Oleh: Kayyis Hawari
UNS
kayyishawariroyani@gmail.com
“Mereka bukan lahir dari orasi-orasi mimbar tetapi dari perubahan umat melalui kebangkitan ilmu.”
Anonim
ZAMAN telah berubah, perkembangan terjadi dengan sangat cepat dan tidak bisa dikendalikan. Perubahan terjadi sangat nyata, entah baik ataupun buruk. Bisa jadi apa yang dahulu kita temui semasa kecil hari ini, tidak lagi terdengar kabarnya dan bisa jadi apa yang tidak kita bayangkan sebelumnya kini hadir mewarnai hidup.
Manusia sebagai makhluk yang dimandatkan secara fungsional oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi, harus bisa membaca itu semua. Bukan untuk diantisipasi, karena perubahan dan perkembangan pasti terjadi, itu semua seharusnya membuat manusia untuk lebih cepat beradaptasi sehingga tetap bisa mempertahankan eksistensi.
BACA JUGA: Jalan Itu Bernama Hijrah
Salah satu fenomena perubahan yang terjadi dan baik adalah berkembangnya trend belajar agama lebih dalam lagi, mendatangai majelis ilmu dengan frekuensi yang sering, hingga kampanye menjadi lebih daripada sebelumnya di social media, atau itu semua kita rangkum dalam satu kata yang mewakili; hijrah.
Dalam buku Generasi Phi, disebutkan bahwa ada trend baru yang sedang berkembang di kalangan masyarakatnya umumnya, atau millennial khususnya yaitu kesadaran untuk memperdalam ilmu agama. Pernyataan ini sejalan dengan fenomena-fenomena yang memang terjadi, dimana telah terjadi kesadaran nasional untuk terus memperbaiki diri, dalam kata lain, berhijrah.
Tidak ingin membahas lebih jauh mengenai pengertian hijrah, yang sepertinya akan membuat pembahasan ini lebih luas dan lebar. Dalam tulisan ini, saya coba sajikan sebuah refleksi atas fenomena yang telah banyak saya singgung.
Muncul kesadaran untuk berhijrah menjadi baik adalah sebuah trend positif yang patut dijaga bahkan ditularkan pada yang lain. Karena trend ini akan mampu menggeser trend-trend yang memang tidak baik bahkan merusak. Namun di sisi lain, ada sedikit kekurangan atau kalau saya boleh menyebutkan tidak ada proses berkelanjutan setelah kesadaran ini timbul. Terjadi stagnasi dalam behijrah.
Proses berhijrah yang tumbuh dari kesadaran seakan mandek pada persoalan itu-itu saja. Bahkan pembicaraannya pun hanya seputar tema yang mungkin sudah diulang entah berapa kali dalam sebuah kajian.
Apakah ini salah? Tidak, saya tidak mengatakan ini salah, hanya saja kurang baik. Ya karena seharusnya jika memang ada totalitas dalam berhijrah, tidak boleh ada stagnansi, harus ada proses yang lebih baik lagi daripada sebelumnya, mari kita maknai sebagai naik kelas.
Di sekolah kita tahu, yang menandakan seseorang dinyatakan lebih baik daripada sebelumnya dalam keilmuan, adalah disaat dia bisa berada dalam tingkatan atau kelas yang lebih tinggi. Senada dengan sekolah, proses hijrah kita juga harus ditandai dengan peningkatan kelas kita. Awalnya belum tahu, menjadi tahu. Awalnya belum paham menjadi paham.
Dalam buku Mengapa Kita Rela Tertinggal karangan Irja Nasrullah disebutkan bahwa kita harus memiliki keimanan yang dinamis, keimanan yang berbuah bagi kemaslahatan umat. Bukan sekadar keimanan yang kita nyatakan dalam perkataan, pengakuan, apalagi sekadar caption di media sosial. Maka, ini yang perlu kita perhatikan.
BACA JUGA: Yuk Berhijrah!
Setelah proses hijrah kita dalam menambah keimanan, maka sudah saatnya kita menghasilkan sesuatu yang lebih daripada sekadar pengucapan bahwa kita sudah beriman, ya yaitu saatnya kita memperdalam keilmuan, memperbanyak pengabdian, hingga bisa mewariskan karya-karya terbaik.
Saatnya kita naik kelas adalah sebuah renungan, kesadaran, tahapan, dan harapan. Renungan tentang potensi yang umat miliki akan menjadi sia-sia jika tidak dikelola dengan baik. Kesadaran tentang sedang terjadi trend positif yang harus segera disambut dan diberdayakan. Tahapan untuk melompat lebih jauh, melangkah lebih pasti, dan menjejak lebih tegap. Terakhir, harapan, harapan tentang kebangkitan yang sama-sama kita rindukan, harapan tentang adanya perubahan. Maka dari itu, saatnya kita naik kelas. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.