Hati seorang perempuan itu sangat dalam. Ia tak bisa diukur.
Dari waktu ke waktu, saya mendengar beberapa curhatan dari teman-teman perempuan saya. Lima tahun lalu, saya pernah berseloroh pada seorang teman perempuang yang suaminya bekerja di pulau seberang. “Hati-hati dah ah, itu suami kamu pulang sekian bulan sekali, bisa jadi kawin lagi di sono…”
Sungguh, itu bukan doa. Tapi lelaki itu ya beda lah sama perempuan. Coba simak kajian Dr. Aisyah Dachlan. Kenapa juga setiap beberapa kali dalam sepekan, suami musti ketemu sama istrinya. Kalau ada istri yang komplen, suaminya datang dalam jarak waktu yang kerep, berarti istri belum terlalu paham kenapa-kenapanya.
BACA JUGA: Gaji Dokter
Satu tahun lalu, ternyata beneran, itu suami teman wanita saya udah tahunan juga mendua di pulau seberang itu. Malah udah punya anak segala. Karena pabriknya bangkrut dan lebih banyak sengketa, suaminya akhirnya berhenti kirim duit. Sementara, sang teman wanita, di sini hidup bersama tiga anaknya.
Poligami ga selalu banyak indahnya. Yang ini salah satunya. Ada banyak konflik di situ, namun teman wanita saya bertahan. “Dengar Saad, saya mencintainya.” Saya paham. Anda ga bisa menawar cinta. Dan cinta itu selalu melibatkan perasaan dan ga logis.
Kali lain, seorang teman wanita lain konsultasi juga, suaminya kerap melakukan KDRT dan menuduhnya berselingkuh. Yang ini agak rumit, soalnya kudu dengerin dua belah pihak, untuk bener tidaknya. Namun, saya tentu percaya wanita ini, karena sudah saya kenal sejak tahun 1999 dulu. Dia adalah seorang buruh pabrik, punya anak dua, tinggal dengan ibunya yang sudah tua. Beban hidupnya, sudah cukup banyak. Saya merasa, mendua dalam kondisi seperti itu, terlalu tidak mungkin buat dia. Ini ga ilmiah memang. Tapi yang harus kamu lakukan adalah, kamu percaya sama temen kamu karena dia orang baik.
BACA JUGA: Seberat Apa Ujianmu?
Di kepala wanita ini, tidak pernah terlintas untuk bercerai. Padahal suaminya melakukan KDRT. Jika benar, ini adalah jenis suami paling buruk sejagat raya. “Saya bertahan dengan dia. Setiap malam saya berdoa, dia mau berubah dan mencintai anak-anak…” ujar temen perempuan saya ini. Saya terharu. Baginya, anak-anak yang keluar dari rahimnya, status sosialnya bersama sang suami, kebersamaannya dengan ibunya, lebih berharga daripada kelakuan suaminya itu yang belakangan minta ketemuan dengan saya.
Hati seorang perempuan sangat dalam seluas samudera. Kita tidak pernah tahu; ia menyimpan cinta dan derita nyaris di waktu yang sama. []