HUKUM fiqih mengapa berbeda-beda antara satu golongan dan golongan lainnya?
Setiap seorang muslim tentu mempunyai keinginan untuk beramal sesuai tuntunan islam yang benar. Namun tidak jarang terjadi kebingungan dalam mencari tahu cara beramal yang benar.
Ketika berhadapan dengan berbagai masalah kehidupan, tata cara sholat, jual beli, nikah, talak, sewa menyewa dan lain sebagainya ternyata mendapatkan pendapat yang beragam status hukumnya. Kata ulama A boleh dan ulama yang lain haram atau sebaliknya. Padahal mereka semua juga merujuk kepada AlQuran dan hadits.
Kenapa Hukum Fiqih bisa berbeda?
Beberapa sebabnya adalah diantaranya sebagai berikut:
1. Hukum Fiqih bisa berbeda: Perbedaan Dalam Memaknai Lafadz nash(dalil)
Al-Qur’an turun dalam bahasa Arab.
Salah satu hikmahnya, karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling kokoh dan perbendaharaan katanya paling luas. Misalnya, untuk sebuah kata ‘cerdas’ saja ada 4000 sinonimnya, untuk ‘singa’ ada 500 kata yang bisa dipakai, apalagi untuk ungkapan-ungkapan sehari-hari.
Kita ambil contoh misalnya dalam pemaknaan “al-Quru” dalam lafadz ayat berikut ini, “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru´ Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat.” (QS. Al Baqarah :228)
BACA JUGA: Bagaimana Fiqih Islam Memandang ‘Urf?
Quru’ bisa berarti suci bisa juga berarti haidh. Bahkan sebelum ayat tersebut diturunkan, kata Quru’ telah dikenal oleh bangsa Arab bahwa ia memiliki dua arti; masa suci dan masa kotor.
Bukankah Allah Subhanahu wata’ala Maha Tahu perbedaan ini telah terjadi ? Namun Allah tidak mengatakan dengan jelas apa yang dimaksudkan dengan kata-kata Quru’. kalau Allah menghendaki menghilangkan perbedaan pendapat tentu saja Allah ta’ala dapat memilih kata yang pasti saja, apakah suci atau haid.
Lihatlah, sepertinya Allah Subhanahu wata’ala sengaja memilih kata Quru’ sehingga kita bisa menggunakan akal kita untuk memahaminya. Ini menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wata’ala dengan hikmah-Nya memang menghendaki adanya perbedaan pendapat di kalangan para mujtahid dalam masalah ini.
Akibat perbedaan lafaz “quru” ini, sebagian sahabat (Ibnu Mas’ud dan Umar) memandang bahwa manakala perempuan itu sudah mandi dari haidnya yg ketiga, maka baru selesai iddahnya. Zaid bin Tsabit, sahabat nabi yg lain, memandang bahwa dengan datangnya masa haid yang ketiga perempuan itu selesai haidnya (meskipun belum mandi). Lihatlah, bahkan para sahabat Nabi pun berbeda pendapat dalam hal ini.
Dan masih banyak contoh yang lain.
2. Hukum Fiqih bisa berbeda: Perbedaan Riwayat
Adakalanya hadits hanya sampai kepada satu orang (red-mujtahid) dan tidak sampai pada yang lain. Hadits itu adalah ucapan dan redaksi Rasulullah dalam mengarahkan amalan manusia yang sesuai dengan tuntutan Allah. dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan secara rinci tentang praktek ibadah, hukum dan sebagainya.
Sholat, puasa, zakat, haji dan amalan/ibadah lainnya hanya dijelaskan secara global dalam alQuran. Sehingga dalam haditslah disebutkan rinciannya.
Rasulullah adakalanya bersama dengan seorang sahabat suatu waktu dan tidak bersama dengan sahabat yang lain pada waktu itu. Sementara ada beberapa hadits yang langsung didengar oleh seorang sahabat dan tidak diketahui oleh yang lain.
Atau adakalanya Rasulullah melakukan sesuatu amalan namun dilain kesempatan beliau tidak melakukan. Atau adakala Rasulullah selalu rutin melakukan sebuah amalan.
Sehingga hal inilah yang bisa menimbulkan perbedaan pendapat dari kalangan sahabat dalam memahami dan untuk mengetahui status hukumnya. Karena tidak semua hukum yang dijelaskan secara tegas wajib, sunnah, mubah, makruh dan haramnya.
Contoh ketika Rasulullah sholat tarawih di masjid, suatu saat rasulullah sengaja tidak datang ke masjid karena KHAWATIR sahabat menganggap WAJIB sholat tarawih berjamaah dimasjid. Karena hampir tiap malam beliau melakukannya.
Jadi meskipun hadits itu langsung disampaikan oleh Rasulullah kepada sahabat namun bisa bikin akan menimbulkan perbedaan dalam memahaminya. Kemampuan dalam menggali hukum inilah yang disebut ijtihad. Mujtahid adalah sebutan untuk orang yang berijtihad.
BACA JUGA: Keistimewaan Tafaqquh Mengikuti Salah Satu Madzhab Fiqih
Nah bagaimana dengan kita masyarakat awam?
Dengan berlalu waktu, kemampuan linguistik(bahasa) untuk memahami sumber asli itu makin berkurang, bagi anak-cucu generasi sahabat itu. Sehingga mereka tidak lagi mampu memahami teks-teks Islam [Qur’an-Sunnah] secara langsung.
Oleh karena itulah mereka merasa membutuhkan sebuah perangkat. Dan perangkat itu namanya Ilmu Fiqh, secara ringkas artinya ilmu tentang detail hukum-hukum ibadah, apakah itu wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram.
Tapi tidak semua mampu merumuskan ilmu fiqh untuk seluruh Ibadah dalam Islam. Karena ia membutuhkan kepakaran dalam ilmu bahasa arab, logika, sejarah, hadist, dll. Maka tidak banyak yang mampu merumuskan ilmu itu.
Yang paling mahsyur dalam menuliskan ilmu fiqh secara kokoh ada empat, yaitu Imam Malik, imam Hanafi, imam Syafi’i, dan Imam Hanbali.
Keempat imam inilah yang hingga saat ini banyak diikuti madzhabnya. Bukan karena hanya mereka yang mempunyai sepaket ilmu fiqh, tapi karena merekalah yang mempunyai metodologi dan pembahasan fiqh paling komprehensif.
Sejak adanya keempat imam madzhab itu di abad ke 2 hijriyyah, umat Islam awam lebih mudah mempelajari tata cara ibadah. Karena mereka hanya tinggal mengikuti arahan-arahan yang dijelaskan Sang Imam. Dan arahan-arahan itu jelas berdalilkan hadist-hadist Rasulullah dan bertanggungjawab. Berbeda dengan para pembelajar khusus, yang mempunyai kemampuan penelaahan. Mereka tidak terlalu butuh untuk mengikuti arahan-arahan keempat imam itu, karena mereka mempunyai perangkat untuk mengkaji sendiri.
Lantas bagaimana bisa imam mazhab ini pun berbeda pendapat?
Sederhananya, lagi lagi karena tergantung sumber riwayat yang mereka peroleh dari generasi sebelumnya yang pun beragam. Beragam memahami dan beragam metodologinya (disamping banyak penyebab lainnya yang tidak bisa dijelaskan disini)
3. Hukum Fiqih bisa berbeda: Pertentangan Dasar Hukum berikut Tarjihnya
Terkadang ayat dalam Al-Qur’an ada yang dzahirnya saling bertentangan isinya mengenai satu masalah. Atau bisa juga pertentangan antara isi ayat dan isi hadits, atau hadits dengan hadits lainnya.
BACA JUGA: Teka Teki Fiqih 10
Di sinilah kemudian para ulama berbeda pendapat dalam menyimpulkan hukum, pendekatan metode mana yang digunakan. apakah takwil, ta’lil, kompromi antara dalil yang bertentangan (al-jam’u), penyesuaian antara dalil (at-taufiq) misalnya dengan cara takhsis, dan penghapusan (naskh) salah satu dalil yang bertentangan.
Oleh karena itu, apabila kita menemukan ada perbedaan pendapat dalam hukum fiqh, maka itu sudah lumrah dan biasa. Karena pendapat sahabat yang hidup pada zaman Rasulullah pun beragam.
Yang tidak boleh berbeda adalah masalah pokok. Yakni terkait akidah/ tauhid/ iman.
Luar biasa kan belajar ISLAM. Biar jelas yuk terus mengkaji Islam. []