TERNYATA, para wanita di zaman itu juga memakai pakaian selain warna hitam. Tidak sebagaimana dipahami –dengan salah oleh sebagian pihak-, seolah-oleh mereka hanya memakai pakaian warna hitam saja.
Telah diriwayatkan oleh Aisyah –radhiallohu ‘anha- beliau berkata:
جاءتِ امرأَةُ رِفَاعَةَ القُرَظيِّ رسولَ اللهِ – صلى الله عليه وسلم -، وَأَنَا جالِسَةٌ، وَعِنْدَهُ أَبو بَكْرٍ (وفي طريق: قالت عائشة: وعليها خِمارٌ أَخْضَرُ
“Telah datang istri Rifa’ah Al-Quradzi kepada Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- dan aku waktu itu sedang duduk. Di sisinya ada Abu Bakar. Di dalam jalan periwayatan lain : dia (istri Abu Fifa’ah) memakai khimar (kerudung) berwarna hijau.” [ HR. Al-Bukhari : 2264 ].
Hadits di atas dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari –rahimahullah- dalam judul Bab:
بَابُ ثِيَابِ الخُضْرِ
“Bab Baju-Baju Hijau”. [ Shohih Al-Bukhari : 7/148 ].
Ucapan Al-Bukhari dalam judul bab tersebut dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- :
أي باب جواز لبس الثياب الخضر للرجال و النساء لإقرار النبي المرأة على لبسه
“Artinya, bolehnya memakai pakaian warna hijau bagi laki-laki dan perempuan berdasarkan persetujuan nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- terhadap wanita untuk memakaianya.” [ Fathul Bari : ].
Hadits di atas menunjukkan secara jelas, bahwa seorang shahabiyat, yaitu istri dari Rifa’ah Al-Quradzi memakai pakaian (kerudung) warna hijau dan waktu itu nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- hadir dan mengetahui hal tersebut. Namun nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- tidak melarang untuk memakainya, atau tidak menyatakan bahwa warna hitam lebih utama dari warna hijau, atau tidak mengatakan bahwa wanita itu ‘tidak kokoh’ karena pakai kerudung warna hijau, atau yang semisalnya. Taqrir (persetujuan) nabi merupakan hujjah (dalil) dalam penetapan hukum.
Telah diriwayatkan dari Aisyah binti Sa’ad –radhiallohu ‘anha- beliau berkata:
رَأَيْتُ سِتًّا مِنْ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَلبَسْنَ الْمُعَصْفَرَ
“Aku melihat enam orang dari istri nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- memakai pakaian mu’ashfar (berwarna kuning kemerah-merahan).” [ Syarhus Sunnah Al-Baghawi : 12/30 No : 3094, Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf : 19966, dan sanadnya dishohihkan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam tahqiq beliau kepada Musnad Ahmad : 11/493 ].
BACA JUGA: 13 Hal Ini Harus Dijaga oleh Seorang Muslimah
Al-Imam Abul Fatah Al-Ba’li –rahimahullah- (wafat : 709 H):
المعصفر: المصبوغ بالعصفر، وهو صبغ معروف
“Al-Muashfar, adalah pakaian yang dicelup dengan ushfur (sejenis tumbuhan untuk mencelup pakaian biasanya menghasilkan kuning warna merah). Ia merupakan celupan yang telah dikenal.” [ Al-Muthli’ ‘Ala Alfadzil Muqni’ : 1/213 ].
Perhatikan ! Isti-istri nabipun tidak melulu memakai pakaian hitam. Mereka juga memakai pakaian warna merah. Tidakah hal ini cukup sebagai bukti akan kekeliruan pemahaman sebagian pihak yang mengharuskan akan pakaian warna hitam bagi wanita ? atau minimal pengutamaan mereka terhadap warna hitam ?
Telah diriwayatkan dari Abu Huroiroh –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata, Rosulullah-shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
أَلَا وَإِنَّ طِيبَ الرِّجَالِ مَا ظَهَرَ رِيحُهُ، وَلَمْ يَظْهَرْ لَوْنُهُ أَلَا إِنَّ طِيبَ النِّسَاءِ مَا ظَهَرَ لَوْنُهُ وَلَمْ يَظْهَرْ رِيحُهُ
“Ketahuilah, minyak wangi bagi laki-laki itu beraroma tetapi tidak berwarna, sedangkan minyak wangi bagi wanita itu berwarna tetapi tidak beraroma.” [ HR. Abu Dawud : 2174, At-Tirmidzi : 2787 dan selainnya. Lafadz di atas lafadz At-Tirmidzi. Hadits ini telah dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahullah- ].
Hadits di atas diletakkan oleh Al-Imam Shidiq Hasan Khan dalam kitabnya “Husnul Uswah” halaman : 460 di bawah Bab Dalil-dalil dalam warna pakaian bagi wanita.
Telah diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari –rahimahullah- :
وقَالَ لِي عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ: حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ قَالَ: ابْنُ جُرَيْجٍ، أَخْبَرَنَا قَالَ: أَخْبَرَنِي عَطَاءٌ: إِذْ مَنَعَ ابْنُ هِشَامٍ النِّسَاءَ الطَّوَافَ مَعَ الرِّجَالِ، قَالَ: كَيْفَ يَمْنَعُهُنَّ؟ وَقَدْ طَافَ نِسَاءُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ الرِّجَالِ؟ قُلْتُ: أَبَعْدَ الحِجَابِ أَوْ قَبْلُ؟ قَالَ: إِي لَعَمْرِي، لَقَدْ أَدْرَكْتُهُ بَعْدَ الحِجَابِ، قُلْتُ: كَيْفَ يُخَالِطْنَ الرِّجَالَ؟ قَالَ: لَمْ يَكُنَّ يُخَالِطْنَ، كَانَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَطُوفُ حَجْرَةً مِنَ الرِّجَالِ، لاَ تُخَالِطُهُمْ، فَقَالَتْ امْرَأَةٌ: انْطَلِقِي نَسْتَلِمْ يَا أُمَّ المُؤْمِنِينَ، قَالَتْ: «انْطَلِقِي عَنْكِ»، وَأَبَتْ، يَخْرُجْنَ مُتَنَكِّرَاتٍ بِاللَّيْلِ، فَيَطُفْنَ مَعَ الرِّجَالِ، وَلَكِنَّهُنَّ كُنَّ إِذَا دَخَلْنَ البَيْتَ، قُمْنَ حَتَّى يَدْخُلْنَ، وَأُخْرِجَ الرِّجَالُ، وَكُنْتُ آتِي عَائِشَةَ أَنَا وَعُبَيْدُ بْنُ عُمَيْرٍ، وَهِيَ مُجَاوِرَةٌ فِي جَوْفِ ثَبِيرٍ، قُلْتُ: وَمَا حِجَابُهَا؟ قَالَ: هِيَ فِي قُبَّةٍ تُرْكِيَّةٍ، لَهَا غِشَاءٌ، وَمَا بَيْنَنَا وَبَيْنَهَا غَيْرُ ذَلِكَ، وَرَأَيْتُ عَلَيْهَا دِرْعًا مُوَرَّدًا
“Dan berkata, kepadaku ‘Amru bin ‘Ali telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim berkata, Ibnu Juraij telah mengabarkan kepada kami, berkata,, telah mengabarkan kepada saya ‘Atho’ ketika Ibnu Hisyam melarang para wanita untuk thawaf bersama kaum lelaki, ia (‘Atho’) berkata; “Bagaimana kalian melarang mereka sedangkan para isteri Nabi Shallallahu’alaihiwasallam melakukan tawaf bersama kaum lelaki?”. Aku bertanya: “Apakah setelah turun ayat hijab atau sebelumnya?”. Ia menjawab: “Benar, sungguh aku mendapatinya setelah turun ayat hijab”. Aku berkata: “Bagaimana mereka berbaur dengan kaum lelaki?”. Ia menjawab: “Mereka tidak berbaur dengan kaum lelaki, dan ‘Aisyah radliallahu ‘anha thawaf dengan menyendiri dan tidak berbaur dengan kaum lelaki”. Lalu ada seorang wanita berkata, kepadanya: “Beranjaklah wahai Ummul Mukminin, mari kita mencium hajar aswad”. ‘Aisyah radliallahu ‘anha menjawab: “Engkau saja yang pergi”. Sedangkan ia enggan untuk pergi. Dahulu kaum wanita keluar pada malam hari tanpa diketahui keberadaannya, lalu mereka thawaf bersama kaum lelaki. Namun mereka jika memasuki masjid, mereka berdiri hingga mereka masuk saat para lelaki telah keluar. Dan aku bersama ‘Ubaid bin ‘Umair pernah menemui ‘Aisyah radliallahu ‘anha yang sedang berada disisi gunung Tsabir. Aku bertanya: “Hijabnya apa? Ia menjawab: “Ia berada di dalam tenda kecil buatan Turki. Tenda itu memiliki penutup yang tipis dan tidak ada pembatas antara kami dan beliau selain tenda itu,dan aku melihat beliau mengenakan gamis bermotif mawar”. [ HR. Al-Bukhari : 1618 ].
Telah diriwayatkan dari Amer bin Syu’aib dari bapaknya (Syu’aib bin Muhammad) dari kakeknya(Muhammad bin Abdullah bin Amer), beliau berkata:
هبطْنَا مع رسولِ الله – صلَّى الله عليه وسلم – من ثنيّةٍ، فالتفتَ إليَّ وعليَّ ريطةٌ مضرَّجةٌ بالعُصْفُرِ، فقال: “ما هذه الرَّيطةُ عليك؟ ” فعرفتُ ما كرِهَ، فأتيتُ أهلي وهم يسجرون تنُّوراً لهم، فقذفتُها فيه، ثم أتيتُه من الغد، فقال: “يا عبدَ الله، ما فعلتِ الرَّيطةُ؟ ” فأخبرتُه، فقال: “أفلا كسوتَها بعضَ أهلِكَ، فإنه لا بأسَ به للنساء”
“Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam turun dari lembah Tsaniah, lalu beliau melihatku mengenakan kain tipis yang dicelup dengan warna kuning kemerahan. Maka beliau bersabda: “Kenapa kain tipis ini ada padamu!” aku paham bahwa beliau tidak menyukainya, maka aku kembali menemui keluargaku yang sedang menyalakan tungku, sehingga kain itu aku masukkan ke dalamnya. Kesokan harinya aku datang menemui Nabi, beliau bertanya: “Wahai Abdullah, apa yang engkau lakukan dengan kain tipis milikmu itu?” aku lalu mengabarkan hal yang telah aku lakukan kepada beliau. Beliau pun bersabda: “Kenapa tidak engkau berikan ke salah satu isterimu, karena itu tidak apa-apa untuk wanita.”[ HR. Abu Dawud : 4066 dan dishohihkan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth –rahimahullah- ].
Dalam hadits di atas, secara jelas nabi mengijinkan kepada Abdullah bin Amer untuk memberikan pakaian yang telah dicelup dengan warna kuning kemerahan kepada istrinya. Bahkan secara tegas beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengatakan : “karena itu (pakaian warna kuning kemerahan) tidak apa-apa(boleh) bagi para wanita.” Ini langsung dari nabi pemberian ijinnya. Beliau tidak melarang sama sekali wanita untuk memakai pakaian warna kuning kemerahan. Juga tidak mengatakan, bahwa warna ini kurang afdhol, yang afdhol adalah warna hitam. Tidak ada sama sekali.
Al-Imam Adzim Abadi –rahimahullah- berkata :
وَالْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى جَوَازِ لُبْسِ الْمُعَصْفَرِ لِلنِّسَاءِ
“Hadits di atas menunjukkan akan bolehnya wanita memakai pakaian berwarna kuning kemerahan.” [ ‘Aunul Ma’bud : 11/79 ].
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar –radhiallohu ‘anhu- beliau berkata:
نَهَى النِّسَاءَ فِي إِحْرَامِهِنَّ عَنِ القُفَّازَيْنِ وَالنِّقَابِ، وَمَا مَسَّ الْوَرْسُ وَالزَّعْفَرَانُ مِنَ الثِّيَابِ، وَلْتَلْبَسْ بَعْدَ ذَلِكَ مَا أَحَبَّتْ مِنْ أَلْوَانِ الثِّيَابِ مُعَصْفَرًا أَوْ خَزًّا أَوْ حُلِيًّا أَوْ سَرَاوِيلَ أَوْ قَمِيصًا أَوْ خُفًّا
“Bahwa ia telah mendengar Rasulullah shallallahu wa’alaihi wa sallam melarang para wanita ketika melakukan ihram dari memakai kaos tangan, serta niqab (penutup wajah), serta pakaian yang terolesi daun bidara serta kunyit, dan setelah itu silahkan ia melakai apa yang ia sukai dari berbagai warna pakaian, yang diwarnai kuning kemerahan, sutera, atau perhiasan atau celana panjang, atau jubah atau sepatu.” [ HR.Abu Dawud : 1827 dan dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahullah- ].
Dalam hadits di atas, secara tegas Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- membolehkan kepada para wanita untuk memakai pakaian warna apa saja yang mereka sukai setelah ihram. Entah kuning, merah, hijau, putih, ataupun yang lainnya.
Dari beberapa hadits di atas dapat disimpulkan bahwa para sahabiyat di zaman nabi memakai berbagai warna pakaian selain hitam, baik yang mereka kenakan atau diijinkan nabi untuk memakaianya, diantaranya:
1). Memakai pakaian warna hijau.
2). Memakai pakaian warna kuning.
3). Memakai pakaian warna merah.
4). Memakai pakaian warna putih.
5). Memakai pakaian warna bermotif bunga mawar.
6). Dibolehkan untuk memakai pakaian dengan warna apa saja. Baik satu warna atau berbagai warna. Karena haditsnya datang secara mutlak.
Jadi, keyakian atau pemahaman sebagian orang bahwa para sahabiyyat hanya memakai pakaian warna hitam, adalah keliru. Mereka hanya mengambil satu riwayat, dan mengesampingkan riwayat-riwayat yang lain. kesalahan seperti ini, sering kali terjadi.
Oleh karena itu, jika wanita yang tidak memakai pakaian warna hitam dianggap oleh mereka sebagai wanita yang ‘tidak kokoh’, atau lembek manhajnya, atau futur, atau yang semisalnya, berarti para sahabiyat nabi juga telah mereka tuduh seperti itu. Bahkan menuduh nabi juga karena beliau mengijinkan untuk memakai warna selain warna hitam. Apakah hal ini tidak cukup untuk menyatakan mereka di atas sifat ghuluw (melampaui batas) dalam beragama??!
Ibnu Abdil Barr –rahimahullah- menukil dari Al-Imam Malik –rahimahullah- beliau berkata:
مالك –رحمه الله – أنه لم يربلبس الثياب المزعفرة بأسا للنساء
“Malik –rahimahullah- membolehkan para wanita untuk memakai pakaian warna kuning.” [ At-Tamhid : 16/258 ].
BACA JUGA: Mengapa Muslimah Dianjurkan Berdiam Diri di Rumah?
Ibnu Abdil Bar –rahimahullah- berkata:
و أما النساء فإن العلماء لا يختلفون في جواز لباسهن المعصفر المفدم و المورد و الممشق
“Adapun para wanita, maka para ulama’ tidak berselisih dalam hal bolehnya mereka memakai pakaian warna kuning kemerahan, merah mawar, merah lumpur.” [ At-Tamhid : 16/123 ].
Al-Imam Ibnu Muflih Al-Hambali –rahimahullah- berkata:
و لا بأس بلبس المزعفر و المعصفرو الأخمر للنساء
“Boleh bagi wanita untuk memakai pakaian warna kuning kemerahan dan merah.” [ Al-Adabusy Syar’iyyah : 4/70 ].
APAKAH PAKAIAN WARNA HITAM LEBIH AFDHOL BAGI WANITA DARI WARNA YANG LAIN?
Setelah membaca artikel ini, mungkin sebagian pihak yang awalnya mewajibkan pakaian warna hitam bagi wanita, akan sedikit bergeser pendapatnya –karena sudah sadar tidak memiliki dalil-. Dari yang asalnya mewajibkan, berubah menjadi lebih afdhol. Mereka berkata : “kami memakai pakaian warna hitam, karena warna ini lebih utama dari warna yang lain!”
Afdholiyyah (keutamaan) yang dimaksud di sini, adalah keutamaan yang dilihat dari sisi agama, bukan dari sisi yang lain. Jika demikian, untuk menentukan sesuatu itu lebih afdhol dari yang lain, perlu untuk dilihat dalilnya. Sejauh pengetahuan kami, tidak ada satupun dalil yang menunjukkan warna hitam itu lebih utama dari warna lain. Barang siapa yang menyatakan lebih afdhol, maka kami tuntut untuk mendatangkan dalil atas pendapatnya. Dan dalam prediksi besar kami, dia tidak akan mampu untuk mendatangkannya.
Kalau ada sebagian shahabiyat yang memakai pakaian hitam, itu tidaklah meniadakan pakaian selain warna hitam kurang afdhol. Karena para shahabiyat juga memakai pakaian dengan warna selain hitam. Bahkan istri-istri nabi memakai pakaian bukan warna hitam. Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- juga mengijinkan untuk memakai warna selain hitam.
Lantas dari sisi mana warna hitam lebih afdhol dari warna selainnya ? apakah kalian hanya menetapkannya hanya bermodal perasaan saja? Atau hanya kira-kira saja?
Kalau ada yang mengatakan, bahwa warna hitam itu warna yang paling tidak menarik lawan jenis. Ini perkara yang nisbi (tidak pasti). Bahkan bagi sebagian orang, melihat wanita dengan warna hitam justru lebih menarik dan membuat penasaran dari warna yang lain. Lantas sandaran pastinya apa untuk menetapkan warna itu menarik atau tidak menarik?
Pernyataan bahwa warna hitam tidak menarik, itu mengandung konsekwensi bahwa warna selain hitam itu menarik lawan jenis. Jika demikian, berarti para istri nabi dan para sahabiyat di zaman itu, telah memakai pakaian yang menarik lawan jenis. Berarti nabi juga mengijinkan para wanita di zaman itu untuk memakai pakaian dengan warna yang menarik lawan jenis. Ini semua kebodohan yang sangat nyata. Maka :”Datangkanlah keterangan yang jelas jika kalaian memang orang-orang yang benar!”
Apakah masuk akal jika para istri nabi meninggalkan pakaian yang lebih afdhol dan memilih untuk memakai pakaian yang kurang afdhol karena memakai pakaian dengan warna selaian hitam ? apakah masuk akal jika nabi memerintahkan untuk memakai pakaian yang kurang afdhol dan meninggalkan pakaian yang lebih afdhol? Tidak sama sekali.
Bahkan jika kalian jujur, seharusnya kalian wahai para wanita untuk mencontoh para istri nabi dan para shahabiyat di zaman itu. Disamping mereka memakai pakaian warna hitam, mereka juga memakai warna yang lain, seperti kuning, merah, hijau, bermotif bunga mawar, bercorak, putih dan lain sebagainya.
APAKAH PAKAIAN SERBA HITAM TERMASUK PAKAIAN SYUHROH (KETENARAN) YANG DILARANG NABI?
Pertanyaan ini perlu perincian. Jika seorang wanita itu hidup dan tinggal di suatu negeri atau suatu tempat dimana penduduknya atau masyarakatnya terbiasa dengan pakaian besar serba hitam kelam, mulai dari kerudung, jubah, cadar, kaos tangan dan kaos kaki serta hitam kelam, seperti di Saudi, Yaman atau yang semisalnya, maka tidak termasuk pakaian syuhroh (ketenaran/tampil beda) yang dilarang oleh Nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam-. Karena saat dia memakai pakaian seperti ini di sana, maka tidak akan memancing perhatian orang-orang di sekitarnya sama sekali. Karena sudah biasa. Mayoritas penduduknya juga mengenakannya.
Tapi jika wanita itu hidup di suatu negeri atau daerah yang penduduknya atau masyarakatnya tidak biasa mengenakan pakaian serba hitam kelam dan sangat besar, dan bukan termasuk adat mereka mengenakan warna pakaian seperti itu. Bahkan mereka akan menggangap aneh dan seram serta menakutkan pakaian seperti itu, maka lebih utama untuk meninggalkan pakaian dengan warna serba hitam kelam seperti ini.
Telah datang dari nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- beliau bersabda:
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ . زَادَ عَنْ أَبِي عَوَانَةَ «ثُمَّ تُلَهَّبُ فِيهِ النَّارُ»
“Barangsiapa memakai pakaian ketenaran (tampil beda), maka pada hari kiamat Allah akan mengenakan untuknya baju semisal. Ia menambahkan dari Abu Awanah, “lalu akan dilahab oleh api neraka.” [ HR. Abu Dawud : 4029, Ibnu Majah : 3607, An-Nasa’idalam “Al-Kubro” : 9487 dan selainnya. Hadits ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rohimahullah- ]
Makna “pakaian ketenaran” yang dilarang dalam hadits ini, telah dijelaskan oleh Al-Imam Al-‘Adzim Abadi –rohimahullah- beliau berkata:
قال بن الْأَثِيرِ الشُّهْرَةُ ظُهُورُ الشَّيْءِ وَالْمُرَادُ أَنَّ ثَوْبَهُ يَشْتَهِرُ بَيْنَ النَّاسِ لِمُخَالَفَةِ لَوْنِهِ لِأَلْوَانِ ثِيَابِهِمْ فَيَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ أَبْصَارَهَمْ وَيَخْتَالُ عَلَيْهِمْ بِالْعُجْبِ وَالتَّكَبُّرِ كَذَا فِي النَّيْلِ
“Ibnul Atsir berkata : asy-syuhrah : tampak atau menonjolnya sesuatu. Dan yang dimaksud di sini, sesungguhnya pakaiannya tenar di antara manusia karena menyelisihi (tampil beda) terhadap warna pakaian mereka, sehingga manusia mengangkat padangan mereka kepadanya dan akhirnya dia angkuh, ujub dan sombong kepada mereka. demikian disebutkan dalam “Nailul Author”. [ ‘Aunul Ma’bud : 11/58 ].
Pakaian termasuk jenis pakaian syuhroh (ketenaran/tampil beda) yang dilarang nabi, bisa terjadi dari tiga sisi : warnanya, modelnya, dan ukurannya.[ Insya Allah ada nada pembahasan tersendiri tentang pakaian syuhroh pada artikel selanjutnya ]
Dalam kondisi masyarakat yang tidak terbiasa dengan warna hitam kelam, maka pakaian wanita muslimah dengan warna selain hitam, itu lebih utama dari warna hitam. Disamping tidak termasuk pakaian syuhroh, juga lebih bisa diterima oleh masyarakat dan tidak membuat mereka menjauh dan lari dari kita.
Memakai pakaian warna hitam bagi wanita hukumnya hanya boleh. Bukan sunnah apalagi wajib. Lantas kenapa kita memaksakan untuk memakainya dalam lingkungan dan kultur masyarakat kita yang belum siap menerima hal itu ? atau mereka merasa aneh dan seram dengan hal itu?
Padahal sesuatu yang dianjurkan saja, atau yang sunnah saja, tidak boleh dipaksakan alias dianjurkan ditunda untuk diamalkan saat masyarakat sekitar belum siap, atau merasa aneh, atau takut dengan hal itu yang nantinya akan menyeret kepada berbagai kerusakan dan fitnah. Seperti nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- menunda untuk mengembalikan bangunan Ka’bah kepada aslinya yang dibangun oleh nabi Ibrahim, karena masyarakat sekitar belum siap dan dikhawatirkan akan menimbulkan banyak fitnah.
BACA JUGA: Muslimah Cari Calon Suami, Ini Adabnya
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin –rahimahullah- berkata:
وإنما قلنا هذا؛ لأنه لو لبس خلاف ما يعتاده الناس لكان ذلك شهرة، والنبي صلى الله عليه وسلم نهى عن لباس الشهرة… بل نهى عن لباس الشهرة مفيداً إلى أن السنة في اللباس أن يتبع الإنسان ما كان الناس يعتادونه، إلا أن يكون محرماً
“Kami mengatakan ini, karena seorang memakai pakaian yang menyelisihi adat manusia (penduduk negerinya), maka hal itu termasuk pakaian syuhroh (pakaian ketenara/tampil beda). Dan nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- telah melarang dari memakai pakaian syuhrah (pakaian ketenaran/tampil beda dari penduduk negerinya)….Bahkan melarang dari memakai pakaian syuhrah (ketenaran/tampil beda) yang memberikan faidah, sesungguhnya yang sunnah dalam berpakaian itu, hendaknya seorang insan mengikuti apa yang telah menjadi adat penduduk negerinya dalam berpakaian, kecuali pakaian yang diharamkan.” [ Liqo’ Babil Maftuh : 24/160 ].
PENUTUP
Pada bagian penutup ini, kami ingin bawakan pernyataan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani –rahimahullah- untuk mereka yang memahami dan menyakini –dengan melampaui batas – bahwa memakai pakaian warna hitam untuk wanita itu wajib, atau minimal lebih utama secara mutlak dari warna yang lain tanpa mengindahkan perkara-perkara lain.
Ingat! Pakaian warna hitam untuk wanita itu hanya mubah (boleh) saja dan masuk katagori adat. Bukan termasuk hukum syari’at. Tidak sunnah apalagi wajib. Jika termasuk adat, maka hukumnya harus menyesuaikan dengan empat hal, yaitu: Waktu, tempat, kondisi dan orang. Adat, hukumnya akan berbeda-beda dengan perbedaan empat hal tersebut. Pakaian hitam bagi wanita, mungin di Saudi atau Yaman, atau Afganistan, termasuk pakaian yang afdhol sesuai dengan kondisi negeri tersebut serta adat yang berjalan di sana. Tapi belum tentu menjadi perkara yang afdhol di negeri lain, seperti di Indonesia.
Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahullah- berkata : “Ketahuilah! Bukan termasuk perhiasan (yang dilarang) sedikitpun, pakaian wanita yang mereka kenakan untuk menutup diri berwarna dengan warna selain putih dan hitam, sebagaimana telah dipahami salah oleh sebagian wanita yang ingin berpegang teguh dengan agamanya karena dari dua sisi -kemudian beliau menyebutkan dua perkara yang melandasi ucapannya.” [ Jilbab Mar’ah Muslimah : ]. []
Facebook: Abdullah Al Jirani