Oleh: Zulfikar Alfarouq
Mahasiswa S2 Magister Hukum Ekonomi Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
MASYARAKAT memiliki tradisi tersendiri dalam memenuhi hajat hidupnya. Dalam suatu daerah, komunitas masyarakat ada yang memiliki tradisi bertani, berkebun, buruh, guru, dan ada juga yang bergelut dalam perdagangan. Tradisi tersebut biasanya dipertahankan turun temurun atau menjadi suatu kebiasaan yang identik dari komunitas mereka.
Di daerah Puncak Bogor misalnya, tradisi masyarakat dalam memenuhi hajat hidupnya dilakukan dengan cara bertani dan menyewakan rumah (vila) untuk para wisatawan. Lain lagi dengan tradisi masyarakat Cibaduyut, yang notabenenya menggeluti industri pembuatan sepatu dan berdagang. Karakter dari setiap komunitas inilah yang menjadi ciri khas dan daya tarik.
Berdagang merupakan salah satu aktivitas yang banyak dilakukan masyarakat, baik di desa maupun kota, baik menjadi tradisi yang melekat di masyarakat atu pun hanya kepentingan individu semata. Puluhan abad yang lalu, Islam telah membangun pondasi yang kuat untuk dibangun di atasnya nilai-nilai kejujuran dan keadilan dalam berdagang. Rasulullah SAW adalah sosok yang patut di contoh oleh masyarakat dewasa ini. Nilai-nilai kejujuran dan amanah dalam berdagang, telah Rasulullah tanamkan sejak berafiliasi dengan Khadijah (sebelum menikah).
Sebagai Mudharib (Pengelola), Rasulullah telah berhasil menyebar embrio kejujuraan, kepercayaan dan keuntungan yang adil bagi Khadijah selaku Shahibul Mal (Pemilik Modal), dirinya sendiri maupun para pembeli dagangannya. Inilah yang dimkasud Umar bin Khattab r.a: “Tidaklah melakukan perdagangan di pasar kami kecuali orang yang memahami tentang ajaran agama.” (HR Turmudzi)
Jual beli gharar adalah jual beli yang mengandung unsur penipuan, dimana penjual menipu atau membohongi pembeli dengan merahasiakan kecacatan barang dagangannya, atau menipu kuantitas maupun kualitasnya. Tidak hanya itu, jika pembeli menipu penjual dengan harga yang merugikan karena ketidaktahuan informasi penjual terkait barang dagangannya, maka itu termasuk gharar. Kewajiban berlaku jujur antara Penjual dan Pembeli merupakan syarat dari perdagangan yang adil. Keberkahan akan menaungi keduanya di dunia maupun akhirat.
Penipuan adalah sikap tercela, dan pelakunya diancam oleh Rasulullah keluar dari golongan umatnya. Penjual yang jujur akan berterus terang dengan kondisi dagangannya, meskipun akan berpengaruh dengan penjualannya. Sedangkan Penjual yang bohong, akan menutupi kecacatan atau keburukan dagangannya, sehingga menyebabkan kerugian bagi pembeli. Kejujuran dalam berdagang akan membentuk harga yang adil, sehingga keadilan tersebut menambah keberkahan dalam berdagang. Sebaliknya, perdagangan yang didasari kebohongan akan merusak keridhoan, merusak mekanisme pasar, dan mencabut keberkahan.
Kehati-hatian dalam berdagang tidak hanya dalam aspek untuk rugi semata, namun kepatuhan terhadap syariat pula. Tidak banyak masyarakat yang mengetahui aturan berdagang dalam Islam. Beberapa Pedagang terkadang mematok harga yang berbeda untuk satu produk untuk Pembeli yang berbeda. Ada juga Pedagang yang mencampur buah kualitas A dengan B dalam satu wadah, tapi dijual dengan harga buah kualitas A. Ini adalah gharar yang sering dilakukan oleh sebagian Pedagang. Disadari atau tidak disadari, hal tersebut telah jatuh pada perbuatan tercela dan merugikan Pembeli. Sayangnya, hal ini terasa lumrah atau biasa, dirasa bukan perbuatan tercela.
Syariat yang ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya memiliki tujuan-tujuan tertentu, salah satunya adalah menjaga harta. Harta yang Allah titipkan kepada kita, baik banyak maupun sedikit, semua itu akan dipertanggungjawabkan dihdapan Allah SWT; dari mana didapatkan, untuk apa digunakan, dan bagaimana menggunakannya.
Pada dasarnya seluruh kegiatan ekonomi itu dibolehkan, selama tidak bertentangan dengan syariat Allah. Bentuk ketidaktahuan terhadap aturan Islam dalam berdagang, seyogyanya masih bisa dimaafkan jika tidak ada unsur kesengajaan. Namun, jika dilakukan dengan senagaja dalam rangka mengelabui Pembeli atau sebaliknya, hal tersebut adalah perbuatan tercela dan akan dipertanggunjawabkan dihadapan Allah.
Islam secara menyeluruh mengatur hubungan manusia dengan Allah, dan hubungan manusia dengan manusia lainnya. Hubungan manusia dengan Allah disebut hablum minallah sedangkan hubungan manusia dengan manusia lainnya disebut hablum minannas. Aktivitas berdagang merupakan aspek hubungan manusia dengan manusia lainnya yang harus dilakukan atau sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, ‘adamul gharar (menghilangkan penipuan). Wallahu a’lam. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.