AKHIR-akhir ini bermunculan aplikasi dari perusahan jasa transportasi online yang menyediakan berbagai layanan jasa, diantaranya go food. Go food adalah layanan jasa pembelian dan antar makanan kepada pemesan/pelanggan. Jika digambarkan, kurang lebih skemanya demikian:
A (pembeli) menginginkan makanan berupa ayam bakar, misalnya. Maka A membuka aplikasi yang disediakan oleh sebuah perusahaan jasa transportasi online (dalam hal ini kita ambil contoh aplikasi GO FOOD) untuk memasan makanan yang diinginkan melalui B (perusahaan jasa). B menghubungi driver terdekat dari posisi C (Resto) untuk membelikan pesanan A. Setelah membeli makanan yang dipesan A dengan pembayaran yang ditalangi dulu, maka driver segera mengantarkan makanan tersebut ke A. Setelah diterima, A membayar nominal tertentu sesuai yang tercantum di dalam nota dengan tunai atau dengan saldo top up yang dia miliki di perusahan jasa tersebut.
BACA JUGA: Sumur Yahudi yang Dibeli Utsman bin Affan
Pada saat mendapat pesanan, driver tidak menemui pelanggan untuk meminta uang. Akan tetapi langsung pergi ke tempat penjualan makanan yang dipesan. Lalu driver menalangi dulu pembayaran tersebut. Hal ini dilakukan agar lebih praktis dan menghemat waktu. Pada saat pesanan sampai, maka pembeli melakukan dua transaksi:
(1). Membayar makanan atau item yang dipesan sesuai dengan nilai yang tertera di nota/struk. Dalam hal ini, driver tidak menaikan harga sama sekali.
(2). Membayar jasa pengiriman makanan. Dan ini merupakan keuntungan yang didapatkan oleh driver.
Bentuk transaksi seperti ini (GO FOOD) menurut fiqh Islam hukumnya BOLEH. Karena yang menjadi inti transaksi antara pelanggan dan driver adalah akad jual beli jasa. Dan ini masuk akad jual beli wakalah bil ujrah (mewakilkan atau menyuruh orang lain untuk melakukan suatu perkara dengan upah tertentu). Akad seperti ini merupakan perkara yang dibolehkan dalam Islam [Lihat Fatwa DSN MUI no : 10/DSN-MUI/IV/2000].
Bolehnya sistem transaksi seperti ini didasarkan kepada beberapa dalil, diantaranya firman Allah Ta’ala :
فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّها أَزْكى طَعاماً فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ
“Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu”. [QS. Al-Kahfi 18 : 19].
Dalam ayat ini, Allah mengisahkan tentang ashabul kahfi. Dimana salah satu dari mereka diwakilkan untuk membeli makanan ke kota. Hal ini menunjukkan, bahwa wakalah (perwakilan) dalam Islam hukumnya boleh.
Telah diriwayatkan dari Urwah bin Abil Ja’d Al-Bariqi –radhiallahu ‘anhu- beliau berkata :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَاهُ دِينَارًا يَشْتَرِي لَهُ بِهِ شَاةً، فَاشْتَرَى لَهُ بِهِ شَاتَيْنِ، فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ، فَجَاءَ بِدِينَارٍ وَشَاةٍ، فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِي بَيْعِهِ
“Sesungguhnya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- memberinya satu dinar untuk dia gunakan membelikan satu ekor kambing bagi nabi. Lalu dia membelikan untuk nabi dua ekor kambing dengan satu dinar tersebut. Kemudian dia menjual salah satu dari keduanya dengan harga satu dinar. Datanglah dia menghadap nabi dengan membawa satu dinar dan satu ekor kambing. Maka Nabi mendo’akan baginya dengan keberkahan pada jual belinya…” Al-Hadits[HR. Al-Bukhari]
Dalam hadits di atas, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mewakilkan sahabat Urwah bin Abil Ja’d Al-Bariqi untuk membelikan satu ekor kambing bagi beliau. Hal ini juga menunjukkan akan bolehnya wakalah dalam Islam. Para ulama’ juga telah sepakat akan bolehnya akad dengan bentuk seperti ini. [Al-Mausu’ah Al-Kuwaitiyyah : 45/6-7].
BACA JUGA: Penjual yang Curang
Ada sebagian pihak yang mengharamkan model transaksi seperti ini dengan alasan bahwa di dalamnya terdapat pengabungan antara transaksi hutang piutang dengan jual beli. Kata mereka, hal ini merupakan perkara yang dilarang di dalam syari’at. Mereka berdalil dengan sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dari sahabat Abdullah bin Amer –radhiallahu ‘anhu- yang berbunyi :
لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ
“Tidak halal (haram) hutang (digabung) dengan jual beli”.[HR. Ahmad : 6671].
Menurut hemat kami, ini pendalilan yang tidak pada tempatnya. Karena larangan dalam hadits di atas berlaku jika yang menjadi inti akad adalah hutang piutang, sedangkan jual beli hanya menjadi efek samping saja. Dimana dalam hal ini, penjual “mempersyaratkan” jual beli karena adanya hutang. Sehingga penjual bisa menaikan harga barang yang dijualnya kepada pembeli karena pembeli berhutang kepadanya sebagai upah/ganti dari hutang dan laba.
Imam Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata :
ولأنه اشترط عقدا في عقد فاسد كبيعتين في بيعة ، ولأنه إذا اشترط القرض زاد في الثمن لأجله فتصير الزيادة في الثمن عوضا عن القرض وربحا له وذلك ربا محرم
“Karena dalam akad seperti ini, pihak penjual mensyaratkan suatu akad dalam rupa akad lain yang fasid, seolah seperti dua jual beli dalam satu transaksi. Dalam transaksi model seperti ini, adanya qardlu (hutang piutang) dapat dijadikan alasan oleh penjual untuk menaikkan harga sehingga menjadi harga baru sebagai upah/ganti dari hutang dan laba. Yang demikian itu adalah riba yang diharamkan.” [ Al-Mughni : 4/177 ].
Adapun dalam transaksi Go Food, maka yang menjadi inti transaksi adalah akad ijarah (sewa) jasa dengan perusahaan penyedia jasa, bukan hutang piutang. Disamping itu, tidak terjadi persyaratan jual beli di dalamnya karena adanya hutang. Jadi, ada hutang atau tidak, pelanggan tetap mau beli. Karena pelanggan dalam kondisi siap membayar apa yang dipesannya. Hanya saja agar lebih praktis ditalangi dulu oleh driver. [ Simak : Al-Ma’ayir Asy-Syar’iyyah halaman : 277 yang diterbitkan oleh AAOIFI ].
Harga yang harus dibayar oleh pelanggan jusa sesuai dengan nota dari penjual. Artinya, driver tidak menjual kembali pesanan tersebut kepada pelanggan atau menaikkan harganya. Kalau harga yang tertera di nota lebih mahal dari harga jika membeli dengan datang langsung ke penjual, ini juga tidak masalah. Karena pihak penjual (resto) sudah memiliki ikatan kerja sama dengan perusahaan penyedia jasa tersebut. Harganya dinaikan sedikit kalau pesan lewat aplikasi Go Food, karena sebagai fee (keuntungan) untuk perusahaan jasa. Sedangkan driver dapat keuntungan dari harga sewa yang dibayar oleh pelanggan. Transaksi antara saat memesan dan saat membayar yang besarannya sama seperti ini disebut dengan transaksi SPOT [Lihat Fatwa DSN: 28/DSN-MUI/III/2002].
BACA JUGA: Yang Dimakan Nabi hingga Beliau Wafat
Yang menjadi tolok ukur perhitungan dalam hal ini terletak pada niat/maksud, bukan bentuk atau lafadznya. Sebagaimana dalam kaidah yang berbunyi :
العبرة في العقود للمقاصد والمعاني، لا للألفاظ والمباني
“Yang diperhitungkan dalam akad, karena niat dan maknanya, bukan karena lafadz dan bentuknya.”
Demikian pemahasan kali ini. Semoga bermanfaat dan bisa menambah wawasan keilmuan kita sekalian. (Dalam menyusun risalah ini, kami banyak bersandar kepada Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama’ Indonesia, serta kitab Al-Ma’ayir Asy-Syar’iyyah yang diterbitkan oleh AAOIFI).
Kesimpulan: Sistem jual beli dengan aplikasi GO FOOD dan yang semisalnya hukumnya boleh/halal. []