Oleh: Enzen Okta Rifai, Lc.
(Alumni perguruan tinggi International University of Africa, Republik Sudan)
enzenoktarifai@gmail.com
DALAM filsafat hidup orang Jawa dikenal istilah, “Ngelmu iku kalakone kanti laku.” Artinya, ngelmu itu adalah ilmu yang sudah menyatu ke dalam tubuh. Dalam terminologi Islam, kita mengenal “hikmah” yang akan melahirkan kebahagiaan (al-sa’adah). Pengertian hikmah bukan semata-mata ilmu yang bersifat teori maupun tumpukan informasi, melainkan pengetahuan yang telah mengejawantah dalam perilaku dan perbuatan manusia.
Di era digital ini, betapa banyak otak-otak manusia yang sibuk menimba dan menimbun pengetahuan, namun berhenti hanya sebatas informasi di kepala, tidak berlanjut menjadi “laku”. Padahal, ilmu bukan semata-mata panduan hidup, tetapi juga panduan bagaimana menjalani hidup dengan baik dan berkah. Di sisi lain, saat ini begitu banyak kita menyaksikan orang-orang berilmu, memiliki banyak informasi, tetapi ketika tidak sanggup “mengeksekusi” pengetahuannya akhirnya menjadi frustasi dan depresi berat.
Betapa banyak sarjana-sarjana kita, baik yang lulusan dalam dan luar negeri, namun merasa kesulitan mendapatkan panggung atau “kavling sosial” hingga tak mampu menerejemahkan ilmunya menjadi laku perbuatan yang bisa mendatangkan “hikmah”. Ilmu yang tertransformasi menjadi “laku” inilah yang membuat seseorang bisa memiliki kualitas “linuwih”. Di pesantren-pesantren di sepanjang pantura Jawa Tengah, kualitas seperti ini disebut “suwuk”, yakni orang-orang yang telah melakoni ilmunya sepanjang hayat hingga layak disebut sebagai guru atau “mursyid”.
BACA JUGA: Medsos dan DNA Kaum Inlander
Sentuhan mursyid
Seorang “mursyid” identik dengan figur-figur yang telah menguasai ilmu “alchemy”. Sebagai disiplin ilmu, alkemi jelas sudah terdiskreditkan oleh penemuan kimia modern. Tetapi sebagai “ilmu rohani”, alkemi jelas tidak bisa digantikan oleh ilmu alamiah modern. Alkemi adalah ilmu yang bisa mengubah logam biasa (besi) menjadi logam mulia (emas). Seorang “mursyid” yang mumpuni laiknya seorang ahli alkemi, sebagaimana sentuhan Sunan Bonang yang membuat seorang penjahat yang urakan (Sunan Kalijaga) bisa menjadi luluh hatinya, hingga menyadari kekurangan dan kekhilafannya.
Hikmah adalah ilmu yang bersifat transformatif. Ia dapat mengubah orang biasa menjadi waliullah (insan kamil). Ini tidak terjadi pada ilmu yang berhenti sebagai tumpukan informasi, atau sebatas teori belaka. Hikmah adalah ilmu yang sudah dilakoni, sudah mengalami transformasi menjadi laku, dan dari sanalah kebahagiaan akan memancar.
Sang Alkemis
Dalam novelnya yang terkenal, “Sang Alkemis” (1988), Paulo Coelho menarasikan perjalanan seorang Santiago sampai kemudian berjumpa dengan gadis pujaannya, Fatima. Kita menyaksikan sejarah hidup Santiago, yang tiap langkahnya selalu mengandung makna bagi keseluruhan hidupnya. Bahkan, benda apapun yang dijumpainya, semuanya mengandung pertanda dan kesenyawaan antara satu dengan yang lainnya.
Perjumpaannya dengan tokoh spiritual ulung (sang alkemis) membuat Santiago seakan berhijrah dari manusia jasmani menuju manusia rohani (mistikus). Ini mengingatkan kita pada surah al-Baqarah (269), ketika manusia telah sampai pada fase memperoleh “hikmah” dari Sang Pencipta dan Pengasih, hingga perjalanan hidup manusia seakan lebih memanfaatkan mata batin yang membawanya pada kearifan dan kebijaksanaan.
Sedangkan ilmu yang bersifat wadak dan kasatmata (nadzari), ia akan mudah ditransfer ke dalam otak dan pikiran orang lain. Akan tetapi, ilmu yang mengalami transformasi ke dalam tindakan tak bisa dikatakan sebagai entitas yang bersifat virtual belaka.
Lebih jauh lagi, hikmah adalah pengejawantahan ilmu yang berubah menjadi “laku”, menjadi moral dan akhlak yang sudah menyatu ke dalam tubuh manusia. Suatu kali, Siti Aisyah ditanya oleh seorang sahabat, bagaimanakah akhlak Rasulullah itu. Istri Rasulullah menjawab bahwa akhlak beliau tercermin dalam teks-teks (ilmu) yang termaktub dalam Alquran.
Apa yang dinyatakan Siti Aisyah mengenai akhlak Rasulullah, di dalam filsafat dikenal sebagai “an embodied knowledge”, yakni suatu pengetahuan yang sudah menyatu ke dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Ia sudah menempel ke dalam jasad dan tubuh Rasulullah ﷺ.
Jika kita membaca buku tentang bagaimana cara bermain bulutangkis yang baik, kita baru sebatas mempelajari atau memahami ilmu dan teori tentang permainan bulutangkis. Tetapi, seorang Alan Budikusuma atau Susi Susanti yang bermain bulutangkis, mereka bukan sebatas memahami ilmu dan teknik dalam bermain bulutangkis tetapi sudah menyatu ke dalam tubuh. Sama halnya dengan teknik kungfu yang sudah menyatu dalam tubuh Bruce Lee.
BACA JUGA: Kisah Orang Banten Berdoa
Averous (Ibnu Rusyd) justru memparalelkan pengertian hikmah dengan filsafat yang pernah menyatu ke dalam alam pikiran Yunani, termasuk Plato dan Aristoteles. Dengan demikian, Ibnu Rusyd – filsuf muslim yang hidup di abad ke-12 di Andalusia itu – memahami seseorang yang diberi anugerah hikmah (oleh Allah) identik dengan seseorang yang dibekali pemikiran filosofis dalam hidupnya. Dalam tradisi filsafat Islam, seorang filsuf, alias seseorang yang mempelajari dan mempraktikkan hikmah disebut pula sebagai “al-muta’allih”, seseorang yang berusaha untuk terus mendekat dan meneladani sifat-sifat ketuhanan.
Apa yang dinyatakan Ibnu Rusyd, mengandung arti bahwa “hikmah” adalah suatu kebijaksanaan yang lahir karena seseorang bertindak sesuai pikiran dan ilmunya, dan sesuai dengan situasi yang dihadapinya. Tindakan yang bijak, tepat dan terarah, sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, sejatinya adalah “tindakan ketuhanan” alias akhlak yang sebenar-benarnya akhlak. Seseorang yang telah medapat anugerah hikmah semacam ini, ia mendapatkan kebaikan-kebaikan yang berlimpah. []