KITA tak bisa memenuhi kebutuhan seorang diri. Kita membutuhkan orang lain untuk melengkapi kebutuhan itu. Dan dalam berinteraksi dengan orang lain untuk memenuhi apa yang kita butuhkan, bisa dengan berbagai hal. Salah satunya ialah al-ariyyah (pinjaman).
Dalam melakukan pinjaman/berutang itu, maka terdapat hukum-hukum yang perlu kita perhatikan. Apa sajakah itu?
1. Sesuatu yang dipinjamkan harus sesuatu yang mubah (diperbolehkan). Jadi, seseorang tidak boleh meminjamkan budak wanita kepada orang lain untuk digauli, atau seseorang tidak boleh meminjamkan orang Muslim untuk melayani orang non-Muslim, atau meminjamkan parfum haram, atau pakaian yang diharamkan, karena kerjasama dalam dosa itu diharamkan.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran,” (QS. Al-Maidah: 2).
2. Jika mu’ir (pihak yang meminjamkan) menysaratkan bahwa musta’ir (peminjam) berkewajiban mengganti barang yang dipinjam jika ia merusaknya, maka musta’ir wajib menggantinya. Karena, Rasulullah ﷺ bersabda, “Kaum muslimin itu berdasarkan syarat-syarat mereka,” (Diriwayatkan Abu Daud dan Al-Hakim).
Jika mu’ir tidak mensyaratkannya, kemudian barang pinjaman rusak bukan karena keteledoran musta’ir dan tidak karena disengaja, maka musta’ir tidak wajib menggantinya, hanya saja ia disunnahkan menggantinya. Karena Rasulullah ﷺ bersabda kepada salah seorang istrinya yang telah memecahkan salah satu tempat makanan, “Makanan dengan makanan dan tempat dengan tempat,” (Diriwayatkan Al-Bukhari).
Jika barang pinjaman mengalami kerusakan karena keteledoran dan disengaja musta’ir, ia wajib menggantinya dengan barang yang sama atau dengan uang seharga barang pinjaman tersebut. Karena Rasulullah ﷺ bersabda, “Tangan berkewajiban atas apa yang diambilnya hingga ia menunaikannya,” (Diriwayatkan Abu Daud, At-Tirmidzi dan Al-Hakim yang men-shahih-kannya).
3. Musta’ir harus menanggung biaya pengangkutan barang pinjaman ketika ia mengembalikannya kepada mu’ir jika barang pinjaman tersebut tidak bisa diangkut kecuali oleh kuli pengangkut atau dengan taksi. Karena Rasulullah ﷺ bersabda, “Tangan berkewajiban atas apa yang diambilnya hingga ia menunaikannya,” (Diriwayatkan Abu Daud, At-Tirmidzi dan Al-Hakim).
4. Musta’ir tidak boleh menyewakan barang yang dipinjamnya. Adapun meminjamkannya kepada orang lain, maka tidak apa-apa dengan syarat mu’ir merelakannya.
5. Jika seseorang meminjamkan kebun untuk dibuat tembok, ia tidak boleh meminta pengembalian kebun tersebut hingga tembok tersebut roboh. Begitu juga, orang yang meminjamkan sawah untuk ditanami, ia tidak boleh meminta pengembalian sawah tersebut hingga tanaman yang ada di atasnya telah dipanen, karena menimbulkan madzarat kepada seorang muslim itu haram.
6. Barangsiapa meminjamkan sesuatu hingga waktu tertentu, ia disunnahkan tidak meminta pengembaliannya kecuali setelah habisnya batas waktu pinjaman. []
Referensi: Ensiklopedi Muslim Minhajul Muslim/Karya: Abu Bakr Jabir Al-Jazairi/Penerbit: Darul Falah