TAMPIL menarik di depan orang lain memang terkadang merupakan idaman tiap wanita. Ragam upaya dilakukan untuk merias dan mempercantik diri. Salah satu upaya yang ditempuh, antara lain, dengan cara memanjangkan kuku. Ada yang lantas mewarnai atau melukis kuku tersebut dengan varian motif dan warna.
Lalu, apa sebetulnya hukum memanjangkan kuku itu sendiri bagi wanita?
Prof Abd al Karim Zaidan menjelaskan persoalan yang berkaitan dan ihwal pemanjangan kuku bagi perempuan Muslimah itu dalam bukunya yang berjudul, al-Mufashal fi Ahkam al-Marati. Dia menegaskan, para ulama sekapat hukum memanjangkan kuku, apa pun motifnya, tidak diperbolehkan. Larangan ini sangat berdasar karena tindakan tersebut dianggap bertentangan dengan sunah. Bukan hanya sunah Nabi Muhamma, melainkan juga sunah para nabi terdahulu.
Rasulullah SAW menyerukan hendaknya memotong kuku, bukan malah memanjangkannya. Ini sesuai dengan sabda Rasul yang dinukilkan oleh Bukhari dan Muslim. Dalam hadis itu, dijelaskan terdapat dua sunah yang berkaitan dengan fitrah bagi tubuh manusia, yakni khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan menipiskan kumis.
Ada banyak hikmah di balik larangan memanjangkan kuku. Paling utama menyangkut kebersihan dan kesucian anggota tubuh, terutama pada bagian jari tangan di daerah kuku. Dengan tidak memanjangkan kuku, akan menghindari penumpukan kotoran pada sela-sela kuku tersebut. Ini bisa berdampak pada akumulasi bakteri yang bisa berakibat fatal pada kesehatan tubuh.
Sedangkan hikmah dari aspek kesuciannya, ungkap Zaidan, memendekkan kuku menutup kemungkinan adanya najis yang menempel atau tersisa dai sela-sela kuku. Terutama, najis yang datang pascabersuci dari hadas kecil, baik buang air kecil atau buang air besar.
Maka, bila dibiarkan dalam kondisi panjang dan disertai dengan unsur kesengajaan, apabila ada najis walau sedikit yang menyelip pada celah kuku itu, bisa berpengaruh pada keabsahan shalat. Karena itu, dianjurkan memotong kuku secara saksama hingga tidak menyisakan celah bagi terselipnya kotoran. “Ini menghindari keberadaan najis,” kata Zaidan.
Lebih lanjut Zaidan mengingatkan supaya memotong kuku dengan alat bantu yang semestinya, bukan menggunakan gigi. Seperti dikutip dari kitab kompilasi fatwa bermazhab Hanafi, yaitu al-Fatawa al-Hindiyyah fi Fiqh al-Hanafiyyah, memotong kuku seperti kebiasaan sebagian orang dengan gigi hukumnya makruh. Ini karena bisa berdampak buruk bagi yang bersangkutan.
Selain itu, disunahkan pula untuk ‘berkanan ria’ atau mendahulukan bagian kanan. Mulai dari jari-jari tangan sebelah kanan menyusul kiri, lalu kaki sebelah kanan dan diakhiri kaki sebelah kiri. Masih dinukilkan dari kompilasi fatwa tersebut, potongan kuku tersebut boleh dipendam atau dibuang begitu saja. Namun, bila dilempar di pemandian atau toilet, hukumnya makruh.
Soal kapankah memotong kuku, Zaidan menambahkan tak ada ketentuan batas waktunya. Pemotongan tersebut disesuaikan dengan tingkat kebutuhan. Semakin cepat kuku memanjang, sesegera itu pula dipotong. Akan tetapi, menurut riwayat Muslim dari Anas bin Malik disebutkan, waktu pemotongannya tak lebih dari 40 hari. Ketentuan yang sama untuk sunah kefitrahan yang lain.
Ibnu Hajar al-Asqalani dan Imam al-Aini mengemukakan, Imam al-Baihaqi pernah menukilkan riwayat dari Abu Ja’far al-Baqir. Rasul menyunahkan memotong kuku pada Jumat. Atas dasar ini, para ulama Syafi’i menentukan waktu pemotongan pada Jumat. Sedangkan, menurut mazhab Hanafi, waktu yang utama ialah memotongnya sepekan sekali, jika tidak minimal 15 hari dan jangan sampai lewat dari 40 hari. []
Sumber: Republika