Oleh: Aditya Budi
adityabudi82@gmail.com
ADA yang hidup dengan kemudahan, kecukupan, keberlimpahan dan seakan semuanya serba dimudahkan.
Namun tak sedikit pula yang merasa bahwa hidup ini begitu melelahkan, peluh keringat dan tetesan air mata selalu menyertainya.
Merasa semuanya seakan tidak sesuai dengan harapan, merasa doa-doanya tak kunjung dikabulkan. Merasa bahwa semuanya serba sulit, penuh rasa kecewa, sedih dan hampir-hampir putus asa.
Manusia diciptakan dengan segala fitrah yang melekat padanya. Perasaan-perasaan itu semua akan selalu ada dan menggenap pada setiap jiwa. Segala kejadian dan peristiwa yang ada dalam hidupnya yang sedikit banyak akan menjadi faktor penentu apakah ia sedih atau bahagia, apakah ia kecewa, marah atau ikhlas dan penuh kemaafan. Apakah ia menerima atau sebaliknya menghujat Tuhannya, meski hanya dalam hati.
BACA JUGA: Ujian Tergantung Kadar Keimanan
Lantas apakah yang membedakan semua itu. Yang membedakan adalah bagaimana seseorang mempersepsi tentang arti dan nilai dari hidup itu sendiri. Mengelola hati sebagai sumber utama respon manusia akan setiap peristiwa dalam hidupnya.
Al-Quran telah banyak mengingatkan kita semua bahwa kehidupan ini senyatanya adalah senda guru belaka, permainan dan negeri akhirat adalah yang sebenarnya (QS. Al-Ankabut : 64).
Anehnya kita semua sudah mengetahui bahwa ini semua hanya permainan namun banyak yang terlena karena dunia. “Permainan” bukan untuk diremehkan, justru Allah dan Rasul-Nya mengingatkan kita untuk menseriuskan dan membesarkan untuk semua perkara. Yaitu amal-amal yang selalu kita niatkan untuk merengkuh ridha-Nya.
Namun secara bersamaan anggaplah semua hanya permainan, yaitu untuk urusan-urusan dunia yang banyak mengecewakan dan membuat sedih hidup kita.
Ali bin Abi Thalib r.a pernah berucap bahwa, “Emas akan diuji dengan api apakah ia murni atau tidak”. Sedang dalam Risalah Al-Musytarsyidin, Abu Harits Al-Muhasibi (w. 243 H) mengetengahkan maksud dari ucapan tersebut dengan menukil perkataan Al-Fairuz Abadi, bahwa terkadang Allah memberikan kesenangan kepada hamba-Nya agar ia bersykur. Dan terkadang Allah juga menimpakan kesusahan kepada hamba-Nya apakah ia mampu bersabar. Jadi baik itu pemberian kesenangan dan kesusahan semuanya adalah ujian.
Para ulama menafsir bahwa ujian terhadap kesusahan sesungguhnya lebih mudah untuk dilewati (dengan bersabar) dari pada ujian dalam bentuk kesenangan. Sehingga Umar bin Khatab r.a. pernah berkata, “Ketika kami diuji dengan kesusahan kami bersabar. Namun ketika diuji dengan kesenangan kami tidak bisa bersabar.”
BACA JUGA: 3 Inti Utama Kehidupan
Bersabar yang terakhir yang dimaksud Umar r.a tentu saja adalah tidak mampunya untuk bersabar (bersyukur) dalam limpahan kenikmatan dunia.
Maka perkara hidup sejatinya adalah perkara bergesernya ujian. Sebagaimana kita melihat kisah Yusuf ‘alaihissaslam yang bergeser dari ujian satu ke ujian yang lainnya. Dari usia belia hingga ia memiliki jabatan dunia.
Dari kesedihan yang seakan tak berkesudahan hingga memperoleh kemewahan yang didambakan. Bahkan Nabi Yusuf ‘alaihissalam berkata ketika difitnah oleh peristiwa Zulakha, “Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku.” (QS. Yusuf : 33). Lantas apa sikap Nabi Yusuf ‘alahissalam ? Ia bersabar dalam kesedihan dan ia bersyukur, salah satunya dengan memaafkan semua kedzaliman saudara-saudaranya atas dirinya kala itu.
Maka jika direnungkan kembali kita semua sejatinya beralih dari kondisi ujian satu ke yang lainnya tanpa terkecuali. Untuk yang masih lajang dan belum menikah barangkali ujiannya yang paling berat adalah godaan syahwat yang masih cenderung labil. Ia dijuji pula dengan kegelisahan perihal jodoh yang tak kunjung datang atau barangkali ikhtiar yang masih belum membuahkan hasil.
Ketika sudah menikah maka ia akan diuji dengan perkara yang berlainan pula. Perihal rumah tangga dan dambaan lahirnya seorang buah hati. Ketika sudah memiliki anak, lahir pula ujian yang berbeda tentang anak.
Ikhtiar yang tak mudah menjadikan anak yang shalih/ah. Pun begitu seterusnya bergeser dari ujian yang satu ke ujian yang lain. Dari usia baligh hingga lansia manusia akan terus senantiasa mendapatkan ujian, siapapun itu.
Dari semua hal itu muaranya adalah satu apakah ia mampu bersabar dan/atau bersyukur. Ia bersabar dengan kondisi kemiskinan, sakit, kehilangan, kesedihan dan lain hal serupa. Atau apakah ia bersyukur dengan segala keberlimpahan materi duniawi, kesehatan dan kemudahan segala urusan.
BACA JUGA: Ujian dalam Ketaatan dan Kenikmatan
Ketika ia tak bersyukur (kufur nikmat) artinya ia dinilai tak sabar pula dengan ujian tersebut – ia terlena dengan semua itu. Sebaliknya ketika susah dan sedih ia yang tak bersabar artinya juga tak bersyukur bahwa sejatinya Allah sedang membersihkan dosanya, menaikan drajatnya atau barangkali banyak kebaikan yang Allah hendak berikan di balik semua kesusahan dan kesedihan itu.
Sehingga bisa dikata bahwa semua ujian pada hakikatnya harus disikapi dengan sabar sekaligus syukur. Tak perlu merasa iri dengan kondisi orang lain, yakinlah semua tetap pada ujiannya masing-masing.
Yang terpenting adalah bagaimana kita harus selalu berusaha berprasangka baik kepada-Nya dan senantiasa meminta pertolongan kepada-Nya. Wallahu ’alam bishshawab. []