“WAHAI Rasulullah,” ujar Umar bin Khathab suatu hari, “Demi Allah, sesungguhnya engkau lebih aku cintai daripada segala sesuatu, kecuali diriku sendiri.”
Ada kebanggaan di sini, di hati Umar, bahwa ia bisa mencintai manusia utama, hamba yang agung, dan makhluk terbaik di muka bumi. Umar mencintai Rasulullah dengan caranya sendiri. Umar merasa bangga dengan itu semua.
Namun, rasa bangganya luntur seketika. Tak bersisa. Di luar dugaan. Tak diperkirakan. Umar tersentak mendengar jawaban Rasulullah SAW
BACA JUGA: Umar bin Khattab, di Balik Sejarah Penetapan Kalender Hijriah
“Tidak wahai Umar, sampai aku lebih engkau cintai dari dirimu sendiri.”
Apa maknanya?
Bahwa mencintai Rasulullah harus melebihi segala sesuatu yang ada di dunia ini. Bahkan harus melampaui cinta kepada diri sendiri.
Yang menakjubkan dari peristiwa ini, adalah sikap Umar yang legowo. Lapang dada. Sami’na wa atha’ na. Aku mendengar dan aku taat.
“Demi Allah,” kata Umar, “Sekarang engkau lebih aku cintai dari diriku sendiri.”
Rasulullah Saw bersabda, “Sekarang engkau baru benar, wahai Umar.”
Cepat, tanggap, mantap, dan berani. Hanya dalam hitungan detik Umar mampu mengubah arah cintanya. Melejit dan bangkit. Berubah seketika.
BACA JUGA: Doa dan Cinta Nabi untuk Umatnya
Cinta Umar melambung ke angkasa, memijak bumi terbang menggapai langit. Cinta bisa diatur, diubah, dan diarahkan. Cinta menjadi kata kerja yang membangun, menginspirasi dan memberdayakan.
Umar mampu mengubah arah cinta seketika. Dalam hijrah cinta, kita belajar meninggalkan yang buruk dan menuju yang baik. Meninggalkan yang ragu dan menuju yang yakin. Melupakan mantan dan mencintai pasangan. Lho, jadi ke sini?
[]