Oleh: Beggy, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa
SALAH satu hal yang turut menentukan perjuangan umat Islam adalah penguasaan media massa. Melalui media massa, peperangan pemikiran yang sengit, penyebaran ilmu serta penguasaan opini di masyarakat dapat dikuasai. Perjuangan umat Islam di Indonesia melalui media massa nyatanya memang telah berurat dan berakar, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Jika kita bercermin dari lembaran sejarah, akan terlihat media massa Islam menjadi roda-roda penggerak perjuangan umat Islam, menjadi minyak yang membakar perjuangan umat Islam, bahkan seiring sejalan dengan terbit atau terpuruknya nasib umat di negeri ini.
Selama berabad-abad, Umat Islam di Indonesia telah menjadi satu bagian penting dari umat Islam di dunia. Ulama-ulama melayu-nusantara merajut ukhuwah sekaligus jaringan keilmuan dengan ulama-ulama lain berbagai penjuru dunia. Mereka membaur, memusat di Mekkah dan Madinah yang menjadi pusat menimba ilmu di dunia. Para penuntut ilmu itu membentuk suatu komunitas jawi (ashab al-jawiyun). Entah mereka berasal dari Sumatera, Malaya, Jawa, Sulawesi atau bagian lain dari nusantara, mereka akan dikenal sebagai orang Jawi. Komunitas ini berperan besar dalam transmisi ilmu di nusantara. Selepas menuntut ilmu, sebagian dari mereka menetap dan mengajar di Tanah Suci, sebagian lainnya kembali ke kampung halamannya. Menyebarkan ilmunya, mencerahkan umat di tanah air, dan mendirikan institusi-institusi pendidikan seperti pesantren, surau atau dayah. Melalui institusi semacam inilah pengetahuan Islam ditimba. Dan Ulama menjadi poros keilmuan Islam di masyarakat.
Lembaran sejarah memasuki halaman baru, di abad ke 19. Setelah Mekkah dan Madinah, Kairo kemudian mulai dilirik oleh orang-orang melayu-nusantara sebagai salah satu kiblat pendidikan Islam di dunia. Pesona institusi bernama Al Azhar menyinarkan kemilaunya. Namun gerakan pembaruan (atau biasa disebut reformasi) Islam yang menjadi ruh utamanya. Pengaruh Al Afghany dan khususnya Muhammad Abduh meniupkan sebuah angin perubahan yang kencang mendera seluruh negeri, sampai menjalar ke tanah air.
Banyak dari penuntut ilmu yang sebelumnya berguru di Mekkah dan Madinah, kemudian melanjutkan studinya di Kairo. Di sini para penimba ilmu dari Melayu-Nusantara, membentuk komunitas pelajar yang berasal dari Hindia Belanda dan Malaya, yang disebut Jawi riwaq[1] . Mereka kemudian menjadi penyerap ide-ide Muhammad Abduh, yang tersebar melalui sirkulasi Majalah Al Manar. Seruan pembaruan yang menggelorakan gerakan kembali ke Al Quran dan Sunnah mendapat sambutan hangat. Ide-ide Abduh yang berusaha menjawab keterpurukan umat Islam turut menarik perhatian kala itu. Pemikiran Abduh semakin meluas dengan dilanjutkan oleh muridnya Rasyid Ridha.
Salah satu yang terpengaruh oleh ide-ide ini adalah seorang pelajar bernama Tahir Jalaluddin (1869-1956). Pemuda Minang, keturunan Tuanku Nan Tuo, seorang ulama besar pada masa paderi, . Setelah 12 tahun belajar di Mekkah dengan Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi, tahun 1895 Thahir Jalaluddin meneruskan pendidikannya di Kairo. Di sini ia mulai mengenal Al-Manar dan mengenal Rashid Ridha. Bersama sahabatnya, Syekh Sayid Al Hadi (1867-1934), Thahir Jalaluddin menempa ilmu di Kairo. Paham pemurnian Islam melaju deras bersama modernisasi dalam gerak Islam. Pemakaian mesin cetak untuk media massa dan buku-buku pelajaran Islam, yang sebelumnya ditolak oleh sebagian ulama karena dianggap bagian dari sekularisasi, nyata-nyata menginspirasi para murid Riwaq Jawi ini. Pemakaian teknologi ini kemudian melahirkan sebuah budaya cetak yang revolusioner, yang akan mengubah wajah dunia Islam di Hindia Belanda dan sekitarnya.[2]
Mesin cetak pertama kali dikenalkan ke nusantara, bahkan Asia Tenggara, oleh missionaries Kristen Jesuit tahun 1588 di Filipina. Namun baru 1744 ketika Vendunieuws muncul sebagai surat kabar pertama di Batavia. Kemudian Bataviasche Coloniale Courant (1801) menyusul. Keduanya merupakan surat kabar yang kebanyakan berisi berita pelelangan dan iklan. Berikutnya perkembangan surat kabar tak lagi terbendung. Pemilikan dan peruntukan surat kabar mulai dari orang asing, hingga yang diperuntukkan bagi masyarakat melayu, yaitu Al Djuab (1795-1801) bersemi saat itu. Namun, yang seringkali dikenang adalah Bintang Hindia, yang di asuh oleh Abdul Rivai, karena mulai memberikan gambaran Hindia sebagai sebuah bangsa. Ada pula Tirtoadsurjo, tokoh Sarekat Dagang Islam (SDI) yang dikenal mula-mula, mendirikan Soenda Berita, sebuah mingguan berbahasa melayu pertama di Indonesia tahun 1903. [3]
Begitu menjamurnya surat kabar, namun tak satu pun yang membawa Islam sebagai benderanya. Barulah pada tahun 1906, selepas pulang dari Kairo, Syekh Tahir Jalaluddin menerbitkan Al Imam di Singapura. Bersama Syekh Al Hadi (Singapura), serta Haji Abbas bin Muhammad Taha (Aceh) merintis Al Imam menjadi media massa Islam pertama di tanah Melayu-Nusantara. Tentu saja saati itu belum ada negara bernama Indonesia, Singapura ataupun Malaysia. Yang ada ialah wilayah-wilayah yang dijajah oleh Inggris dan Belanda. Al Imam mampu menerobos batas-batas kolonial itu, hingga mampu menciptakan bayangan akan sebuah komunitas bernama bangsa melayu. Sebuah bayangan yang mampu untuk menembus sekat-sekat wilayah yang diciptakan penjajah dan mengikat bangsa Melayu menjadi satu dalam ikatan agama Islam. Pernyataan itu di tandai oleh Al Imam dengan pemakaian istilah Umat Timur, Umat Melayu, Umat Kita sebelah sini, Umat Islam kita di sini, oleh Al Imam untuk menyebut bangsa Melayu.[4]
Sejak awal Al Imam memang bersuara menyatakan penyesalannya akan nasib umat Islam di tanah melayu-nusantara yang tertajajah di mana-mana. Dalam sebuah edisinya, mereka menyebut Tanah Sumatera, Tanah Manado, Tanah Jawa, Tanah Borneo dalam genggaman Belanda, hingga tanah melayu peninsula dalam cengkeraman Inggris. (Al Imam Vol. 1, No. 3, 19 September 1906). Harapan mereka tak lain agar umat Islam mampu meraih kemerdekaannya.[5]
Al imam berdiri mengibarkan Islam sebagai dasarnya. Menyebarkan dakwah Islam. Mengikuti jejak jejak Al Manar dengan semangat pembaruan dan pemurnian Islam, Al Imam menegaskan haluannya untuk ; mengingatkan mereka yang terlupa; membangunkan mereka yang terlelap; menunjukkan arah yang benar kepada mereka yang tersesat; memberi suara kepada mereka yang berbicara dengan bijak; mengajak umat Islam berupaya sebisa mungkin untuk hidup menurut perintah Allah; serta mencapai kebahagiaan terbesar di dunia dan memperoleh kenikmatan Tuhan di Akhirat (Al Imam, I Juli 1906). [6]
Nyatanya pengaruh Abduh dan Ridha memang besar bagi Al Imam. Majalah Al Manar mewarnai Al Imam begitu kental. Bahkan Al Imam memuat tafsir Muhammad Abduh yang dimuat oleh Al Manar. Tafsir ini mereka muat tahun 1908, atau dua tahun setelah terbitnya Al Imam. Pemuatan tafsir Al Manar karya Muhammad Abduh ini, bagaimana pun membuka pintu reformasi agama di tanah melayu dan Hindia Belanda. Jika sebelumnya tafsir yang dipakai di Hindia Belanda umumnya adalah tafsir Jalalain (Al-Suyuthi) yang hanya dipelajari di pesantren, maka kini Al Imam membuat tafsir yang dapat dibaca oleh kalangan yang lebih luas.
Melalui media massa cetak pula, Al Imam membuka pintu pembelajaran bagi umat Islam, yang biasanya hanya di lakukan di pesantren. Hal ini turut melepas ‘monopoli’ ulama tradisional di Pesantren sebagai satu-satunya pemegang otoritas keilmuan. Dan yang terpenting Al Imam membawa budaya baru bagi umat Islam di Melayu dan Hindia Belanda, yaitu budaya cetak. Kemajuan inilah yang akhirnya membuka pintu lahirnya pers Islam lainnya di Indonesia.
Jejak Al Imam meresap begitu mendalam bagi umat Islam di Hindia Belanda, hingga tahun 1911 di Sumatera Barat terbitlah sebuah majalah bernama Al Munir. Al Munir didirikan sebagai wadah bagi kaum muda yang menggelorakan pembaruan Islam di Sumatera Barat. Didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad, Al Munir menjadikan Al Imam sebagai contohnya. Haji Abdullah Ahmad sendiri sebelumnya adalah perwakilan Al Imam di Padang Panjang. Kunjungannya ke Singapura memungkinkan dirinya untuk mempelajari manajemen penerbitan ala Al Imam dan keterampilan teknis menerbitkan majalah. Begitu sentralnya peran Haji Abdullah Ahmad, hingga ia seringkali dipanggil, Haji Abdullah Al Munir.[7]
Haji Abdullah Ahmad tidak sendirian dalam membesarkan Al Munir. Ia membesarkan bersama dua orang sahabatnya, Haji Abdul Karim Amrullah (ayah dari Buya Hamka) dan Syekh Jamil Jambek. Mereka merupakan murid langsung dari Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi. Sepulang dari Mekkah, mereka kembali ke sumatera Barat untuk menggerakan paham pembaruan agama di sana. Maka tak heran jika Al munir bertujuan untuk; memperoleh agama Islam yang sejati serta menegakkan syariat Nabi Muhammad yang benar dengan dorongan menghidupkan kembali tradisi Nabi dan mengutuk bid’ah dalam praktik ibadah umat Muslim (Al Munir 3, 2, 1913).
Seperti Al Imam, Al Munir juga memiliki hubungan yang erat dengan Al Manar dibawah kendali Rashid Ridha. Seringkali Al Munir merujuk pada fatwa-fatwa yang terdapat dalam Al Manar. Umpamanya mengenai pakaian barat, yang dahulu sering dilarang oleh ulama tradisional karena indentik dengan orang kafir. Pendapat Rashid Ridha yang menolak pendapat ini, dijadikan rujukan oleh Haji Abdullah Ahmad. [8]
Pada praktiknya, Al Munir tidak hanya bersuara keras terhadap praktik bid’ah, tetapi juga pada pemerintah kolonial Belanda. Kritik-kritik keras terhadap pemerintah kolonial membuat mereka mendapatkan tekanan dan pengawasan dari pemerintah kolonial saat itu. Al Munir pun kerap bersuara mengenai kemerdekaan bangsa di Hindia Belanda. Namun ketatnya pengawasan pemerintah kolonial, membuat mereka menyampaikannya secara hati-hati dan terselubung, misalnya dengan membahas kemerdekaan Turki, Mesir dan India dari jeratan penjajah. Bahkan ketika membahas suatu tulisan tentang ilmu pengetahuan-pun, ujungnya akan membahas bagaimana mencapai kemerdekaan.[9]
Pada masa jayanya, Al Munir tidak hanya berpusat pada media massa, tetapi juga memiliki usaha percetakan. Penyebaran Al Munir tidak hanya di Sumatera barat, namun sampai ke Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan Malaya. Dalam penerbitannya, Al munir memuat tulisan mengenai persatuan umat Islam, pengetahuan agama, serta hukum agama yang berkaitan dengan adat. Keistimewaan Al Munir adalah ia menjadi majalah yang masih menggunakan huruf arab melayu. Namun pemakaian huruf arab melayu memang berada di tepi jurang. Membanjirnya mesin cetak yang memakai huruf latin membuat pencetakan dengan huruf arab melayu sulit bersaing. Hal ini pula yang turut menerpa Al Munir. Namun terbakarnya kantor mereka menjadi pertanda lonceng kematiannya. Di Sumatera Barat tak hanya Al Munir, pers yang berlandaskan Islam. Hadir pula Al Itqan, Al Bayan dan Munirul Manar yang diterbitkan perguruan Sumatera Thawalib. Saat itu memang masa-masa keemasan pers di Sumatera Barat. Tetapi di pulau Jawa,tempat lahirnya Sarekat Islam, gaung pers Islam juga terdengar kencang. Melahirkan berbagai media massa yang menyokong perjuangan mereka.
Sarekat Islam, semenjak di bawah kemudi Hadji Omar Said Tjokroaminoto memainkan peran besar dalam pergerakan Islam di tanah air. Dengan karisma dan pidatonya yang memukau Tjokroaminoto memiliki banyak pengikut, bahkan tak sedikit yang menanggapnya sebagai Ratu Adil. Namun kepiawaian Raja Jawa tanpa mahkota ini tak hanya di mimbar rapat-rapat umum. Tetapi juga di media massa. Oetoesan Hindia adalah media massa pertama yang menjadi corong Sarekat Islam. Terbit tahun 1913, Oetoesan Hindia adalah harian yang di gawangi oleh Tjokroaminoto. Beberapa bulan kemudian Sarekat Islam (SI) cabang Bandung menerbitkan Hindia Serikat yang salah satunya dibidani oleh Abdul Muis. Di Batavia, SI menerbitkan Pantjaran Warta yang dikemudikan oleh Goenawan. Di Semarang, SI Semarang mulai menerbitkan Sinar Djawa.[10]
Sarekat Islam semakin bergerak maju ketika pada tahun 1916, mereka menerbitkan Al Islam. Di kemudikan oleh Tjokroaminoto dan Haji Abdullah Ahmad (Al Munir), Al Islam bersuara lebih kencang dalam hal politik. Ia menjadi jembatan bagi gerakan politik Islam. Al Islam menyatakan dirinya sebagai, ‘ Tempat soeara anak Hindia yang tjinta igama dan tanah ajernjya.’[11]Dengan darah pembaruan agama yang dibawa Haji Abdullah Ahmad serta kecenderungan politik radikal Tjokroaminoto, Al Islam menggelorakan pembaruan agama dan politik. Al Islam semakin merangsek wacana di Hindia Belanda saat itu, dengan berani menyuarakan hak untuk memerintah bagi bangsa sendiri. Untuk menyuarakannya, Al Islam menggulirkan istilah Bangsa Islam tanah Hindia.[12] Al Islam tidak sendirian, tokoh SI lainnya, Haji Agus Salim, bersama Abdul Muis menerbitkan harian Neratja, yang juga berorientasi politik. Haji Agus Salim pun nantinya dikenal sebagai orang dibalik Hindia Baru (1925-1926), Bendera Islam (bersama Tjokroaminoto) dan Fajar Asia (Tjokroaminoto-H. Agus Salim kemudian Kartosuwirjo; 1927-1930 ).[13] Harian Fajar Asia, saat itu adalah kerikil tajam bagi pemerintah kolonial. Harian itu terkenal gigih membuka kebusukan praktek poenale sanctie (yang menggiring puluhan ribu anak bangsa bekerja sebagai kuli kontrak di perkebunan Sumatera), heerendienst (kerja rodi) dan erfpacht (yang mengeksploitasi tanah dengan system sewa kontrak), dimana buruh dihisap, tenaganya diperas habis-habisan serta berbagai kebiadaban yang mengiringinya. Tajamnya kritik H. Agus Salim melalui Fajar Asia (kemudian) Mustika, membuatnya dikenal sebagai pembela hak-hak buruh. [14]
Di Jogjakarta, muncullah nama tokoh Muhammadiyah, H. Fachrodin. Ia adalah diantara murid-murid langsung KH Ahmad Dahlan dan merupakan saudara kandung dari Ki Bagus Hadikusumo. Nama H. Fachrodin malang melintang di berbagai media massa saat itu. Ia pernah menjadi koresponden tetap dari Doenia Bergerak (terbit 1914), sebuah surat kabar berhaluan kiri. Selain itu H. Fachrodin pernah menjadi redaktur Medan Muslimin (1915), sebuah surat kabar radikal dibawah pimpinan, ‘Haji Merah’ Haji Misbach. Berikutnya H. Fachrodin menjadi hoofdredacteur (pemimpin redaksi), Srie Diponegoro (1918), Soewara Moehammadijah, dan Bintang Islam. [15]
Di tengah Bintang Islam-lah, nama H. Fachrodin banyak meninggalkan kesan. Berdiri tahun 1922, Bintang Islam menjadi majalah dwi mingguan Islam yang dikelola secara professional. Tirasnya mencapai 1500 eksmeplar dan menjangkau hingga Singapura, Perak dan Johor. Bintang Islam memuat berita seputar Islam di tanah air dan luar negeri. Bahkan Bung Hatta pernah menjadi koresponden Bintang Islam, saat ia masih di Amsterdam. Sampai meninggalnya, H. Fachrodin menjabat selaku hoofdredacteur Bintang Islam. [16]
Tulisan H. Fachrodin menyebar di berbagai media saat itu, merentang pembahasannya, mulai dari agama Islam, Kristen, hingga kepeduliannya terhadap nasib rakyat yang begitu menderita. Ia misalnya pernah menulis tentang ‘Christen dan Moehammadijah’ dan ‘Islam Njawa Kemadjoean’ (di Soewara Moehammadijah), Verslag saja selama bepergian ke Mekkah (di Soewara Moehammadijah & Islam Bergerak), dan sebuah kritik yang tajam, dan mengantarkannya meringkuk dibalik terali besi oleh pemerintah kolonial. Penyebabnya karena kala itu Ia menulis nasib rakyat yang menderita,
“Kebon tebu jang ditanam diatas tanah kita dengan djalan jang koerang menjenangkan, sehingga menjebabkan kelaparannja anak-anak boemi…” (Srie Diponegoro).[17]
Selepas wafatnya H. Fachrodin, Majalah Bintang Islam kemudian mengenang beliau dalam edisi khusus ‘Fachrodin Nummer.’
“Pandai beliau menoelis dan mengarang pada kemoediannja itoe, ialah dari kawan-kawannja jang selaloe bergaoelan dan bermain-main…, Begitoe joega, kerap sekali beliaoe membawa pertanjakan kepada orang jang lebih pandai, tentang apa sahadja, sehingga dimengertilah matjam-matjam pengetahoean.” (Bintang Islam no 14-15 th 1930).
Pers Islam pada masa itu memang menjadi pers yang ideologis dan tidak menjaga jarak dengan penderitaan rakyat. Terlebih jika berhubungan dengan kepentingan umat Islam, maka menjadi suara yang lantang. Suara-suara itu semakin lantang, jika Islam dinistakan. Dan salah satu yang dikenal sebagai benteng umat Islam adalah majalah Pembela Islam.
Pembela Islam adalah majalah dua bulanan yang diterbitkan oleh tokoh Persatuan Islam (Persis), Ustad A. Hassan tahun 1929. Bersama Fachrudin Al Kahiri dan M. Natsir, Pembela Islam menjadi pers Islam yang gigih membela Islam. Pembela Islam menjadi salah satu lawan dari tokoh-tokoh Nasionalis sekuler yang kerap menggelorakan ide sekularisme. Tulisan-tulisan seperti ‘Merdeka buat apa?’, dan ‘Kebangsaan jangan di Bawa-bawa’ menjadi beberapa contoh aktifnya Pembela Islam mengutuk ide nasionalisme dan sekularisme. Namun salah satu yang patut dikenang hingga kini adalah polemik antara Sukarno dan M. Natsir mengenai Islam melawan sekularisme.
Pembela Islam juga kerap bersuara mengecam orang-orang yang menistakan Islam dan ajarannya. Salah satunya adalah tulisan Dr. Soetomo, yang menganggap pengasingan di Digul lebih baik daripada Mekkah.Ia menganggap orang yang diasingkan ke Digul adalah orang-orang yang dihukum, tetapi pergi ke Mekkah hanyalah soal kewajiban agama semata. M. Natsir menanggapi tulisan Dr. Soetomo dengan menyebutnya meniru dengan buta buku-buku barat. Natsir justru mengingatkan betapa para haji yang pulang dari Mekkah sangat ditakuti oleh pemerintah kolonial. Pembela Islam juga menyerang paham sesat Ahmadiyah Qadian, dengan menurunkan tulisan perdebatan langsung antara A. Hassan dengan Rahmat Ali dari Ahmadiyah di tahun 1933 dan 1934. Praktek kristenisasi dan pelecehan oleh missionaries terhadap Islam tak luput dari kritik keras Pembela Islam. Seperti misalnya tulisan Natsir yang berjudul Zending Contra Islam (1931). [18]
Maka tak salah ketika Buya Hamka, yang menjadi salah satu pembaca Pembela Islam, mengatakan,
“Mulai saja majalah itu dibaca, timbullah dalam jiwa semangat yang terpendam yaitu semangat hendak turut berjuang dalam Islam. Artikel-artikel yang dimuat di dalamnya menggugah perasaan hati untuk bangun, bergerak, berjuang hidup dan mati dalam Islam.”[19]
Ia lalu menambahkan, yang ditunggu-tunggu dari Pembela Islam adalah tulisan-tulisan M. Natsir.
“Artikel-artikel dari M. Natsir di dalam majalah Pembela Islam itu sangat menarik hati saya. Saya pun seorang pengarang. Tetapi saya mengakui bahwa karangan Natsir memberi saya bahan untuk hidup, sehingga saking tertariknya saya kepada tulisan-tulisannya itu, saya pun mencoba mengirim karangan kepada Pembela Islam,dan karangan saya disambut baik dan dimuat dalam Pembela Islam.” Begitulah kesaksian Buya Hamka. [20]
Masa-masa semaraknya pers Islam di Indonesia juga menghampiri dunia pesantren. Di kalangan Nadhlatul Ulama, terbit Suara NU yang beraksara arab pegon. Ada pula Berita NU, dipimpin oleh KH Mahfudz Shiddiq yang beraksara latin. Tahun 1941 menyusul terbit Soeloeh NU yang diterbitkan oleh Hoofdbestur NU Bagian Ma’arif. Soeloeh NU di pimpin langsung oleh KH A. Wahid Hasyim. Terbitnya Soeloeh NU, tak lain sebagai wadah informasi dan saluran modernisasi di NU, sebagaimana tujuannya; Bulanan, membicarakan perkara-perkara kemadrasahan.[21]
Pers Islam semakin bertaburan menghiasi pergerakan di Indonesia. Tak hanya di Sumatera Barat dan Jawa, tetapi merambah hingga Kalimantan, hingga Ambon. Di Kalimantan hadir Persatuan (Samarinda), Pelita Islam (Banjarmasin). Di Bangkalan, Madura, terdengar Al Islah (yang kemudian dibredel tahun 1936). Di Ambon, hadir SUISMA yang terbit tiga kali dalam sebulan. Namun, yang mencolok kala itu adalah Sumatera Utara (Medan). Medan kemudian dikenal sebagai gudangnya pers Islam. Sebut saja Suluh Islam (KH Abdul Madjid Abdullah), Medan Islam, Al Hidayah, Medan Islam, Menara Puteri (Rangkayo Rasuna Said) hingga Panji Islam (ZA Ahmad-kelak menjadi tokoh Masyumi). Namun tak ada yang dapat menandingi prestasi Pedoman Masyarakat.
Terbit di Medan, Sumatera Utara tahun 1935, Pedoman Masyarakat identik dengan nama Buya Hamka dan Yunan Nasution (kelak keduanya bertemu kembali di Masyumi). Bergabung pada usia 28 tahun, Buya Hamka menjadi Pemimpin Redaksi Pedoman Masyarakat, awalnya hanya beroplah 500 eksemplar, namun ditangannya, melonjak oplahnya hingga 4000 eksemplar. Suatu prestasi yang luar biasa untuk sebuah majalah pada masa itu dikenal sebagai zaman sulit.
Memasang motto ‘Memajukan Pengetahuan dan Peradaban Berdasarkan Islam’, Pedoman Masyarakat nyata-nyata bekerja untuk peradaban. Di kupasnya masalah pengetahuan umum, agama, sejarah,’ Alam perempuan’, ‘Dunia Islam’ serta ‘Cermin Hidup’. Di ruang inilah lahir karya-karya besar Buya Hamka seperti, Merantau ke Deli, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Tasauf Modern dan lain-lain. Sementara Yunan Nasution memegang peran penting sebagai penulis rubrik editorial, Syma Nare. Namun Pedoman Masyarakat tidak hanya mengandalkan penulisnya sendiri, beragam kalangan dimuat tulisannya oleh Pedoman Masyarakat, seperti Soekarno dari nasionalis, sederet tokoh Islam seperti H. Agus Salim, dan M. Natsir, KH Mas Mansyur, hingga tokoh perempuan seperti Rangkayo Rasuna Said. Pedoman Masyarakat juga tak luput dari pengawasan pemerintah kolonial. Kritik-kritik tajamnya membuat Pedoman berkali-kali nyaris bersalaman dengan pembredelan. Namun dicengkaraman penjajahan Jepang-lah Pedoman Masyarakat beserta banyak media massa lainnya menemui ajalnya. Sulitnya bahan baku kertas serta penindasan jepang membuat masa itu menjadi kuburan massal bagi pers kala itu.
Dibalik kesulitan-kesulitan yang mengepung, pers Islam tetap berkiprah dengan semangat yang membara. Mereka terus bersuara lantang, dengan landasan Islam. Menjadi pembela hak-hak rakyat yang terjajah, walaupun kerap diintai ranjau undang-undang pers yang sewenang-wenang dan siap membungkam. Namun nyatanya pers Islam tetap bergerak. Pers Islam tidak hanya menjadi pembentuk opini untuk meninggikan kalimat Allah, tetapi juga menjadi pembela agamanya. Pers Islam tidak pernah menanggalkan identitasnya, dan justru karena identitas Islam itu, pers Islam tidak pernah tertinggal dalam setiap peristiwa nasional yang mewarnai perjalanan bangsa ini. Mulai dari pembentukan sebuah bayangan akan komunitas yang kelak bernama Indonesia, hingga melawan penjajahan dan pendukung kemerdekaan. Pers Islam tidak hanya berenang-renang di tepian, tapi ia terjun di pusaran perjalanan negeri kita. []
[1] Zakariya, Hafiz. 2011. Cairo and The Printing Presses as The Modes in the Dissemination of Muhammad Abduh’s Reformism to Colonial Malaya. IPEDR, vol 17.
[2] Burhanuddin, Jajat. 2004. The Fragmentation of Religius Authority : Islamic Print Media in Early 20th Century Indonesia.Studia Islamika, 11 (1)
[3] Sunarti, Sastri. 2013. Kajian Lintas Media, Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Surat Kabar Terbitan Awal di Minangkabau (1859-1940-an). Jakarta : KPG
[4] Laffan, Michael Francis. 2003. Islamic Nation Hood and Colonial Indonesia, The Umma Below the Winds. New York : RoudledgeCurzon.
[5] Ibid
[6] Burhanudin, Jajat. 2012. Ulama & Kekuasaan, Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia.Jakarta : Mizan Publika
[7] Ibid
[8] Jajat ulama kekuasaan
[9] Sunarti, Sastri. 2013. Kajian Lintas Media, Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Surat Kabar Terbitan Awal di Minangkabau (1859-1940-an). Jakarta : KPG
[10]Burhanuddin, Jajat. 2004. The Fragmentation of Religius Authority : Islamic Print Media in Early 20th Century Indonesia.Studia Islamika, 11 (1)
[11] ibid
[12] Ibid
[13] Ibid
[14] Busyairi, Badruzzaman. 1985. Catatan Perjuangan HM Yunan Nasution. Jakarta : Pustaka Panjimas.
[15] Mu’arif. 2010. Benteng Muhammadiyah. Yogyakarta : Suara Muhammadiyah.
[16] Ibid
[17] ibid
[18] Federspiel, Howard M. 1966. The Persatuan Islam (Islamic Union). Tesis Phd. Institute of Islamic Studies, McGill University,Montreal.
[19] Panitya Peringatan M. Natsir/M. Roem 70 tahun. 1978. M. Natsir 70 tahun Kenang-kenangan Kehidupan & Perjuangan. Jakarta: Pustaka Antara.
[20] Ibid
[21] H. Aboebakar. 2011. Sejarah Hidup K.H. A. Wahid Hasjim. Bandung: Mizan