WAKTU berpuasa atau dalam bahasa arab juga disebut shaum/imsak adalah dimulai dari fajar hingga terbenam matahari, kemudian untuk memudahkan manusia mengetahui waktu tersebut dipatok adzan subuh dan maghrib sebagai tanda kedua waktu tersebut.
Kemudian menjadi sumber pertanyaan yakni jadwal imsak yang ada dalam kebiasaan kaum muslim di Indonesia yang mana imsak adalah 10 menit sebelum adzan subuh, bagaimana hukum tentang jadwal imsak? Terutama di bulan Ramadhan?
BACA JUGA: Tidak Boleh Makan Setelah Imsak?
Ketentuan waktu mulai puasa dari al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 187 atau dari hadits dari Anas Ibnu Malik dari Zaid Ibnu Tsabit radhiyallahu ‘anhu, yang intinya menahan diri tidak makan dan minum lagi (Imsak), kalau sudah adzan.
Kemudian, dalam hadits itu disebutkan pula antara adzan dan sahur ada tenggang waktu berkisar 50 bacaan ayat-ayat al Quran. Tenggang waktu inilah kemudian yang menjadi asal-usul waktu Imsak, yakni perkiraan dari bacaan 50 ayat al-Quran sebelum adzan subuh.
Adapun istilah imsak 10 menit seperti tercantum dalam beberapa kalender belum dapat divonis sebagai suatu bid’ah. Kalaupun mau dikatakan bid’ah, adalah hanya dari segi bahasa, bukan segi Syar’iy, karena praktik seperti itu tidak ada pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun masa shahabat.
Sesungguhnya imsak dalam kebiasaan kita itu tidak lebih sebatas atau sekedar peringatan untuk berhati-hati belaka atau Ihtiyat saja, bukan untuk melarang untuk tidak boleh makan minum waktu 10 menit itu.
Dengan lain perkataan itu dimaksudkan sebagai peringatan di lampu lalu lintas seperti lampu kuning untuk siap-siap dan berhati-hati saja dan yang begitu tidak salah dan tidak terlarang dilihat dari kacamata Syara’.
BACA JUGA: Memahami Waktu Imsak
Adapun fatwa yang menghukumi bid’ah pada jadwal imsak seperti dalam buku Taisirul Alam syarah dari kitab Umdatul Ahkam, agak berlebihan dan timbul dari rasa khawatir yang tidak beralasan.
Kita tidak boleh begitu saja memegang faham seseorang selama tidak menunjukkan dalil yang kuat, kita harus kritis dalam memahami suatu nash dari al-Qur’an dan as-Sunnah al-Maqbulah. []
SUMBER: MUHAMMADIYAH