IMAN itu mempunyai lebih dari 60 cabang, dan yang termasuk salah satu cabang dari iman adalah sifat haya (malu). Maknanya, jika seseorang itu mempunyai malu, imanya berada di dalam tahap yang selamat. Karena orang yang tidak memiliki sifat malu, mereka akan tenggelam dalam setiap perbuatan keji.
Dari Abu Hurairah Radhiyallohu anhu, Rasulullah Shallallahu‘alaihi wasallam bersabda.
“Iman itu ada tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Maka iman yang paling utama adalah ucapan ‘Laa Ilaaha Illallaah’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu adalah cabang dari Iman,” (HR. Muslim).
Diantara bentuk malu yang pertama adalah malunya seorang hamba kepada Tuhannya. Yang kedua adalah malunya seorang hamba kepada sesama.
Adapun malu kepada Allah, Rasulullah telah menjelaskan di dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi secara marfu bahwa beliau pernah bersabda, “Malulah kalian kepada Allah dengan malu yang sebenar-benarnya”.
Para sahabat berkata, “Sungguh kami malu (kepada-Nya) wahai Rasulullah”.
” Beliau bersabda, “Bukan itu, orang yang malu kepada Allah dengan sebenarnya hendaknya menjaga kepala dan yang berada di sekitar kepala, menjaga perut dan apa saja yang masuk ke perut, menjaga kemaluan, dua tangan, dan dua kaki. Dan hendaklah ia mengingat mati dan kehancuran. Barangsiapa yang menginginkan akhirat, niscaya ia meninggalkan perhiasan hidup di dunia dan lebih mementingkan akhirat dari pada dunia. Barangsiapa yang melakukan hal tersebut, maka sungguh ia telah malu kepada Allah dengan sebenarnya.”
Dalam hadits diatas Rasulullah telah menjelaskan diantara tanda malu kepada Allah yaitu dengan menjaga anggota badan dari maksiat kepada-Nya, dan juga dengan banyak mengingat mati dan tidak panjang angan-angan terhadap dunia, tidak tenggelam dan memperturutkan syahwat sehingga melalaikan akhirat.
“Bila engkau tidak malu, berbuatlah sesukam,” (HR. Tirmidzi).
Ibnu Abbas berkata, “Iman dan malu adalah satu kesatuan. Jika malu telah lepas maka akan diikuti iman.”
Hadits dan atsar diatas menjelaskan bahwa orang yang telah hilang sifat malunya maka tidak ada lagi yang menghalanginya untuk berbuat tercela. Tidak sungkan melakukan yang haram, tidak takut terhadap dosa, tidak malu berkata kotor.
Oleh karena itu ketika sifat malu semakin terkikis di zaman sekarang maka semakin tumbuh subur pula berbagai kemungkaran, aurat dengan bangga diperlihatkan, terang-terangan dalam berbuat keji dan memandang baik perkara-perkara yang buruk dan tercela. Wallaahul Musta’aan. []
Sumber: hidayatullah