ROMEO dan Juliet, karya William Shakespeare.
Kisah cinta klasik romantik karya sastrawan Inggris ini sangat mengharu biru. Jalinan asmara Romeo dan Juliet harus berhadapan dengan keluarga yang saling berseteru.
Romeo berasal dari keluarga besar Tuan Montague bermusuhan dengan keluarga besar Tuan Capulet, ayah Juliet.
Akar merambat dan sumbu pun menyala, mereka berdua menjalin asmara meski orangtua tak merestui. Jalani saja.
Cinta dua sejoli ini harus dibayar dengan harga yang sangat mahal. Mahal sekali.
BACA JUGA: Kekuatan Cinta
Suatu hari Romeo menemukan Juliet tergeletak tak berdaya. Maka Romeo pun segera meminum racun untuk menyusul kematian Juliet. Demi kekasih pujaan hati, demi cinta yang abadi. Mereka ingin sehidup semati.
Ironisnya, tepat ketika racun menggerogoti tubuh Romeo, ternyata Juliet siuman dari pingsannya. Tadi ia hanya pingsan dan tidak mati.
Alangkah kaget Juliet, ketika bangun ia mendapati Romeo yang sedang sekarat karena minum racun. Tanpa pikir panjang maka diciumnya bibir Romeo yang masih berlumur busa beracun. Dan mereka pun meninggal dunia.
Oh, demikian mesra. Se-iya sekata, selangkah sejiwa, bersama dalam suka dan duka. Bahkan mati pun bersama-sama. Cinta.
Indah bukan?
Demikianlah cinta telah mengantar anak manusia menembus halang dan rintangan yang menghadang. Atas nama cinta dan kesetiaan.
Benarkah?
Jika kita yang menjadi Romeo atau Juliet, silakan pikir dengan rasio dan hadirkan sisi hati untuk mencerna dan merasa. Biarkan hati kecil berceloteh dan bertanya.
“Benarkah saya berkorban demi cinta? Atau atas nafsu pribadi karena takut kehilangan si dia?”
Biarkan. Biarkan hati kecil kita bertanya.
Kemesraan Romeo dan Juliet memiliki makna yang berbeda dengan kemesraan Baginda Rasulullah SAW bersama istrinya, ‘Aisyah.
Walau pun akhir hayatnya dalam kemesrraan, tapi demi Allah, jauh lebih mesra kebersamaan Rasulullah dengan ‘Aisyah. Hal ini sebagaimana digambarkan oleh Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri dalam ar-Rahîq al-Makhtûm:
Pada saat-saat terakhir dari hidup beliau (Rasulullah), ‘Aisyah menarik tubuh beliau ke pangkuannya,
“Sesungguhya di antara nikmat yang dilimpahkan Allah kepadaku,” kata ‘Aisyah, “bahwa Rasulullah SAW meninggal dunia di rumahku, pada hari giliranku, berada dalam rengkuhan dadaku, bahwa Allah menyatukan ludahku dan ludah beliau saat wafat.”
Masyaallah…
Kisah cinta Romeo dan Juliet bukan contoh terbaik dalam pentas sandiwara cinta. Bukan hitam dan putih atas penilaian manusia yang serba terbatas, tapi syariatlah yang harus menjadi standar baik dan buruk.
Mereka merajut asmara dalam ranah ketidak pastian dan tanpa masa depan yang jelas. Boleh jadi ukiran cinta menghias rasa, menyeruak ke dalam jiwa dan menghadirkan perasaan bahagia. Pahit getir dilalui, dan suka duka dirasa bersama.
Boleh jadi di dunia saling mengasihi, suka dan cinta. Boleh jadi saling berjanji dan sumpah setia untuk tetap hidup bersama. Tapi jika tidak dilandasi oleh syariat niscaya di akherat mendapat laknat. Berpisah dan saling menyalahkan.
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS az-Zukhruf [43]: 67).
Pasti menyesal dan berkata, “Kecelakaan besarlah bagiku. Kiranya dahulu aku tidak menjadikan si fulan menjadi kekasihku!” (QS al-Furqan [25]: 28)
Juah sebelum kisah Romeo dan Juliet, 1400 tahun lalu sudah ada kisah cinta yang serupa, yakni Laila Majnun.
Sebuah kisah yang—boleh jadi—merupakan cikal bakal dan inspirasi lahirnya karya serupa seperti Tristan and Isolde karya Gottfried von Strassburg penulis Jerman, atau Aucassin Et Nicolette dongeng Prancis.
Laila Majnun… adalah dua nama yang digabungkan jadi satu. Yakni Laila dan Majnun. Laila sang gadis pujaan hati, ialah putri Mahdi bin Sa’ad, dari keturunan Bani ‘Amir.
BACA JUGA: Cinta Beda Usia
Siapa yang dimaksud Majnun?
Ialah Qais bin Mulawwah, putra Mulawwah bin Muzâhim. Satu rumpun dengan Laila, dari keturunan Bani ‘Amir, sebuah kabilah yang paling disegani di Hijjaz. Dijuluki Majnun karena tergila-gila dan memang menjadi gila karena cinta.
Qais menjadi gila gara-gara Sa’ad, ayah Laila yang tidak merestui cinta mereka. Yang ada malah ia menikahkan Laila dengan Warrad, seorang pemuda kaya dan terhormat.
Kurus kering dan compang-campinglah penampilan Qais karena frustasi berpisah dengan kekasih pujaan hati.
Qais melantunkan syair saat berpisah dengan Laila :
Wahai sahabatku,
Kepedihanku sekarang sama dengan kepedihanku dahulu
Aku merasa kembalinya cintaku justru membunuhku
Sedangkan sebelumnya sudah cukup menyiksaku
Terkadang membuatku putus asa
Namun pria harus punya semangat
Karenanyalah aku masih hidup
Dan Laila pun bersyair :
Aduhai betapa menderita diriku
Cobaan datang padaku bertumpang tindih semenjak Qais meninggalkanku
Aku menyadari keadaanku yang tidak dapat hidup tanpa dia
Seandainya tidak ada pertolongan Allah, hidupku akan sia-sia.
Beribu-ribu tahun silam gambaran tentang cinta demikian kentara di dalam shirah peradaban umat manusia.. Yakni kisah cinta Habil dan Qabil putra Nabi Adam as.
Qabil tidak rela dengan keputusan Adam yang akan menikahkan Habil dengan si cantik jelita Iqlima, “…Ia seharusnya untukku, bukan untuk orang lain selain diriku.”
Inilah tragedi pertumpahan darah pertama karena cinta. Ya, cinta.
Sungguh, cinta telah membuat anak manusia tergila-gila. Benarlah sabda Rasulullah Saw berikut ini, “Kecintaan pada sesuatu itu membuat buta dan tuli.” (HR Tirmidzî).
Cinta menjadi belenggu yang menumpulkan kreatifitas manusia, mematikan potensi dan memenjara inspirasi. Demikianlah kawan, jika hati gersang dari keimanan, maka jiwa dan raga akan tersiksa. Cinta bisa mendatangkan bencana dan malapetaka. Sungguh mengerikan.
BACA JUGA: Perjalanan Cinta Najmuddin
Namun bila hati terpaut kepada Allah, maka cinta bisa menjadi energi luar biasa. Bisa mengubah peradaban dan melahirkan manusia-manusia super.
Lahir para negarawan kaliber dunia seperti Abu Bakar dan Umar.
Lahir para ulama kelas jenius seperti Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Lahir para perawi hadits brilian seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Lahir para penakluk raksasa dunia seperti Khalid bin Walid, Usamah bin Zaid, Imaduddin Zanki, Shalahuddin Al-Ayyubi dan Muhammad Al-Fatih.
Lahir para petualang ulung seperti Ibnu Batutah dan Laksamana Cheng Ho dari Cina.
Sesungguhnya, cinta yang benar menjadi kekuatan super yang mengubah peradaban. Mari sandarkan cinta kita pada syariat-Nya. Wallahu’alam. []