SALAH satu yang terus menjadi perbincangan dalam hubungan suami istri adalah azl (atau mengeluarkan air mani di luar kemaluan istri). Menjadi perbincangan terus-menerus karena ada beberapa pendapat yang berbeda dari para ulama dengan fatwa-fatwanya. Apa sebenarnya hukum azl dalam Islam?
Hukum Azl dalam Islam: Pengertian azl
Pengertian azl sendiri secara bahasa menurut Ibnu Mandzur adalah A’zlu Asy-Syai’u artinya, “Menyingkirkan sesuatu kesamping, maka ia menjadi tersingkir.” Atau Az’lu Anil Mar’ah berarti “Ia tidak menginginkan anak darinya.”
Dalam hadits disebutkan, bahwa seorang dari Anshor bertanya kepada tentang Azl, yaitu: “Menyingkirkan air mani dari farji seorang wanita (istri), agar ia tidak hamil.” Al-Azhary berkata: “Azl adalah seseorang menyingkirkan air maninya dari farji budaknya, agar ia tidak hamil.”
BACA JUGA: Bolehkah Suami Melakukan Jima atau Berhubungan Intim dengan Istri pada Masa Iddah?
Adapun secara Syar’i, azl menurut Ibnu Qudamah adalah: “seorang laki-laki mencabut kemaluannya dari farji istrinya, ketika telah dekat keluarnya mani (ejakulasi), kemudian ia mengeluarkan maninya di luar farji istrinya.”
Imam An-Nawawi berkata : “Azl adalah seorang laki-laki meyetubuhi istrinya, dan apabila air mani (telah dekat) untuk keluar (ejakulasi), maka ia mencabut kemaluannya dari farji istrinya, dan menumpahkan maninya di luar rahim.”
Hukum Azl dalam Islam: Urusan Tadqir
Imam An-Nawawi menyebutkan sebuah riwayat yang bersumber dari Abu Said Al-Khudry, ia berkata : “Azl disebut-sebut di sisi Rosulullah maka belia ubersabda : “Apa yang terjadi dengan kalian?” Maka para Shahabat menjawab: Ada seorang laki-laki memiliki istri yang sedang menyusui, lalu ia menyetubuhinya, dan ia tidak ingin istrinya hamil dari persetubuhan tersebut, dan seorang laki-laki yang memiliki budak wanita, lalu ia menyetubuhinya, dan ia tidak menginginkan budak wanitanya hamil dari persetubuhan tersebut, maka Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak apa-apa kalian untuk melakukannya, karena ia adalah merupakan urusan taqdir”.
Lalu Imam An-Nawawi berkata: “Dalam hadits ini menunjukkan bahwa sebab dilakukannya Azl itu ada dua, yaitu :
1. Tidak menginginkan lahirnya seorang anak dari seoarang budak wanita, karena ingin menjaga harga diri, maupun karena khawatir (tidak lakunya) budak wanita tersebut bila dijual, apa bila telah menjadi seorang ibu.
2. Tidak menginginkan lahirnya seorang anak dari istri yang sedang hamil, karena membahayakan anak yang disusui.
Maka jika maksud melakukan Azl tersebut adalah karena takut lahirnya seorang anak, maka hal itu tidak ada manfaatnya, karena bila Allah telah mentaqdirkan penciptaan anak tersebut, maka sekali-kali Azl tersebut tidak akan mampu menghalanginya. Bisa jadi air mani tersebut telah masuk tanpa disadari oleh orang yang melakukan Azl tersebut, lalu ia menjadi segumpal darah, kemudian ia menjadi seorang anak, dan tidak ada yang bisa menolak apa-apa yang telah ditaqdirkan oleh Allah.
Ibnu Abdill Barr berkata: “Tidak ada khilaf dikalangan ulama bahwasanya tidaklah Azl dilakukan terhadap istri yang merdeka melainkan seizin darinya, karena jima’ adalah haknya dan baginya apa yang dihasilkan dari jima’ tersebut”. Namun dikalangan Syafi’iyyah terjadi perbadaan yang sangan masyhur. Al-Ghozali berkata: “Dibolehkannya Azl”, dan yang lainnya berkata : “Jika istri tidak menginginkannya, maka hal itu (Azl) tidak boleh dilakukan, adapun bila ia ridho, maka ada dua pendapat, dan pendapat yang rojih adalah yang membolehkannya.”
Hukum Azl dalam Islam: Kesimpulan
Imam An-Nawawi berkata: “Melakukan Azl diluar farj ketika bersetubuh adalah makruh, berdasarkan hadits yang bersumber dari Judzamah binti Wahb : “itu adalah pembunuhan tersembunyi.”
Adapun melakukan Azl terhadap budak wanita tidaklah diharamkan, dan dibolehkan tanfa seizin darinya, karena jima’ adalah hak baginya (bagi seorang tuan yang memiliki budak tersebut) namun bukan hak budak wanita tersebut, dan karena dalam Azl tersebut (sarana) yang menyebabkan ia tetap menjadi budak, sehingga ia tidak menjadi merdeka.
BACA JUGA: 2 Waktu yang Baik untuk Jima bagi Suami Istri
Adapun terhadap istri (dari budak) yang tekah merdeka, maka tidak boleh melakukan Azl terhadapnya, kecuali seizin darinya, adapun bila ia tidak mengizinkannya maka ada dua pendapat:
1. Tidak haram, karena hak istri adalah jima’ bukan inzal (yaitu masuknya air mani ke dalam farji istri).
2. Haram, karena hal itu memutuskan keturunan.
Ibnu Qudamah berkata: “Adapun ‘Azl maka hukumnya adalah makruh, maksudnya yaitu seseorang mencabut kemaluannya dari farji istrinya ketika telah dekat keluar air mani, lalu ia mengeluarkannya di luar farji istrinya. Wallahu A’lam Bishshowab. []