Oleh: Ova Laela Muttaqiyah
BEBERAPA waktu lalu saya mendapatkan cerita begini dari seorang guru.
Saya ketemu mbak Diah di Australia. Dia bersimpuh, pegang betis saya lalu nangis-nangis. Saya bingung. Walau pun begitu, saya biarkan dulu sampai agak reda. Sampai dia mau cerita permasalahan apa yang menimpa sampai dia seperti itu.
Saya pegang lengannya, mengajaknya mencari tempat duduk yang senggang agar ia mau berbagi cerita. Tak lama mengalirlah apa yang menjadi keresahannya sehingga menangis keras di hadapan saya.
“Ibu, saya mohon maaf. Dosa saya besar sekali. Dosa saya entahlah, mungkinkah ndak bisa diampuni?”
“Kenapa Mbak Diah? Kita udah lama ndak ketemu, alhamdulilla kita bisa ngobrol di sini sekarang. Kelihatannya mbak Diah baik-baik saja kok. Dari penampilannya, juga kayaknya ndak mungkin masalah ekonomi. Wong bisa sampai Australia sini pasti uangnya banyak.”
“Begini, Bu. Tapi gimana saya ceritanya? Hafalan saya hilang semua.”
Apa Diah bilang? Selama ini yang saya kenal, di pondok dialah santri paling rajin, hafalannya lancar, 30 juz bisa dibaca sekali duduk. Musabaqoh Hifdzil Qur’an, Diahlah yang wakili pondok. Dulu berkali-kali dia disimak 30 juz, hampir tak ada yang salah. Tapi memang setelah menikah kabarnya tak terdengar lagi. Seperti habis ditelan bumi.
“Astaghfirullah … gimana bisa gitu, Diah? Anakku?”
“Anak saya sekarang tiga, Bu. Hampir setahun sekali lahiran. Nah, suami saya lanjut S2 di sini. Beasiswa sambil kerja. Dia minta ditemani saya. Sehari-hari suami sibuk kuliah, sibuk kerja. Di rumah pastinya minta dilayani. Saya ndak ada waktu lagi, jangankan ndarus ngafal, pegang mushaf aja susah, Bu.”
“Hati-hati, Diah. Sebelum nikah dulu kan Ibu bilang. Al-Qur’an yang kamu punya itu tanggung jawab berdua sama suami sampai ke akhirat. Kalau sudah begini, perlu waktu lama supaya bisa utuh lagi. Bertahun-tahun, apalagi kamu sibuk.”
“Saya bingung juga, Bu harus gimana.”
“Komunikasi sama suamimu soal ini. Jangan disimpan sendiri. Dia perlu diingatkan. Di sini kayaknya Muslim itu minoritas, kamu butuh komunitas sesama penghafal supaya bisa kembali. Hati-hati, ya. Hartamu di sini ndak dibawa mati. Tapi hafalanmu itulah yang nanti bisa nolong atau malah ngasih laknat.”
“Jadi saya harus pulang, Bu?”
“Minta ke Allah mana yang terbaik. Tanya lewat shalat. Kalo bisa pulang, mondok lagi, ya syukur. Tapi kalo ndak bisa pulang ya cari komunitas. Ngafal Al-Qur’an itu sampai kamu mati. Bukan lancar sekali terus sudah.” []
Yogyakarta, 12 Dzulqo’idah 1439 H
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.