SETAN mempunyai andil yang sangat besar dalam memperparah penyakit, baik itu fisik maupun psikis. Semua itu disebabkan oleh kekuatannya yang mampu hadir dalam aliran darah, seperti yang disabdakan Nabi Muhammad ﷺ:“Sesungguhnya setan hidup dalam dalam diri anak Adam, dalam aliran darahnya.
Salah satu bentuk gangguan setan pada manusia adalah rasa marah. Kemarahan adalah sumber dari berbagai macam penyakit. Nabi ﷺ pernah mewasiatkan kepada seseorang yang dating meminta nasihat kepadanya, Beliau bersabda “Jangan marah!” Nabi mengulanginya hingga beberapa kali. Jangan marah!” (HR Bukhari).
Marah memengaruhi kondisi kesehatan, sebagai contoh adalah penyakit nyeri lambung, radang usus besar, semua itu adalah penyakit yang ditimbulkan oleh jiwa yang emosional.
BACA JUGA: Jika Istri Kasar dan Pemarah, Ini 5 Cara Mengatasinya
Bahkan pada sebagian orang, marah dapat memicu penyakit diabetes. Sebabnya adalah jiwa orang yang marah kerap menjadi gundah dan gelisah.
Marah juga dapat menyebabkan pusing, pembekuan darah di kepala, stroke, lumpuh mendadak, sakit jantung dan nyeri dada (angina pectoris). Kemarahan hanya akan memperparah semua penyakit itu.
Penyakit lumpuh juga bisa disebabkan oleh perilaku setan. Setan mencegah gerakan tubuh menjadi lumpuh, dan ini terjadi pada sebagian orang.
Biasanya penyakit-penyakit yang disebabkan oleh setan akan diiringi oleh kesedihan yang mendalam, kesempitan hati, dan rasa pusing yang berkepanjangan.
Bagaimana Nabi marah, padahal ia sendiri melarang umatnya untuk marah?
Dalam riwayat Abu Hurairah misalnya, Nabi mengatakan, “Orang yang kuat tidaklah yang kuat dalam bergulat, namun mereka yang bisa mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Malik).
Dalam riwayat Abu Said al-Khudri, Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik orang adalah yang tidak mudah marah dan cepat meridlai, sedangkan seburuk-buruk orang adalah yang cepat marah dan lambat meridlai.” (HR. Ahmad).
Jawabannya, kemarahan Nabi itu memang disebabkan oleh beberapa hal. Namun dapat dipastikan, kesemuanya bermuara pada satu sebab, yaitu sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan agama, bukan kepentingan pribadinya.
Nabi perlu marah untuk memberikan penekanan bahwa hal tertentu tak boleh dilakukan umatnya. Sebagai guru seluruh manusia dan pemberi petunjuk ke jalan yang lurus, Nabi perlu marah agar mereka menjauhi segala perbuatan yang tidak elok.
Oleh karena itu, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam marah saat mendengar laporan bahwa dalam medan peperangan, Usamah bin Zaid membunuh orang yang sudah mengatakan la Ilaha illallah (tiada Tuhan selain Allah).
Sedang Usamah membunuhnya karena menyangka orang itu melafalkan kalam tauhid hanya untuk menyelamatkan diri. Nabi menyalahkan Usamah dan berkali-kali mengatakan, “Apakah engkau membunuhnya setelah dia mengatakan la Ilaha illallah?” (HR. al-Bukhari)
Raut wajah Nabi berubah karena marah, ketika sahabat merayu agar ia tak memotong tangan seorang wanita yang mencuri. Alasan mereka, ia adalah wanita terpandang dari klan Bani Makhzum, salah satu suku besar Quraisy. Nabi tegaskan, “Apakah layak aku memberikan pertolongan terhadap tindakan yang melanggar aturan Allah?” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
BACA JUGA: 3 Obat Penawar Marah
Di lain waktu, Nabi melihat seorang lelaki memakai cincin emas. Melihat pelanggaran agama itu, Rasulullah marah. Ia lantas mencabut cincin lelaki itu dan melemparkannya ke tanah. “Salah seorang di antara kalian dengan sengaja menceburkan diri ke jilatan api dengan menggunakannya (cincin emas, penj) di tangannya,” sabda Nabi (HR. Muslim)
Pada kejadian lain, di pasar Madinah, terjadi perselisihan antara seorang sahabat Nabi dengan pedagang Yahudi. Perselisihan itu sampai membuat si Yahudi bersumpah, “Demi Dzat yang telah memilih Musa di antara manusia lainnya.” Ungkapan sumpah ini membuat sahabat Nabi Muhammad itu marah. Ia menampar si Yahudi. “Kamu mengatakan ‘Demi Dzat yang telah memilih Musa di antara manusia lainnya’, sedang ada Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi Wassallam di tengah-tengah kita?” ujarnya. []
Sumber: Dahsyatnya Terapi Al-Qur’an. Karya: Hishshah binti Rasyid bin Abdullah al-Mazid. Penerbit: Nakhlah pustaka. | Hidayatullah