Oleh: Ashaima Va
Guru, tinggal di Bogor
TAHUN baru Muharram menjelang. Sudah sejak 1440 tahun kita terpisah waktu dengan peristiwa fenomenal hijrah Rasulullah. Peristiwa yang menjadi tonggak perubahan menuju terpancangnya tiang-tiang Islam dalam sebuah kepemimpinan yang satu di bawah Panji Rasulullah. Kepemimpinan yang Diteruskan tradisinya oleh Khulafaur Rasyidin dan para khalifah setelahnya. Peristiwa yang juga menjadi titik balik Islam menuju cahayanya yang terang benderang, terlebih pada masa keemasannya. Sayangnya, kini segala kejayaan itu dicampakkan. Tergantikan oleh peradaban yang sarat oleh hawa nafsu manusia. Hasilnya bisa kita rasakan saat ini.
Dicampakkannya tuntunan Allah dalam segala aspek kehidupan telah membawa kesempitan hidup yang mengiris hati. Tiap keluarga mesti mengencangkan ikat pinggang karena biaya hidup yang semakin mencekik. Dollar yang terus merangkak naik berimbas pada kehidupan perekonomian yang sedikit demi sedikit mematikan roh perekonomian rakyat. Dan sebagai rakyat kita mesti menambahkan stok kesabaran agar tak jatuh pada kekufuran.
Perlahan tapi pasti masyarakat dikungkung oleh tatanan kehidupan yang tidak lagi harmonis. Tingkat kriminalitas tinggi dengan miras dan narkoba mendominasi. Pun dengan kondisi remajanya, menyaksikannya kita hanya bisa mengelus dada. Generasi muda asyik masyuk dengan gaya hidup bebas. Kalau tak aborsi, ya, mereka buang bayi. Pernikahan dini karena kecelakaan menjamur bak cendawan. Lalu kemana para pelajar? Tak banyak yang berprestasi karena sebagiannya sibuk tik-tokan dan tawuran.
BACA JUGA: Hijrah karena Dia, Bukan karena ‘dia’
Tak hanya itu masyarakat kini rentan diadu domba. Berbeda pilihan sedikit saja masing-masing kubu tak ragu mencaci. Atas nama toleransi, ulama ikhlas dan emak-emak dipersekusi. Astaghfirullah, kalau mau didata, begitu banyak daftar kesempitan hidup yang kini dirasakan oleh umat.
Hijrah, Titik Balik Kehidupan yang Lebih Baik
Mekah sebelum hijrah adalah negeri yang juga memiliki tatanan yang tak harmonis. Riba meraja lela, bayi perempuan dianggap aib, penyembahan berhala di sekitar Baitullah bahkan telah menodai kesucian ka’bah. Siksa dan aniaya dialami Rasulullah dan para sahabatnya. Kondisi Mekah yang betah berada dalam selingkung kegelapan pada akhirnya tak memberi tempat pada cahaya Islam yang Rasulullah bawa. Maka hijrah adalah jawabannya.
Madinah menjadi destinasi yang diwahyukan pada Rasulullah. Setelah sebelumnya penduduk Madinah menyatakan kesediaannya menjadi pelindung dakwah Nabi melalui baiat di bukit Aqabah yang kedua.
Madinah yang dituju telah membawa kehidupan baru yang lebih tenteram. Al-qur’an dan hadist benar-benar menuntun kaum muslimin dalam bingkai persatuan. Begitu indah Rasulullah menggambarkan Madinah al-Munawwarah saat itu. Yaitu dengan sabdanya, ”Madinah itu seperti tungku (tukang besi) yang bisa membersihkan debu-debu yang kotor dan membuat cemerlang kebaikan-kebaikannya.” (HR al-Bukhari).
Islam telah membawa Yastrib menjadi satu kekuatan yang diperhitungkan. Kekuatan yang mampu menggetarkan bangsa kulit merah dan membungkam para pembesar Qurays saat itu. Bahkan Mekah akhirnya tunduk, kota suci itu dibebaskan tanpa kekerasan.
Sebakda hijrah, Islam kaffah yang dijadikan tuntunan dalam sistem bernegara telah membawa umat Islam pada kehidupan yang harmonis. Pemimpin yang amanah menjalankan Islam dan adil dalam kebijakannya telah membawa kesejahteraan. Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz, Khalifah Sulayman Al-Qonuni, dan Khalifah Al-Mu’tashim adalah sederet nama yang mengisahkan kejayaan dalam kepemimpinan yang amanah disokong oleh kekuatan sistem bernegara berdasar Islam.
Lalu pada masa kekinian apakah hijrah mampu membawa perubahan serupa?
Hijrah secara bahasa berasal dari kata hajara yang berarti berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, dari suatu keadaan ke keadaan yang lain (Lisân al-‘Arab, V/250; Al-Qâmûs al-Muhîth, I/637). Sedangkan secara syar‘i, para fukaha mendefinisikan hijrah sebagai keluar dari darul kufr menuju Darul Islam (An-Nabhani, Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276). Definisi lain adalah menurut al-Qurthubi dan asy-Syaukani, al hijrah bermakna berpindah dari suatu keadaan kepada keadaan lain dan meninggalkan yang pertama karena mengutamakan yang kedua.
Dari sini dipahami hijrah yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat menunjukkan bahwa esensinya agar mereka bisa menjalankan syariat Islam secara Kaffah. Terbukti dari masa-masa setelah hijrah kaum muslimin saat itu menyerahkan ketundukan mereka sepenuhnya pada perintah dan larangan Allah.
Berdasarkan hal ini, dalam konteks kekinian hijrah sangat relevan untuk kita terapkan bahkan menjadi suatu kemestian. Tentunya hijrah yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Al-Qur’an. Yaitu kita mesti beralih dari kondisi yang tidak taat menuju kondisi taat sepenuhnya pada Qur’an dan sunnah Rasul.
BACA JUGA: Pahami 3 Strategi Bertahan Setelah Hijrah
Secara individu sudah saatnya kita berhijrah, beralih menjadi individu yang bertakwa. Dengan membangun ketakwaan melalui ketundukan pada halal haram serta ber-taqarub ilallah dengan ibadah wajib dan sunnah. Segala beban kehidupan yang semakin berat, kita pasrahkan pada zat Yang Maha kaya. Maka kita akan menjadi individu yang tangguh di tengah badai krisis.
Tidak cukup hanya berhijrah secara individu. Karena krisis yang terjadi saat ini dikarenakan penerapan sistem kapitalis sekuler. Tatanan kehidupan bernegara yang mengabaikan tuntunan Allah berakibat pada kebijakan-kebijakan yang zalim terhadap rakyat. Maka rakyat pun mesti menginginkan perubahan pada tatanan kehidupan bernegara agar sesuai syariat Islam. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah, para sahabatnya, dan khalifah-khalifah setelahnya.
Dalam Qur’an surat Al-Baqarah 218 dinyatakan:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ
وَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ أُوْلَـئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللّهِ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ” (QS. Albaqarah [2] : 218)
Tujuan hijrah semata mengharapkan rahmat dari Allah. Dan rahmat Allah akan kita peroleh saat kembali pada aturan-Nya yang Kaffah. Wallahu a’lam bish-showab. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.