ابْنُ مَسْعُودٍ وَعُبَيْدَةُ وَقَتَادَةُ وَالْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ وَسَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ وَإِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ وَعَطَاءٌ الْخُرَاسَانِيُّ وَغَيْرُ وَاحِدٍ وَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْإِزَارِ اليوم
“Jilbab adalah pakaian/mantel di atas kerudung. Hal ini dinyatakan oleh Ibnu Mas’ud dan ‘Ubaidah, Qotadah, Al-Hasan Al-Bashri, Sa’id bin Jubair, Ibrahim An-Nakha’i, ‘Atho’ Al-Kurasani, dan selainnya. Ia sekedudukan dengan sarung di wakti ini.” [ Tafsir Ibnu Katsir : 4/625 ].
HADITS UMMU SALAMAH
Telah diriwayatkan dari Ummu Salamah –radhiallohu ‘anha- beliau berkata :
لَمَّا نَزَلَتْ: {يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ} [الأحزاب: 59]، خَرَجَ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ كَأَنَّ عَلَى رُؤوسِهِنَّ الْغِرْبَانَ مِنَ الأَكْسِيَةِ
“Tatkala turun ayat “DAN HENDAKLAH MEREKA MENJULURKAN JILBAB-JILBAB MEREKA” (QS. Al-Ahzab : 59), para wanita Anshar keluar seolah-olah di atas kepala-kepala mereka ada burung gagak dari pakaian (yang mereka pakai-Pen).” [ HR. Abu Dawud : 4101 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahullah- ].
Ucapan Aisyah di atas, dijadikan dalil oleh segelintir orang akan wajibnya pakaian wanita atau hijab berwarna hitam. Atau paling tidak, hal ini merupakan ciri khas atau sunnah para shahabiyyat di zaman nabi. Oleh karena itu, pakaian wanita dengan warna selain hitam, merupakan warna yang tercela atau minimal telah menyelisihi akan sunnah para shahabiyyat. Benarkah pendalilan ini?
Sebelum menjawabnya, perlu untuk kita ketahui bahwa ucapan Aisyah –radhiallohu ‘anha- : “seolah-olah di atas kepala-kepala mereka ada burung gagak”, memiliki empat kemungkinan tafsir –sejauh yang kami ketahui- :
Pertama :
Maksud hadits di atas, bahwa Ummu Salamah menyerupakan warna hitam pakaian yang dikenakan oleh para wanita Anshar dengan burung gagak. Karena burung gagak warnanya hitam. Sebagaimana telah dinyatakan oleh Al-Imam Al-Adzim Abadi –rahimahullah- (wafat : 1329 H) :
شَبَّهَتِ الْخُمُرُ فِي سَوَادِهَا بِالْغُرَابِ
“Ummu Salamah menyerupakan khumur dengan burung gagak di dalam warna hitamnya.” [ ‘Aunul Ma’bud : 11/107 ].
BACA JUGA: Beda Wanita Dulu dan Sekarang
Kedua:
Maksudnya : Tenang. Diserupakan dengan burung gagak karena burung gagak kalau hinggap di suatu tempat, sangat tenang. Dalam tafsir Ibnu Abi Hatim –rahimahullah-, dari Ummu Salamah beliau berkata :
لمّا نزلت هذه الآية يدنين عليهن من جلابيبهن خرج نساء الأنصار كأن على رؤوسهن الغربان من السكينة وعليهن أكسية سود يلبسنها
“Tatkala turun ayat ini “AGAR MEREKA MENGULURKAN JILBABNYA KE TUBUH MEREKA”, para wanita Anshar keluar seakan-akan di atas kepala mereka ada burung gagak dari ketenangan mereka dan atas mereka pakaian berwarna hitam yang mereka kenakan.”[ Tafsir Ibnu Abi Hatim : 10/3154 ].
Ketiga :
Maksudnya : Pakaian yang dikenakan terbuat dari rambut hitam, sehingga di waktu shubuh seperti burung gagak.
Al-Imam Ibnu Qutaibah Ad-Dainuri –rahimahullah- (wafat : 276 H) telah menyebutkan sebuah riwayat dari Aisyah –rahdiallohu ‘anha- beliau berkata :
لما نزلت هذه الآية: وليضربن بخمرهن على جيوبهن، انقلب رجال الأنصار الى نسائهم فتلوها عليهن، فقامت كل امرأة الى مرطها المرحل، فصدعت منه صدعة، فاختمرن بها فأصبحن في الصبح على رؤوسهن الغربان.
“Tatkala turun ayat ini : DAN HENDAKLAH MEREKA MENUTUPKAN KAIN KUDUNG KE DADANYA,kembalilah para lelaki Anshar kepada istri-istri mereka lalu membacakannya kepada mereka. maka berdirilah setiap wanita ke pakaian murthu-nya yang dihiasi. Lalu setiap wanita tadi membelah darinya (murthu) dari satu belahan. Maka mereka (para wanita tersebut) memakai khimar, maka menjadilah mereka di waku shubuh (seolah) di atas kepala-kepala mereka ada burung gagak.” [ Gharibul Hadits : 2/160 ].
Al-murthu adalah:
أكسية من صوف، وربما كانت من شعر، وربما كانت من خز
“Sejenis pakaian dari bulu domba. Terkadang dari rambut. Dan terkadang dari sutera. [ Gharibul Hadits : 2/160 ].
Ucapan Aisyah –radhiallohu ‘anha- : “maka menjadilah mereka di waku shubuh (seolah) di atas kepala-kepala mereka ada burung gagak”, dijelaskan oleh Al-Imam Ibnu Qutaibah –rahimahullah – :
وأما قولها: فأصبحن على رؤوسهن الغربان.تريد: أن المروط كانت من شعر أسود، فصار على الرؤوس منها مثل الغربان ومما يوضح هذا، حديث حدثنيه عبدة الصفار قال: حدثنا محمد ابن بشر العبدي عن زكريا بن أبي زائدة عن مصعب بن شيبة عن صفية بنت شيبة عن عائشة، ان رسول الله صلى الله عليه وسلم، خرج ذات غداة وعليه مرط مرحل من شعر أسود
“Adapun ucapan Aisyah “maka menjadilah mereka di waku shubuh (seolah) di atas kepala-kepala mereka ada burung gagak”,dia menginginkan : sesungguhnya murthu (jenis pakaian) waktu itu terbuat dari rambut hitam. Maka jadilah seolah di atas kepada mereka ada burung gagak. Yang menjelaskan hal ini, hadits yang telah diceritakan oleh ‘Abdah bin Ash-Shoffar dia berkata Muhammad bin Bisyr Al-‘Abdi telah menceritakan kepada kami, dari Zakariya bin Abi Zaidah, dari Mush’ab bin Syaibah, dari Shofiyyah binti Syaibah dari Aisyah : sesungguhnya Rasulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- keluar di suatu pagi (yang masih gelap), dan beliau memakai murthu yang terbuat dari rambut berwarna hitam.” [ Gharibul Hadits : 2/161 ].
Keempat:
Maksudnya : Sebagai kinayah akan ketundukan para wanita Anshar dalam menunaikan perintah Allah untuk menutup aurat. Hal ini dinyatakan oleh Asy-Syaikh bin Baz –rahimhullah- beserta Lajnah Daimah :
وأما قول عائشة -رضي الله عنها-: (.. كأن على رؤوسهن الغربان) فهو ثناء منها على النساء المسلمات، بامتثالهن أمر الحجاب، وهو يوحي بأن ذلك اللباس أسود اللون
“Adapun ucapan Aisyah –radhiallohu ‘anha- “SEOLAH-OLAH DI ATAS KEPADA MEREKA ADA BURUNG GAGAK”, merupakan pujian darinya (Aisyah) atas para wanita muslimah dimana mereka segera menunaikan perintah untuk berhijab. Hal itu menunjukkan, sesungguhnya pakaian itu berwarna hitam.” [ Fatwa Lajah Daimah : 17/110 ].
Kesimpulannya, ucapan Aisyah di atas memiliki beberapa kemungkinan makna dan tidak ada salah satu yang lebih kuat diantara makna-makna tersebut. Ada suatu kaidah yang disebutkan oleh para ulama’ :
ما تطرق إليه الإحتمال سقط به الإستدلال
“Dalil yang masuk kepadanya kemungkinan, jatuhlah/gugur pendalilan dengannya.”
Atau dalam ungkapan Al-Imam Al-Qarafi –rahimahullah- :
حكاية الحال إذا تطرق إليها الاحتمال سقط بها الاستدلال
“Hikayat keadaan/kejadian, apabila masuk kepadanya kemungkinan, gugurlah pendalilan dengannya.”
Maksudnya, jika ucapan Aisyah di atas memiliki beberapa kemungkinan makna dan tidak ada yang lebih kuat dari makna-makna tersebut, maka gugurlah pendalilan pihak yang mengharuskan jilbab/pakaian wanita itu harus hitam dengannya, dalam rangka menghujahi pihak yang tidak mewajibkan. Walaupun hal ini masuk salah satu makna yang ada, akan tetapi bukan satu-satunya makna. Masih tersisa tiga makna sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.
Al-Imam Al-Qarafi –rahimahullah- (wafat : 684 H) :
أن الدليل من كلام صاحب الشرع إذا استوت فيه الاحتمالات ولم يترجح أحدها سقط به الاستدلال
“Sesungguhnya dalil dari ucapan pemilik syari’at (Allah dan Rosul-Nya), apabila mengandung berbagai kemungkinan di dalamnya dan tidak ada salah satu yang lebih kuat, maka gugurlah pendalilan dengannya.”[ Anwarul Buruq : 2/159 ].
PEMAHAMAN PARA ULAMA’ TERHADAP HADITS UMMU SALAMAH
Sejauh pengetahun kami, para ulama’ tidaklah menjadikan hadits Ummu Salamah sebagai dalil akan wajibnya pakaian wanita berwarna hitam. Bahkan mereka menyatakan bahwa pakaian warna hitam untuk wanita bukan suatu keharusan. Bahkan hanya perkara yang boleh saja. Oleh karena itu, boleh bagi para wanita untuk memakai pakaian hijab dari selain warna hitam.
Asy-Syaikh Abdul Mushin Al-Abbad Al-Badr –rahimahullah- berkata :
يعني: من ناحية الخمر، والمقصود من ذلك أنهن بادرن إلى تغطية رءوسهن ووجوههن حتى صرن: [كأن على رءوسهن الغربان]، يعني: من حيث اللون، ولون الغربان أسود ولون الخمر التي كانت عليهن كذلك.ولا يلزم أن يكون الحجاب أسود.
“Maksudnya, dari sisi penutup kepala (kerudung). Yang diinginkan dari kalimat itu, seseungguhnya mereka (para wanita Anshar) bersegera untuk menutupi kepala-kepada mereka dan wajah-wajah mereka sehingga menjadi seolah-oleh di atas kepala mereka ada burung gagak. Artinya : dari sisi warna. Dan warna kerudung yang mereka pakai waktu itu juga demikian (warna hitam). Akan tetapi hal itu tidak mengharuskan warna hijab harus hitam.” [ Syarh Sunan Abu Dawud : 23/460 ].
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz –rahimahullah- berkata :
يجوز للنساء لبس السواد وغيره مما ليس فيه تشبه بالرجال، وأما قول عائشة -رضي الله عنها-: (.. كأن على رؤوسهن الغربان) فهو ثناء منها على النساء المسلمات، بامتثالهن أمر الحجاب، وهو يوحي بأن ذلك اللباس أسود اللون
“Boleh bagi para wanita untuk memakai pakaian hitam dan selainnya (yang bukan hitam) dari apa-apa yang di dalamnya tidak ada bentuk penyerupaan dengan para lelaki. Adapun ucapan Aisyah –radhiallohu ‘anha- “SEOLAH-OLAH DI ATAS KEPADA MEREKA ADA BURUNG GAGAK”, merupakan pujian darinya (Aisyah) atas para wanita muslimah dimana mereka segera menunaikan perintah untuk berhijab. Hal itu menunjukkan, sesungguhnya pakaian itu berwarna hitam.” [ Fatwa Lajah Daimah : 17/110 ].
BACA JUGA: 11 Wanita Bercerita tentang Suami Mereka
Dalam tempat yang lain, Lajnah Daimah juga berfatwa :
لبس السواد للنساء ليس بمتعين ، فلهن لبس ألوان أخرى مما تختص به النساء ، لا تلفت النظر ، ولا تثير فتنة
“Memakai pakaian hitam bukan suatu keharusan. Boleh bagi mereka untuk memakai warna lain dari apa-apa yang khusus bagi wanita, tidak memancing orang untuk melihat, dan tidak memberikan pengaruh fitnah.” [ Fatwa Lajnah Daimah : 17/109 ].
Asy-Syaikh bin Baz –rahimahullah- juga berkata :
لباس المرأة المسلمة ليس خاصا باللون الأسود. ويجوز لها أن تلبس أي لون من الثياب إذا كان ساترا لعورتها, وليس فيه تشبه بالرجال, و ليس ضيقا يحدد أعضاءها, ولا شفافا يشف عما وراءه, ولا مثيرا للفتنة
“Pakaian wanita muslimah tidak khusus hanya warna hitam saja. Boleh baginya untuk memakai pakaian warna apa saja apabila menutup aurat, tidak ada penyerupaan dengan pakaian laki-laki, tidak sempit yang akan menampakkan lekuk tubuhnya, tidak tipis yang akan menampakan apa yang ada di belakangnya, dan tidak menimbulkan fitnah.”[ Lajnah Daimah : 17/108 ].
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalihh Al-Utsaimin –rahimahullah- berkata :
بل المرأة تلبس ما شاءت من الثياب التي يباح له لبسها قبل الإحرام، فتلبس الأسود أو الأحمر، أو الأصفر، أو الأخضر وما شاءت
“Bahkan boleh bagi seorang wanita untuk memakai pakaian yang dibolehkan baginya sebelum ihram. Maka boleh baginya untuk memakai pakaian warna hitam, atau merah, atau kuning atau hijau dan warna lain yang dia kehendaki….” [ Majmu’ Fatawa Wa Rasail : 22/180 ]. []
Facebook: Abdullah Al Jirani