Oleh: BudianSlamet
Penulis merupakan Tenaga Kependidikan di Univ. Ibn Khaldun Bogor
Wahai hidup, aku mulai terbiasa sendiri. Disini, ya tempatku mensyukuri kebersamaan, mengevaluasi dalam kesendirian, terasing ditengah keramaian dan bahagia ditengah kesedihan. Ah, ringan rasanya jika apa yang kita genggam hari ini digantungkan pada sang maha penggenggam kehidupan. Sempit akan menjadi lapang dan lelah akan menjadi Lillah.
Wahai hidup, hadirmu mengajarkan aku pentingnya menjadi diri yang bermanfaat, menghapus setiap ego yang membelenggu, membangkitkan semangat yang kendur karena futurnya keimanan, menyekat hati dari kotornya prasangka menjalin ukhuwah dalam ikatan Islam serta menyempurnakannya dengan akhlak.
Wahai diri, berbagi dalam kebahagiaan, meringankan setiap beban yang mereka hadapi. Ketahuilah kelak kamu akan merasakan hati yang hidup penuh syukur dan tergerak untuk merubah semuanya.
Ooh, inikah hidup yang berat dimana mereka melukiskannya dengan penyesalan? Menyalahkan sang maha pemilik kehidupan. Ketahuilah bukan Berat atau ringannya kehidupan, tapi ditolong atau tidaknya dalam setiap perkara. Tersadar bahwa sebagai makhluk kita tidak punya daya dan kekuatan selain pertolonganNya.
Inilah hidup yang kujalani hari ini penuh warna, penuh hikmah disetiap kepribadian yang kutemui. Memahami setiap karakter, mencintai mereka bahkan memikirkan mereka lebih dari memikirkan diri sendiri.
Ah rasanya hanya air mata yang menjadi obat setiap rasa sakit menjadi penawar kala rindu itu bermuara pada dermaga keimanan ingin segera bertemu denganNya, menjadi sahabat dikala tak ada bahu untuk bersandar. Tak kuat rasanya ketika mendengar setiap insan bercerita satu persatu tentang kehidupan tentang perihnya kehidupan. Seakan sebuah luka yang disiram air cuka, perih mendengarnya. Bukan karena kita tidak beruntung hanya saja kita lupa bersyukur.
Nak, dunia ini hanya penjara kenikmatan sementara, isinya penuh tipuan dan orang yang mengejarnya akan lelah karena yang ia kejar hanyalah bayang bayang, yang semakin kau kejar maka ia akan semakin menjauh. Fikirkanlah wahai insan, jiwa seorang Muslim akan selalu tertuju pada kehidupan yang mulia, yang Allah sediakan bagi mereka yang mau beramal soleh, karena hidup bukan kembali pada yang fana tapi kita akan pulang pada pemilik keabadian.
Hidup untuk yang maha hidup. Hidupkah kita? Atau masih dibelenggu dengan mati sebelum kematian itu benar benar datang? Matinya keimanan, renggangnya kasih sayang, keringnya ukhuwah. Semoga saja tidak, kita hanya berusaha melakukan yang terbaik, karena kita sadar. Hidup dalam keterasingan sampai kita menemui kehidupan yang abadi yang tiada tangis tiada pula kesedihan sebagai janji yang benar dari Allah didalam FirmanNya. []