Oleh: Syifa Fitri
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
syifakiftiana@gmail.com
DAHULU ketika diangkat menjadi seorang khalifah, Umar bin Abdul Aziz menyerahkan seluruh harta pribadinya ke baitul mal. Beliau menangis. Air matanya terus mengalir lantaran takut pada azab Allah bila gagal menyejahterakan kaum dhu’afa atau menyalahgunakan amanat yang beliau emban.
Kenapa dahulu sepeti itu dan sekarang berbeda?
Sebab, kini populasi orang yang takut kepada Allah sangat kecil ketimbang takut dengan yang terjadi di hari esok, minggu depan dan seterusnya. Atau bisa dibilang banyak orang yang mengaku mukmin, tubuh dan lisannya sering berkibar-kibar dengan kalimatullah, tetapi pada hakikatnya yang dilakukan tidak seperti yang terlihat.
Kebanyakan hanya sibuk untuk menyiapkan segalanya hanya untuk memastikan hari esok akan baik-baik saja. Mereka takut jika hari esok tidak berjalan sesuai rencana.
Ketakutan-ketakutan ini yang membuat buta hati, sempit pikiran dan efeknya membenarkan segala cara untuk merengkuhnya, termasuk yang telah dilarang oleh Allah.
Ketika ketakutan terus membayangi, kita bisa menciptakan bayang-bayang besar, gelap dan menyeramkan pada diri kita hingga bisa jadi kita menyembah-nyembah masa depan kita. Karena masalah tersebut muncullah korupsi, penipuan, pemalakan, tidak mau untuk membantu sesama yang sedang membutuhkan bantuan dan sebagainya.
Hubbud dunya adalah penyakit yang serius pada hati kita. Walapun Allah telah menuliskan bahwa manusia akan diuji dengan kesenangan-kesenangan yang ada di dunia tetapi Allah juga sudah menjelaskan bahwa semua itu hanyalah kesenangan hidup yang sementara, dan Allah telah menjanjikan yang lebih baik dsbanding dengan kesenangan duniawi.
Maka kita tidak boleh terlena dengan hal-hal yang bersifat duniawi, karena dunia adalah tempat bersinggah.
Seseorang yang masih memiliki naruni sebagai manusia tidak akan tega menyakiti orang lain, merampas hak orang lain, menipu orang, berjanji manis, ataupun korupsi. Seseoarng yang hatinya masih disinari dengan cahaya kemanusiaan tidak akan menampik ajaran-ajaran kemuliaan dan keadaban yang diterangkan dengan terang oleh ayat-ayat Allah.
Seseorang yang masih terawat kesadaran di hatinya tidak akan lupa bahwa dirinya akan mati, bertanggungjawab pada seluruh kelakuannya selama hidup, di hadapan azabNya. Seseorang yang sadar bahwa dirinya hanyalah manusia fana, dhaif dan tiada makna akan merasa takut dengan kebesaran-Nya.
Akan tetapi jika kita lihat dengan apa yang terjadi sekarang ini banyak dari mayoritas manusia hanya gemar mengaku muslim atau mukmin tapi tidak tampak rasa takut kepada Allah. Seolah-olah hidup di dunia hanya kemauan sendiri tanpa ada peraturan. Menipu Allah saja berani, bagaiamana dengan selainnya? Apakah masih ada rasa takut kepada Allah? []