WAKTU berlalu begitu halus menipu kita yang terlena, belum sempat berdzikir pagi tau-tau hari sudah menjelang siang. Belum sempat bersedekah pagi, matahari sudah meninggi.
Rencana jam 9 mau shalat Dhuha, tiba-tiba adzan Dzuhur sudah terdengar. Pinginnya setiap pagi membaca 1 juz Al-Qur’an, menambah hafalan satu hari satu ayat. Tapi ya itu, “pengennya itu”.
Komitmen tidak akan melewatkan malam kecuali dengan tahajud dan witir, sekalipun hanya 3 raka’at singkat. Semua hanya rencana.
Akan terus beginikah nasib hidup menghabiskan umur? Berhura-hura dengan usia?
Lalu tiba-tiba masuklah usia di angka 30, sebentar kemudian 40, tak lama terasa menjadi 50, dan kemudian orang mulai memanggil kita dengan sebutan “Kek… Nek…” pertanda kita sudah tua.
Lalu sambil menunggu ajal tiba, sejenak mengintip catatan amal yang kita ingat pernah berbuat apa?
Astaghfirullah. Ternyata tak seberapa! Sedekah dan infaq cuma sekedarnya, mengajarkan ilmu tak pernah ada, silaturahmi rusak semua.
Jika sudah demikian, apakah ruh ini tidak akan melolong, meraung, menjerit menahan kesakitan disaat harus berpisah dari tubuh pada waktu sakaratul maut?
Tambahkan usiaku ya Allah! Aku butuh waktu untuk beramal dan berbekal sebelum Kau akhiri dengan ajal.
Belum cukupkah menyia-nyiakan waktu selama 30, 40, 50 atau 60 tahun?
Butuh berapa tahun lagikah untuk mengulang pagi, siang sore dan malam hari? Butuh berapa minggu, bulan, dan tahun lagi agar bisa mempersiapkan diri untuk siap mati?
Tanpa kita pernah merasa kehilangan waktu dan kesempatan untuk menghasilkan pahala di setiap detiknya, maka 1000 tahunpun tidak akan pernah cukup bagi orang orang yang terlena?
Astaghfirullah. []
Artikel ini beredar viral di medsos dan blog. Kami kesulitan menyertakan sumber pertama.Â