DALAM masalah hukum isbal (menjulurkan kain melebihi mata kaki bagi laki-laki) terdapat tiga pendapat di kalangan ulama, yaitu: haram mutlak, makruh dan mubah (boleh) apabila tidak dimaksudkan untuk kesombongan.
Bukan hanya satu pendapat yaitu, haram, sebagaimana dipahami oleh sebagian pihak. Khusus pendapat terakhir (yang membolehkan tanpa sombong), merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama.
Ini merupakan fakta yang tidak bisa dipungkiri oleh mereka yang munshif (adil) dalam melihat permasalahan ini.
BACA JUGA: Isbal
Jika ditinjau secara seksama, maka pendapat jumhur merupakan pendapat yang paling kuat dan paling sesuai dengan qawaid ushul fiqh, walaupun tanpa menafikan dua pendapat yang lainnya.
Dalam hal ini, berlaku kaidah hamlul mutlak ‘alal muqayyad (membawa dalil yang bersifat tak terbatas kepada dalil yang dibatasi).
Artinya, seluruh dalil yang sifatnya ancaman bagi orang yang musbil, dibawa kepada dalil yang muqayyad (yang dibatasi) hanya untuk mereka yang melakukan hal itu karena sombong. Adapun yang tidak karena sombong, maka boleh.
Dan pemberlakuan kaidah ini dalam masalah isbal, merupakan amaliah mayoritas ulama dari masa ke masa selama berabad-abad dan terdokumentasi secara rapi di dalam kitab-kitab mereka.
Apa yang dijelaskan oleh Imam An-Nawawi (w. 676 H) dalam nukilan terlampir, berkesesuaian dengan argumentasi jumhur. Secara pribadi, saya mengikuti pendapat jumhur yang telah dikuatkan oleh imam An-Nawawi.
Walaupun dari sisi amalan, saya tetap menaikan kain di atas mata kaki sebagai bentuk khuruj minal khilaf (keluar dari perbedaan pendapat ulama), dimana hal ini merupakan perkara yang disepakati akan kebolehannya.
BACA JUGA: Memanjangkan Pakaian atau Isbal, Ini Hukumnya dalam Islam
Adapun mereka yang mengikuti dan mengamalkan pendapat jumhur, saya hormati sepenuhnya.
Tapi saya menaikkannya hanya sedikit atau pas di mata kaki. Yang penting sudah tidak di bawah mata kaki.
Khawatir kalau terlalu tinggi misal setengah betis, malah jatuh kepada pakaian syuhrah (tampil beda) yang dilarang oleh Rasululalah SAW.
Silahkan kita mengambil pendapat yang mana saja yang kita yakini, sisanya hormati orang lain yang pendapatnya berbeda dengan kita. Karena masalah ini termasuk masalah khilafiyyah ijtihadiyyah yang kita diharuskan untuk saling berlapang dada di dalamnya. Alhamdulillah Rabbil ‘alamin. []
Oleh: Abdullah Al-Jirani