HUDZAIFAH bin Yaman adalah seorang sahabat yang secara khusus dididik Nabi SAW untuk mengenal kemunafikan. Semua itu berawal karena kebiasaannya yang berbeda dalam mengajukan pertanyaan kepada Nabi SAW. Umumnya para sahabat bertanya tentang berbagai macam amal kebaikan dan pahala-pahala yang dijanjikan, dan mereka berlomba-lomba untuk melakukannya. Sementara Hudzaifah cenderung bertanya tentang berbagai macam amal keburukan/kejahatan dan bahaya-bahayanya, karena ia ingin menjauhinya sejauh-jauhnya.
Suatu ketika ia menghadap kepada Nabi SAW dan bertanya, “Wahai Rasulullah, dahulu kita berada dalamkebodohan (jahiliah) dan diliputi kejahatan, kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini bagi kita. Apakah setelah kebaikan ini akan ada kejahatan lagi?”
“Ada…!” Kata Nabi SAW.
“Apakah setelah kejahatan itu, masih adakah kebaikan lagi, ya Rasulullah?”
“Memang ada, tetapi keadaannya kabur dan penuh bahaya!!” Kata beliau lagi.
“Apa bahaya itu, ya Nabiyallah?”
“Yakni, segolongan ummat mengikuti sunnah yang bukan sunnahku, mengikuti petunjuk yang bukan petunjukku. Kenalilah mereka ini, ya Hudzaifah, dan cegahlah mereka semampumu!”
“Setelah kebaikan tersebut, masih adakah kejahatan lagi, ya Rasulullah?”
“Ada, yakni para penyeru di pintu neraka (yakni, yang mengajak kepada maksiat dan meninggalkan ibadah) barang siapa menyambut seruannya, mereka akan dilemparkan ke dalam neraka!”
“Apa yang harus saya lakukan jika menemui masa seperti itu, ya Nabiyallah?”
“Selalulah mengikuti jamaah kaum muslimin dan pemimpin mereka!”
“Bagaimana jika mereka tidak memiliki jamaah dan tidak pula pemimpin (yang sesuai teladanmu), ya Nabiyallah?”
“Hendaklah engkau tinggalkan semua golongan itu, walaupun engkau harus tinggal sendirian di rumpun kayu, sampai engkau menemui ajal dalam keadaan seperti itu.”
Keadaan dan kebiasaan Ibnu Yaman dalam meneliti dan mengamati kejahatan dan daya upayanya untuk menghindarinya, ternyata mendapat dukungan Nabi SAW, dan beliau terus-menerus membimbingnya. Beliau mengajarinya bagaimana mengenali kemunafikan, dan juga menunjukkan orang-orang munafik yang ada saat itu. Namun beliau berpesan agar semua itu dirahasiakannya, sekedar untuk bahan bagi dirinya agar ia bisa menghindar dan tidak terjatuh dalam lingkaran pergaulan mereka.
Salah satu sahabat yang selalu memanfaatkan keistimewaannya ini adalah Umar bin Khaththab. Sepeninggal Nabi SAW, jika ada orang muslim yang meninggal, Umar selalu mengamati sikap Hudzaifah. Jika ia tidak mendatangi atau tidak menyalatkannya, maka Umar akan melakukan hal yang sama. Tetapi Umar-pun melakukan hal itu untuk dirinya sendiri, tidak mengekspose secara umum atau mengajak orang lain melakukan hal yang sama.
Ketika menjadi khalifah, Umar pernah mendatangi Hudzaifah dan bertanya, “Wahai Hudzaifah, apakah engkau melihat adanya kemunafikan dalam diriku.”
“Tidak ada, wahai Amirul Mukminin!”
“Janganlah engkau sungkan mengatakannya,” kata Umar.
“Sungguh tidak ada, hanya saja engkau masih menyimpan dua stel pakaian. Satu engkau pergunakan pada musim dingin, dan satunya lagi untuk musim panas!”
Mendengar penjelasan tersebut, Umar segera menyedekahkan satu stel pakaian yang masih disimpannya, walau sebenarnya Hudzaifah tidak menyebut hal itu sebagai tanda adanya kemunafikan dalam diri Umar.
PENGETAHUAN dan pemahaman tentang keburukan dan upaya kerasnya untuk menghindari, menyebabkan lidah dan kata-katanya tanpa disadarinya menjadi tajam, pedas dan kadang menyakitkan orang lain. Karena itu ia datang kepada Nabi SAW, ia berkata,
“Wahai Rasulullah, lidahku agak tajam kepada keluargaku, saya khawatir hal itu akan menjadi sebab sayamasuk neraka!”
Sebenarnya sah-sah saja hal itu dilakukannya, asal dalam rangka ‘amar ma’ruf wan nahi ‘anil munkar. Bahkan Nabi SAWpernah menyatakan, “Jihad terbesar adalah kata-kata (nasehat) yang benar, terhadap penguasa yang dholim.” Dan juga sabda beliau,
“Katakanlah yang benar walaupun pahit didengar!”
Namun bagi Hudzaifah, yang terbiasa meneliti lahiriah dan batiniahnya suatu masalah, hal itu tetap menjadi ganjalan baginya. Rasulullah SAW tersenyum dan menanggapinya cukup sederhana, beliau bersabda, “Mengapa engkau tidak beristighfar? Sungguh saya beristighfar kepada Allah, setiap harinya seratus kali!”
Seperti halnya sahabat-sahabat Nabi SAW lainnya, Hudzaifah hampir tidak pernah tertinggal dari pertempuran bersama Rasulullah SAW. Bahkan dalam Perang Uhud, ayahnya, Yaman bin Jabir (sebagian riwayat menyebutkan, namanya adalah Husail bin Yabir, ada juga riwayat, namanyaHasan bin Jarwin. Sedang Yaman adalah penisbahan kepadatempat asalnya) terbunuh oleh pasukan muslimin karena suatu kesalahan.
Pada perang tersebut, Yaman bin Jabir dan Tsabit bin Waqsy bin Zaura sebenarnya tinggal di Madinah karena memang telah lanjut usia. Tetapi kemudian mereka menyusul ke Uhud karena keinginan dan semangat berjihad bersama Nabi SAW tidak bisa ditahan lagi. Mereka tiba di Uhud ketika perang sedang berkecamuk, mereka tidak cukup dikenali oleh pasukan muslim, dan dianggap anggota pasukan musyrik sehingga langsung diserang. Ketika pedang hampir terhunjam pada tubuh Yaman bin Jabir,
Hudzaifah melihatnya dan ia berseru, “Ayahku..ayahku…jangan dibunuh, ia ayahku!”
Tetapi terlambat, qadha Allah telah menentukan kepastiannya. Dan seketika suasana berubah duka dan sunyi senyap padahal pertempuran masih terus berlangsung. Hudzaifah mendatangi sekelompok sahabat yang membunuh ayahnya dengan sikap kasih dan pandangan penuh pemaafan, dan berkata, “Semoga Allah mengampuni tuan-tuan, sesungguhnya Dia adalah sebaik-baiknya Penyayang (ar Rahim).”
Setelah itu, Hudzaifah melanjutkan penyerangan ke tempat musuh dengan pedang terhunus. Usai peperangan, Nabi SAW menyuruh pembunuh Yaman bin Jabir untuk membayarkan diyat kepada Hudzaifah, tetapi Hudzaifah menolaknya dan memintanya untuk menyerahkan diyat tersebut kepada orang-orang fakir miskin yang membutuhkannya, bahkan ia menambahinya dengan hartanya sendiri.
Perang Ahzab atau perang Khandaq lebih merupakan perang urat syaraf (Psy War), karena tidak pernah ada bentrokan pasukan secara langsung dan besar-besaran, kecuali hanya bentrokan kecil dari sekelompok pasukan Quraisy yang nekad menyeberangi parit dan dengan mudah dihalau oleh pasukan muslim. Pasukan sekutu dari kaum musyrik Quraisy dan kabilah-kabilah Arab lainnya mengepung Madinah hampir satu bulan, sementara kaum yahudi Bani Quraizhah yang sebenarnya terikat perjanjian damai dan kerjasama dengan kaum muslimin mengancam dari dalam.
Suatu malam, hampir sebulan pengepungan Madinah, saat itu sangat gelap gulita, angin begitu kencang, suaranya menderu-deru seolah akan mencabut gunung-gunung yang tegak di padang pasir. Begitu gelap dan mencekamnya, sehingga jari sendiripun tidak kelihatan. Orang-orang munafik satu persatu minta ijin kepada Nabi SAW untuk pulang ke rumahnya, sebagian lagi pergi begitu saja tanpa pamit kepada beliau. Mereka berkata, “Sesungguhnya rumah-rumah kami dalam keadaan terbuka, dan tidak ada lelaki yang menjaganya.”
Setelah mereka semua pergi, Nabi SAW berjalan berkeliling di antara sahabat-sahabat yang masih tinggal. Tiba di hadapan Hudzaifah, beliau bertanya, “Siapa ini?”
“Saya, ya Rasulullah, Hudzaifah!”
Saat itu ia sedang duduk sambil memeluk lutut untuk menghangatkan tubuhnya. Ia tidak memiliki perisai dan juga selimut kecuali hanya satu lembar pakaian kulit kambing milik istrinya, yang panjangnya tidak sampai lutut.
“Hudzaifah?” Kata Nabi SAW, seakan memastikan. Suasana yang sangat gelap memang tidak memungkinkan beliau mengenali siapa yang di hadapan beliau.
Hudzaifah yang sebenarnya enggan untuk berdiri, tetapi akhirnya ia berdiri juga di hadapan Nabi SAW dan berkata, “Benar, saya, ya Rasulullah!” []
Referensi: 101 Sahabat Nabi/Hepi Andi Bustomi/Pustaka Al-Kautsar