Oleh: Ir.Farida Ummu Alifia
Pemerhati Pendidikan dan politik Islam, tinggal di Tangerang Selatan
MASIH teringat dengan goresan indah dari Ustd. Felix Siauw: “Kartu Sakti Di Hari Kiamat” dimana jika diletakkanlah kartu-kartu dosa di salah satu daun timbangan dan kartu ampuh ‘laa ilaha illallah’ di daun timbangan lainnya, Ternyata daun timbangan penuh dosa tersebut terkalahkan dengan beratnya kartu ampuh ‘laa ilaha illalah’ tadi. (HR. Ibnu Majah, Tirmidzi dan Ahmad).
Bersandar kepada keimanan yang kokoh dari kalimat tauhid ini, betapa islam sangat meninggikannya dan mengimanninya karena kalimat ini sebagai pondasi iman yang akan menentukan arah dan langkahnya hingga ke akherat kelak. Apabila pondasi rapuh maka bangunan diatasnyapun akan mudah runtuh. Seperti gambaran kondisi kehidupan umat islam di akhir zaman ini.
Sayangnya, dalam kehidupan sekulerisme yang telah meracuni kehidupan umat islam, hampir diseluruh belahan dunia, tidak menjadikan kalimat tauhid ini lebih penting, baik makna dan hekekatnya maupun tulisannya, tidak lebih berarti dari harta, dunia dan seisinya. Sehingga begitu mudahnya melecehkan, menghinakan agama dan umat islam.
BACA JUGA: Milenials, Jadilah Provokator Kebaikan
Hal ini tercermin dari diputuskannya hukuman bagi pelaku pembakaran bendera tauhid dengan hukuman hanya 10 hari saja dan denda 2000 rupiah oleh putusan Hakim Pengadilan Negeri Garut. Terdakwa pelaku pembakaran bendera berlafadz tauhid hanya melanggar pasal 174 tentang Ketertiban, telah melakukan gangguan Ketertiban Umum dalam perayaan Hari Santri Nasional (HSN) di Alun-alun Limbangan, Kabupaten Garut, Jawa Barat pada Tanggal 22 Oktober 2018 lalu.
Hukuman ini jauh lebih ringan jika dibandingkan seorang nenek Minah yang dihukum karena mencuri 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) diganjar 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan, walaupun sudah mengaku jujur dan meminta maaf.
Rasa keadilan telah menjadi barang langka di negeri ini, karena banyaknya kasus peradilan yang carut marut. Lembaga peradilan yang tidak menghasilkan keadilan, layaknya pisau tumpul keatas dan tajam kebawah. Hanya berpihak kepada penguasa dan pemilik uang. Jadilah praktek dan pelaksanaan hukum di negeri ini mayoritas dijalankan seperti layaknya hukum rimba, siapa kuat maka dialah pemenangnya. Melalui praktek suap- meyuap, hadiah, kolusi dan nepotisme menjadi permainan yang akrab ditengah kehidupan masyarakat saat ini. Seolah tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh dan sudah tidak ada lagi hukum yang melindungi agama dan rakyat kecil.
Di samping itu hukum peradilan yang digunakan memang bersumber dari penjajah Belanda yang aktualnya hanya hukum buatan manusia, tentu saja kualitas hukum ini sangat terbatas pada akal manusia. Padahal manusia tidak bisa lepas dari pengaruh lingkungan dan kepentingan. Jadilah hukum buatan manusia berubah-ubah dan sangat dipengaruhi oleh pihak-pihak yang memiliki ases dan kekuatan untuk mempengaruhi proses legilasi hukum. Hasilnya tentu saja produk hukum akan lebih banyak mengakomodir kepentingan mereka.. Alih-alih mampu menyelesaikan permasalahan rakyat, yang ada masalah baru dan terulang terus menerus berulang seolah tiada ujungnya.
Lalu bagaimana rasa keadilan di tengah masyarakat bisa terwujud? Tentulah kita kembali kepada yang membuat hukum yaitu Allah SWT yang menyatakan tentang kesempurnaan islam seperti dalam TSQ.Al-maidah (5) :3:
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan tekah Ku-ridhoi islam islam itu jadi agama bagimu.”
Dalil ini dapat dinayatakan sebagai sistem hukum dan peradilan dalam islam, satu kesatuan sistem islam yang terpancar dari aqidah islam, bahwa tidak ada pembuat hukum yang wajib ditaati kecuali Allah.
Karena hukum Islam bersumber dari wahyu yaitu Alquran dan As Sunnah yang bersifat tetap dan tidak berubah, akan menghalangi intervensi manusia dan kepentingannya terhadap hukum. Seharusnya peran manusia bukan mendatangkan dalil hukum, tetapi hanya menggali hukum dari nash-nash syariat. Dengan metode istimbath yang sudah baku.
Penerimaan dan penerapan hukum- hukum Allah merupakan bentuk ketakwaan kepada-Nya, karena dalam proses penggalian dan penerapan hukum, yang dominan adalah motivasi spiritual. Aspek spiritual ini akan menjadi kendali dan menuntun manusia selalu dijalan kebenaran.
Sistem hukum dan peradilan dalam islam memiliki kekhasan yang tidak sama dengan sistem hukum sekuler. Adanya sistem sanksi (uqubat) adalah suatu tindakan manusia yang meninggalkan kewajiban dan mengerjakan perbuatan yang haram, serta menentang perintah dan melanggar larangan yang pasti dan telah ditetapkan oleh hukum-hukum syara dan negara.
Uqubat dapat berupa hudud, jinayat,ta’zir dan mukhalafat.
hudud adalah sanksi-sanksi atas kemaksiyatan yang telah ditetapkan kadarnya (dan menjadi) hak Allah, seperti halnya dalam TSQ.al-Baqarah (2); 187 :
تَقْرَبُوهَافَلَ اللَّهِحُدُودُتِلْكَ
“Itulah larangan Allah (hudud), maka janganlah kamu mendekatinya”
Dalam hudud tidak ada pemaafan, baik dari hakim maupun si pendakwa. Karena hudud adalah hak Allah sehingga tidak ada satupun yang berhak menggugurkannya pada kondisi apapun.
Jinayat adalah sanksi yang dijatuhkan atas penganiayaan atau penyerangan terhadap badan atau anggota tubuh, yang mewajibkannya qishash (balasan seimbang) atau diyat (denda). Selama berkaitan dengan hak manusia, maka bagi pemilik hak (shahibul haq) boleh memberikan ampunan, dan menggugurkan haknya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam TQS.al-Baqarah (2): 178
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأُنْثَى بِالأُنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hambah dengan hambah, dan wanita dengan wanita”
Selanjutnya firman-Nya:
“ Dan Barang siapa mendapatkan suatu pemaafan dari saudaranya”
Ayat ini menunjukkan bolehnya shahibul haq untuk memberikan pemaafan dari haknya dalam jinayat.
Hudud dan jinayat ini adalah sanksi-sanksinya telah ditetapkan oleh syari secara spesifik dan mengikat, tidak boleh diganti ditambah maupun dikurangi. Dengan demikian tidak diterima pemaafan dan pengguguran dari pihak hakim.
Sedangkan Ta’zir adalah bentuk sanksinya tidak mengikat, daan dapat menerima pemaafan dan pengguguran sanksi, serta boleh mempertimbangkan aspek manusaianya, maksudnya dalam perkara ta;zir apakah pelakunya pernah melakukan pelanggaran sebelumnya, atau orangnya memiliki prilaku baik dan lain-lain.
Sebagimana riwayat dari Aisyah ra bahwa Nabi saw bersabda :
“Ringankanlah (sanksi) bagi orang yang memiliki perangai terpuji atas pelanggaran mereka, kecuali hudud.”
Adapun mukhalafat adalah uqubat yang dijatuhkan oleh penguasa kepada orang yang menentang perintah penguasa yang berwenang untuk memberi perintah. Sebab penentangan terhadap perintah Imam termasuk salah satu kemaksyiatan dari sekian banyak kemaksyiatan, Allah SWT telah memerintahkan untuk mentaati penguasa (khalifah) dengan sangat jelas sebagaimana dalam TQS.an Nisa (4): 59
وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْوَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ
“Taatilah Allah dan Taatilah Rosul-Nya dan ulil amri di antara kamu”
Sementara makna ketaatan kepada ulil amri merujuk daria berbagai hadits, seperti dari Husai al –Ahmasiyyah, Rasulullah saw, bersabda :
“Dengarkanlah dan taatilah walau kalian dipimpin oleh budak Habsyi, selama ia menegakkan kitabullah azza wa jalla.”
Dengan menerapkan sistem hukum dan peradilan islam, akan membuat jera pelaku kejahatan karena akan menangung hukuman yang setimpal. Inilah sifat dari sanksi hukum islam, yang bersifat Zawajir (pencegahan), karena dapat mencegah manusia dari mudahnya melakukan tindak kejahatan. Sedangkan sifat jawabir ( penebus dosa di akherat), apabila sanksi hukum telah dilaksanakan oleh negara, maka pelaku kejahatan sudah terbayarkan kesalahannya dan di akherat tidak mendapatkan pembalsan yang lebih berat bahwa kan terbebas dari siksa neraka.
Sebagaimana kisah pada zaman Nabi Muhammad S.A.W, tentang wanita yang telah menikah tapi berzina dengan seorang pria. Wanita itu menghampiri Rasulullah S.A.W. Dia menghampiri Rasulullah S.A.W dan berkata,
Ya Rasulullah, aku telah berzina padahal aku sudah menikah. Dan aku hamil dari perzinaan ini ya Rasullah. Sucikan aku dengan hukuman mati sebagaimana perintah Allah SWT dalam Al-Quran.
BACA JUGA: Wafat Tinggalkan Utang, Ini Dia Hukumnya
Wanita ini tahu bahwa hukuman bagi seseorang, baik pria atau wanita, yang berzina sementara mereka menikah, tidak lain adalah ditimpuki batu sampai mati, sampai meninggal. Dia mengetahui ini, jadi dia menghampiri Rasulullah S.A.W
Lalu Rasulullah S.A.W berkata padanya,
Kembalilah sampai bayimu tidak perlu lagi air susumu, sampai dia tidak perlu lagi, siapa yang akan menjaganya setelah kau tiada?
Inilah kasih sayang Islam terhadap anak-anak. Wanita itu kembali setelah dua tahun penuh menyusui anaknya. Dia kembali pada Rasulullah S.A.W dan berkata,
Ya Rasulullah, aku wanita yang menghampirimu, yang hamil karena berzina.
Dan wanita itu datang bersama anaknya yang sedang menggenggam roti untuk membuktikan pada Rasulullah S.A.W bahwa anak itu tidak lagi membutuhkan air susunya. Kenapa? Agar Rasulullah S.A.W tidak lagi menyuruhnya kembali pulang. Dan setelah beliau menyuruh sekumpulan sahabat untuk mengurus anak itu, mereka membawa wanita itu.
Mereka mengikatkan pakaian mereka pada wanita itu, kemudian wanita itu dirajam, sampai seseorang menimpuknya sangat keras dengan batu, sehingga membuat darahnya mengalir kepada pakaiannya, dan terpecik ke pakaiannya. Yang menimpuknya sangat senang, seakan-akan dia telah melakukan sesuatu yang baik. Rasulullah S.A.W melihat hal ini, dan beliau ingin mengingatkan orang ini dan yang lainnya. Jadi beliau berdiri dengan marah, dan berseru di hadapan mereka.
Wallahi, taubat wanita ini sangat tulus, sebuah taubat yang sangat bernilai. Jika kau membandingkan taubat seluruh Madinah, maka taubat wanita ini akan mengalahkan mereka semua! Jika mereka semua minum alkohol, lalu berzina, maka taubat wanita ini lebih berat daripada mereka!
Lalu Rasulullah S.A.W melakukan shalat jenazah, dan minta Allah mengampuninya. Dan beliau bersabda, Dosa wanita itu hilang seperti hari dia terlahir. Wallahu a’lam bishshawab. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.