2. Fitnah Syahwat
Fitnah yang kedua adalah fitnah syahwat. Allah menghimpun kedua fitnah tersebut (fitnah syahwat dan syubhat) dalam suatu firman-Nya.
“(Keadaan kamu hai orang-orang munafik dan musyrikin adalah) seperti keadaan orang-orang sebelum kamu, mereka lebih kuat dari-pada kamu, dan lebih banyak harta benda dan anak-anaknya daripada kamu. Maka mereka telah menikmati bagian mereka, dan kamu telah menikmati bagianmu,” (QS At-Taubah: 69).
Maksudnya, bagian tertentu dari dunia dan syahwatnya. Kemudian ayat selanjutnya menyebutkan,
“Dan kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya,” (QS At-Taubah: 69).
Mempercakapkan hal batil di sini adalah syubhat.
Dalam ayat di atas Allah menunjukkan sebab kerusakan hati dan agama, yakni karena menikmati syahwat dan tenggelam dalam kebatil-an. Sebab kerusakan agama itu bisa disebabkan oleh kepercayaan yang batil serta memperbincangkannya, dan bisa juga disebabkan oleh amal yang tidak sesuai dengan ilmu yang benar.
Yang pertama adalah bid’ah dan yang berkaitan dengannya, sedang yang kedua amal perbuatan yang fasik. Yang pertama rusaknya dari sisi syubhat dan yang kedua rusaknya dari sisi syahwat. Karena itu, para salaf berkata, “Berhati-hatilah terha-dap dua jenis manusia: Orang yang menuruti hawa nafsunya sehingga ia terkena fitnah dengannya dan orang yang mencari dunia sehingga dunia membutakannya.” Mereka juga berkata, “Berhati-hatilah dari fit-nah orang alim yang pendosa dan ahli ibadah yang jahil, sebab fitnah mereka adalah fitnah segala fitnah.”
Dan asal segala fitnah adalah mendahulukan akal daripada syara’, serta mendahulukan hawa nafsu daripada akal. Yang pertama merupakan asal dari fitnah syubhat dan yang kedua merupakan asal dari fitnah syahwat. Fitnah syubhat dihalau dengan keyakinan, dan fitnah syahwat dihalau dengan kesabaran. Karena itu, Allah menjadikan kepemimpinan dalam agama berdasarkan dua hal tersebut,
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan (ketika) mereka meyakini ayat-ayat Kami,” (QS As-Sajdah: 24).
Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan dapat diperoleh dengan ke-sabaran dan keyakinan. Dan Allah menghimpun pula dua hal tersebut dalam firman-Nya,
“Dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihat supaya menetapi kesabaran,” (QS Al-‘Ashr: 3).
Maka nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran itulah yang bisa menolak syubhat dan nasihat-menasihat supaya menetapi kesabar-an itulah yang bisa menolak syahwat. Dalam firman-Nya yang lain, Allah juga menghimpun antara dua hal tersebut,
“Dan ingatlah hamba-hamba Kami, Ibrahim, Ishaq dan Ya’kub yang memiliki perbuatan-perbuatan besar dan ilmu-ilmu yang tinggi,” (QS Shad: 45).
Ibnu Abbas berkata, “Yang memiliki kekuatan dalam mentaati Allah dan pengetahuan tentang-Nya.”
Al-Kalbi berkata, “Yang memiliki kekuatan dalam ibadah dan me-miliki ilmu tentang-Nya.”
Mujahid berkata, “Al-Aydi adalah kekuatan dalam mentaati Allah, sedang al-abshar adalah ilmu tentang kebenaran.”
Sa’id bin Jubair berkata, “Al-Aydi berarti kekuatan dalam beramal, sedangkan al-abshar adalah pengetahuan mereka tentang persoalan aga-ma mereka.”
Dengan kesempurnaan akal dan kesabaran, maka fitnah syahwat itu bisa ditolak, dan dengan kesempurnaan ilmu serta keyakinan maka fitnah syubhat itu juga bisa ditaklukkan. Dan hanya kepada Allahlah kita memohon pertolongan. []
HABIS
Referensi: E-book Manajenen Qalbu/Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah/Darul Falah/2005