Oleh: Eeng Nurhaeni
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Bayan, Rangkasbitung, Banten Selatan
nurhaenieeng@gmail.com
PADA dasarnya manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang baik dan jujur. Dilengkapi dengan struktur otak dan komponen diri agar mampu berjalan di atas rel-rel yang membawanya pada kesuksesan dan kemuliaan, baik di dunia maupun di akhirat.
Dengan potensi yang ada dalam dirinya manusia terus meningkatkan diri menuju derajat yang lebih tinggi. Dunia ini diibaratkan sebagai “ladang amal” yang dalam terminologi agama adalah tempat menyemai benih-benih terbaik yang kelak dapat dipetik buahnya di akhirat nanti.
Selama sebulan penuh kita telah melaksanakan ibadah puasa, sebagai instrumen pelatihan rohani untuk meningkatkan kualitas pemberdayaan diri. Puasa sebagai media yang dapat melatih kemampuan diri hingga mencapai suatu manajemen hati (qalbu) yang terkelola dengan baik.
Kesadaran manusia di era milenial ini – berikut dampak positif dan negatifnya – telah mengarahkan mereka kepada suatu petunjuk, betapa pentingnya memiliki hati dan qolbu yang termenej dengan baik.
Oleh karena itu, titik sentralnya bukan semata-mata pada sistem yang berjalan, melainkan pada pribadi-pribadi manusia yang hatinya terarah dan terkendali dengan baik. Figur manusia bertakwa yang sudah menaklukkan ego-ego pribadinya, yang terus akan menyinari dunia dan seisinya, hingga dapat mewarnai sistem apapun yang sedang berlaku di sekelilingnya.
Ornamen terpenting dalam jagat rohani manusia, menurut kiai dan intelektual NU, Said Aqil Siroj adalah “dlamir” dan “qolbu”. Pengertian dlamir erat kaitannya dengan etika atau moral yang mendorong dan memotivasi manusia untuk berjalan sesuai dengan koridor hukum-hukum alam yang berlaku.
Dengan dlamir itu manusia akan menempatkan diri sesuai dengan etika yang berlaku dalam masyarakat setempat, serta mampu menyesuaikan diri di tengah aturan dan undang-undang yang berlaku, baik dari sisi budaya, adat, maupun kehidupan beragama. Di sisi lain, peranan qolbu sebagai eye of heart atau “bashirah”, yang lebih bernuansa filosofis dan metafisik.
Bashirah ini dapat diartikan sebagai penglihatan jernih yang identik dengan fitrah manusia. Melalui fitrah yang baik, batin manusia akan sanggup menerawang untuk membedakan mana yang maslahat dan mana yang mafsadah.
Boleh dibilang sebagai alat pendeteksi dalam organ otak manusia (korteks prefrontal) yang terus mengalami peningkatan, hingga mampu membedakan mana yang baik dan buruk, bahkan sanggup membedakan mana yang baik dan yang terbaik.
Setelah bashirah dan penglihatan mampu membedakan kebaikan dan keburukan, maka dlamir bersifat memandu sikap dan perbuatan manusia agar berjalan di atas rel-rel kebaikan, serta menjauhi hal-hal buruk yang dapat mencelakakan hidup manusia.
Melalui pelatihan rohani dengan melaksanakan puasa Ramadan dan diakhiri dengan suasana penyucian diri (Idul Fitri), hendaknya kesadaran kita semakin meningkat pada suatu potensi yang dapat memandu batin dan rohani, hingga dengan sendirinya segala sesuatu yang bersifat materi dan jasmani dapat terkontrol dan terkendali dengan sebaik-baiknya.
Degradasi Moral
Disiplin diri yang sudah terkontrol oleh manajemen hati dan qolbu, adalah tolok ukur yang dapat menyelamatkan Indonesia dari degradasi moral yang akhir-akhir ini menyebabkan banyak elit dan petinggi politik terjerembab oleh karena ulah perbuatannya sendiri.
Ketahuilah, bahwa hal ini bukan perkara syariah atau hukum-hukum fiqih dalam ajaran agama saja, melainkan perkara sunnatullah, yang apabila berdusta dan bersifat korup, meskipun Anda berdalih untuk pembangunan pesantren, masjid, umroh atau percetakan kitab suci.
Jika Anda tidak sanggup menjaga diri untuk hidup jujur dan bersahaja, maka hukum alam itu niscaya akan menyerimpung batin Anda sendiri. Terlepas apakah Anda petinggi politik, pengusaha, tokoh agama maupun tukang kredit atau debt collector.
Di sini kita hanya menjabarkan menfaat pengendalian diri berkat puasa sebulan penuh, yang dimaknai bukan semata-mata berdasarkan syar’i, tetapi harus meningkat ke wilayah “hakikat” yang lebih mengena sasaran untuk perubahan watak dan karakteristik manusia secara umum.
Jadi, bukan semata-mata bersifat wadak untuk sekadar “menggugurkan kewajiban”. Juga bukan menyangkut perkara wajib, haram dan makruh, tetapi harus dipahami secara holistik dan mendalam, mengapa Tuhan menekankan pentingnya puasa kepada umat Islam beserta umat-umat penganut agama lainnya.
Oleh karena itu, ketika kita bicara mengenai hakikat, kita akan mencapai pemahaman tentang efek dari puasa Ramadlan selama sebulan penuh. Apa efek yang ditimbulkannya bagi perubahan watak dan karakteristik masyarakat kita, terlebih di masa-masa pandemi Corona yang belum berakhir hingga saat ini.
Pribadi-pribadi Unggul
Dalam literatur tentang puasa Ramadlan, kita mengenal istilah dlamir ijtima’i dan dlamir dini. Dapat diartikan secara luas bahwa hakikat ibadah puasa sebagai pelatihan rohani, terkandung aspek yang bukan menyangkut perkara agama saja, melainkan juga perkara kemaslahatan umat, menjaga diri, yang paralel dengan menjaga alam dan lingkungan sekitar.
Tetapi, jika puasa itu hanya dipahami sebatas hukum-hukum syar’i yang tidak berdampak pada perubahan mental dan tingkah-laku, tidak menutup kemungkinan akan muncul kembali koruptor-koruptor baru yang akan mengulang-ulang sejarah yang sama.
Melalui puasa Ramadlan, dan dalam suasana Idul Fitri kali ini, hendaknya kita terus berupaya untuk menggali hakikat diri, bercermin dan berbenah diri, hingga Tuhan menganugerahkan pribadi-pribadi yang memiliki integritas moral yang tinggi.
Dengan kesanggupan muhasabah dan berkaca diri, niscaya negeri ini akan melahirkan peradaban baru yang mencerahkan (madinah al-fadhilah), tempat berkumpulnya manusia-manusia yang mampu bersaing secara sehat dan manusiawi, serta bernaungnya pribadi-pribadi unggul yang berkarakter. Insya Allah. []