Soal: Apa hukum jual beli kucing, haram atau halal?
Jawab: Jual beli kucing tidaklah haram secara mutlak, namun juga tidak halal secara mutlak.
JIKA yang dijual belikan adalah kucing yang liar, maka hukumnya haram. Adapun jika kucing yang jinak, maka boleh. Ini merupakan kesepakatan dari para ulama’ Asy-Syafi’iyyah dan merupakan pendapat dari Jumhur Ulama’ (Mayoritas ulama’) dari Al-Hanafiyyah, Al-Malikiyyah, Asy-Syafi’iyyah dan Al-Hanabilah.
Kucing yang jinak merupakan binatang suci, dan memiliki manfaat mubah yang bisa dimanfaatkan. Diantara manfaat mubahnya, untuk hiasan kerena memiliki bulu yang sangat indah, atau hiburan karena lucu dan mengemaskan, atau untuk mengusir tikus yang ada di rumah, dan manfaat yang lainnya.
Ada suatu kaidah yang berbunyi:
كُل مَمْلُوكٍ أُبِيحَ الاِنْتِفَاعُ بِهِ يَجُوزُ بَيْعُهُ إِلاَّ مَا اسْتَثْنَاهُ الشَّرْعُ
“Segala sesuatu yang dimiliki yang dibolehkan untuk mengambil manfaat dengannya, maka boleh untuk menjualnya kecuali apa yang telah dikecualikan oleh syari’at.”
Oleh karena itu, jika terpenuhi akan syarat-syarat jual beli, maka boleh dan sah jual belinya. Adapun kucing yang liar, maka tidak ada sisi kemanfaatan yang bisa kita ambil. Maka tidak boleh untuk diperjualbelikan.
BACA JUGA: Kotoran dan Air Kencing Kucing, Najis atau Suci?
Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata:
بَيْعُ الْهِرَّةِ الْأَهْلِيَّةِ جَائِزٌ بِلَا خِلَافٍ عِنْدَنَا إلَّا مَا حَكَاهُ الْبَغَوِيّ فِي كِتَابِهِ فِي شرح مختصر المزني عن ابن العاص أَنَّهُ قَالَ لَا يَجُوزُ وَهَذَا شَاذٌّ بَاطِلٌ مَرْدُودٌ وَالْمَشْهُورُ جَوَازُهُ وَبِهِ قَالَ جَمَاهِيرُ الْعُلَمَاءِ نَقَلَهُ الْقَاضِي عِيَاضٌ عَنْ الْجُمْهُورِ
“Jual beli kucing yang jinak diperbolehkan tanpa adanya perselisihan di sisi kami (Ulama’ Asy-Syafi’iyyah) kecuali apa yang dihikayatkan dari Al-Baghawi di dalam kitabnya dalam Syarh Mukhtashor Al-Muzani dari Ibnul Ash sesungguhnya dia berkata : tidak boleh. ini pendapat nyleneh, batil, dan tertolak. Pendapat yang masyhur, bolehnya hal itu. Ini merupakan pendapat dari Jumhur ulama’ yang telah dinukil oleh Al-Qodhi ‘Iyyadh dari jumhur.” [ Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 9/320 ].
Ibnu Hajar Al-Haitami –rahimahullah- (wafat : 974) berkata:
وَيَصِحُّ بَيْعُ الْهِرِّ الْأَهْلِيِّ وَالنَّهْيُ عَنْ ثَمَنِ الْهِرِّ مَحْمُولٌ عَلَى الْوَحْشِيِّ
“Sah jual beli kucing jinak. Dan larangan dari hasil penjualan kucing, dibawa kepada kemungkinan kucing liar.” [ Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra : 4/240 ].
Jual beli, hukum asalnya adalah boleh. Sampai ada dalil yang mengharamkannya. Sebagaimana Alloh berfirman:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Alloh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” [ QS. Al-Baqarah : 175 ].
Ayat di atas bersifat umum, seluruh jual beli hukum asalnya halal kecuali yang telah dalil akan keharamannya. Hufur ال pada kata البيع adalah liljinsi (menunjukkan jenis) yang memberikan faidah keumuman, bukan lil’ahd. Demikian dinyatakan oleh Al-Imam Al-Qurthubi –rahimahullah- dalam [ “Tafsir-nya” : 3/356.]
Al-Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah- berkata:
فَأَصْلُ الْبُيُوعِ كُلِّهَا مُبَاحٌ إذَا كَانَتْ بِرِضَا الْمُتَبَايِعَيْنِ الْجَائِزَيْ الْأَمْرِ فِيمَا تَبَايَعَا إلَّا مَا نَهَى عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مِنْهَا وَمَا كَانَ فِي مَعْنَى مَا نَهَى عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – مُحَرَّمٌ بِإِذْنِهِ دَاخِلٌ فِي الْمَعْنَى الْمَنْهِيِّ عَنْهُ
“Maka asal berbagai jual beli semuanya mubah apabila dengan kerelaan dari penjual dan pembeli yang diperbolehkan untuk perkara tersebut di dalam apa-apa yang mereka lakukan dari jual beli kecuali apa yang telah dilarang hal tersebut oleh Rosulullah-shallallahu ‘alaihi wa sallam- dariya. Maka apa yang masuk dalam makna apa yang dilarang oleh Rosulullah-shallallahu ‘alaih wa sallam-, maka hal itu haram dengan ijinnya, masuk di dalam makna yang dilarang darinya.” [ Al-Umm : 3/3 ].
Termasuk salah satu syarat sah-nya jual beli yang disyaratkan pada sesuatu yang diperjualbelikan, harus merupakan sesuatu yang memiliki manfaat mubah, baik dari sisi syar’i atau hissy (panca indera).
Jual beli sesuatu yang tidak memiliki manfaat sama sekali, maka termasuk jual beli batil. Baik sesuatu itu tidak memiliki manfaat secara asal, atau memiliki manfaat, akan tetapi manfaat yang tidak mu’tabarah (tidak dianggap manfaat) oleh syari’at. Karena saat itu, ia tidak dianggap harta. Sebagaiman syari’at telah mengugurkan status harta pada khamer (sesuatu yang memabukkan), walaupun mungkin ia bisa dimanfaatkan dalam sebagian perkara. Hal ini terjadi karena mudharat yang ada padanya lebih dominan dari kemanfaatannya.
Ada suatu kaidah fiqh yang berbunyi:
الحكم يكون للأمر الغالب. لأن المغلوب يصير مستهلكا في مقابلة الغالب. و المستهلك في حكم المعدوم
“Hukum itu akan terwujud dengan perkara yang paling dominan. Karena perkara yang kurang dominan (sedikit atau jarang), akan habis/lenyap ketika berhadapan dengan yang dominan. Dan perkara yang akan habis masuk dalam hukum sesuatu yang tidak ada.” [ Al-Mabsuuth karya As-Sarkhasi : 10/196 ].
Kucing jinak, memiliki manfaat mubah seperti manfaat untuk diambil keindahan bulunya, atau kelucuannya, atau untuk menakut-nakuti tikus dan yang lainnya. Manfaat-manfaat ini, merupakan manfaat yang mu’tabarah (yang dianggap/diakui) oleh syari’at Islam. Sebagaimana syari’at membolehkan jual beli burung karena terdapat manfaat di dalamnya, seperti manfaat keindahan bunyi kicauannya atau bulunya.
Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Anas bin Malik –radhiallohu ‘anhu- beliau berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا، وَكَانَ لِي أَخٌ يُقَالُ لَهُ: أَبُو عُمَيْرٍ، قَالَ: أَحْسِبُهُ، قَالَ: كَانَ فَطِيمًا، قَالَ: فَكَانَ إِذَا جَاءَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَآهُ، قَالَ: «أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ» قَالَ: فَكَانَ يَلْعَبُ بِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang paling baik akhlaknya. Aku mempunyai saudara laki-laki yang bernama Abu Umair. Perawi mengatakan; aku mengira Anas juga berkata; ‘Kala itu ia masih disapih.” Biasanya, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang dan melihatnya, maka beliau akan menyapa: ‘Hai Abu Umair, bagaimana kabar si nughair (burung pipit). Abu Umair memang senang bermain dengan burung tersebut.” [ HR. Al-Bukhari : 6129 dan Muslim : 2150 ].
BACA JUGA: Kucing dan Sedekah
Hadits di atas memberikan beberapa faidah dan kaidah kepada kita, diantaranya : bolehnya untuk memiliki dan memilihara serta memperjualbelikan hewan suci yang memiliki manfaat mubah. Salah satunya contohnya burung pipit. Mafhum mukhalafah darinya, tidak diperbolehkan bagi kita untuk memperjualbelikan hewan yang tidak memiliki manfaat mubah.
Sehingga sangat tidak mungkin, syari’at Islam mengharamkan jual beli hewan yang memiliki manfaat –termasuk di dalamnya kucing jinak-. Karena seandainya jual beli kucing jinak diharamkan, hal ini akan mengharuskan menabrak dan menghancurkan hukum bolehnya jual beli sesuatu yang memiliki manfaat mubah seperti jaul beli burung.
Hewan yang suci dan memiliki manfaat mubah, pada hukum asalnya boleh untuk dipelihara dan diambil manfaatnya serta boleh untuk dipindahtangankan dengan berbagai akad jual beli dan yang semisalnya. Karena termasuk dari sesuatu yang telah ditundukkan oleh Alloh untuk manfaat bagi manusia, berkhidmat kepadanya serta bersenang-senang dengannya. Alloh berfiman:
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُنِيرٍ
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.” [ QS. Luqman : 20 ].
Alloh juga telah mengisyaratkan akan bolehnya untuk memelihara hewan dengan maksud untuk mengambil manfaat dengan keindahannya, berhias dengannya dalam rangka untuk memasukkan kebahagiaan di dalam jiwa. Alloh Ta’ala berfirman:
وَالْخَيْلَ وَالْبِغالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوها وَزِينَةً وَيَخْلُقُ مَا لا تَعْلَمُونَ
“Dan (Dia Alloh telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.” [ QS. An-Nahl : 8 ].
Al-Imam Ar-Rafi’i –rahimahullah- (wafat : 623 H) berkata:
(واعلم) أن الحيوانات الطاهرة علي ضربين (أحدهما) ما ينتفع به فيجوز بيعه كالغنم والبغال والحمير ومن الصيود كالظباء والغزلان ومن الجوارح كالصقور والبزاة والفهود ومن الطيور كالحمام والعصافير والعقاب * ومنه ما ينتفع بلونه أو صوته كالطاوس والزرزور وكذا الفيل والهرة وكذا القرد فانه يعلم الاشياء فيعلم
“Ketahuilah ! sesungguhnya hewan-hewan yang suci ada dua macam : Pertama : Hewan yang bisa diambil manfaatnya, maka boleh untuk dijual, seperti : kambing, bighol dan keledai. Dari jenis pemburu (yang tidak buas) seperti : kijang. Dan dari burung pemburu (buas) seperti : elang, al-buzah (sejenis burung elang kecil), dan macan. Dari burung seperti : burung merpati, burung pipit, dan rajawali. Diantara jenis pertama ini, hewan yang diambil manfaat dari warnanya, atau suaranya seperti : burung merak dan burung tiung. Demikian juga gajah dan kucing. Demikian pula kera, karena sesungguhnya ia bisa diajari berbagai hal, maka dia akan bisa mengerti….-sampai ucapan beliau-…Kedua : apa yang tidak bisa dimanfaatkan, maka tidak boleh untuk dijualbelikan.” [ Fathul ‘Aziz bisyarhil Waziz : 8/118 ].
Sebagian pihak berpendapat, bahwa jual beli kucing dilarang. Dia adalah Ibnu Hazm Adz-Dzohiri –rahimahullah- dan diikuti oleh sebagian ulama’ KSA. Mereka berdalil dengan hadits dari Abu Zubair –rodhiallohu ‘anhu- beliau berkata:
سَأَلْتُ جَابِرًا، عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ؟ قَالَ: «زَجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ»
“Aku bertanya kepada Jabir tentang harga penjualan anjing dan kucing ? Beliau menjawab : Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melarang dari hal itu.” [ HR. Muslim : 1569 ].
Hadits ini dijawab oleh Jumhur ulama’ (mayoritas ulama’) dari dua sisi:
1). Larangan dari hasil penjualan kucing di dalam hadits tersebut, bukan untuk kucing secara mutlak. Akan tetapi untuk kucing yang liar. Karena kucing yang liar, tidak ada kemanfaatan di dalamnya. Sehingga akan masuk kepada perbuatan menyia-nyiakan harta yang telah dilarang oleh nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam-.
Salah satu syarat sahnya jual beli dari sisi sesuatu yang diperjualbelikan, harus sesuatu yang memiliki manfaat mubah baik dari sisi syari’i atau hissi (panca indera). Sehingga hadits larangan jual beli kucing, harus dikompromikan dengan hadits larangan menyia-nyiakan harta.
Karena jika larangan jual beli kucing dipahami secara mutlak, baik yang liar ataupun yang jinak, baik yang memiliki manfaat ataupun tidak, kita telah membuang hadits larangan menyia-nyiakan harta. Karena mafhum mukhalafah (pemahaman kebalikan) dari hadits ini, diperbolehkan bagi kita untuk mengeluarkan harta untuk perkara yang ada manfaatnya.
2). Laragan dalam hadits di atas adalah larangan makruh bukan haram. Jadi yang dimaksud, larangan dari suatu adat, yang manusia memberikan toleransi di dalamnya serta mereka membutuhkannya. Ingat ! ada suatu kaidah : bahwa larangan makruh, boleh untuk dilakukan jika ada hajat mubah (kebutuhan mubah) di dalamnya. Diantara hajat di sini : mengambil manfaat dari keindahannya, atau hiburan, atau untuk penjaga rumah dari tikus dan lain sebagainya.
Ada suatu kaidah, bahwa jika datang larangan dalam bab adab, maka asalnya memberikan makna makruh sampai ada dalil yang mengharamkannya. Dan larangan jual beli kucing masuk dalam bab adab saja.
[ Simak : Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 9/230 dan seterusnya, Syarh Shohih Muslim: 10/234 ].
BACA JUGA: Tidak Sengaja Menabrak Kucing sampai Mati
Al-Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata:
وَأَمَّا النَّهْيُ عَنْ ثَمَنِ السِّنَّوْرِ فَهُوَ محمول على أنه لا ينفع أو عَلَى أَنَّهُ نَهْيُ تَنْزِيهٍ حَتَّى يَعْتَادَ النَّاسُ هِبَتَهُ وَإِعَارَتَهُ وَالسَّمَاحَةَ بِهِ كَمَا هُوَ الْغَالِبُ فَإِنْ كَانَ مِمَّا يَنْفَعُ وَبَاعَهُ صَحَّ الْبَيْعُ وَكَانَ ثَمَنُهُ حَلَالًا هَذَا مَذْهَبُنَا وَمَذْهَبُ العلماء كافة
“Adapun larangan dari hasil penjualan kucing, maka hal itu dibawa kepada kemungkinan karena tidak ada manfaatnya (kucing liar), atau larangan tersebut merupakan larangan makruh, sehingga manusia terbiasa menghadiahkannya, meminjamkannya, dan bertoleransi dengannya, sebagaimana hal itu merupakan perkara yang umum (terjadi). Maka jika termasuk dari apa-apa yang bisa dimanfaatkan, maka boleh sah untuk menjualbelikannya dan hasil penjualannya halal. Ini merupakan pendapat kami dan pendapat seluruh ulama’.” [ Syarh Shohih Muslim : 10/234 ].
Al-Imam Ar-Rafi’i –rahimahullah- (wafat : 623 H) berkata:
(نهى عن ثمن الهرة) قال القفال اراد الهرة الوحشية إذ ليس فيها منفعة استئناس ولاغيره
“(Nabi melarang dari hasil penjualan kucing). Al-Qofal berkata : Yang dimaksud oleh beliau adalah kucing yang liar, karena tidak manfaat kelembutan dan selainnya di dalamnya.” [ Fathul ‘Aziz : 8/229 ].
Larangan jual beli kucing dalam hadits di atas, harus dibawa kepada salah satu dari dua makna yang telah kami sebutkan. Agar bisa ketemu dan kompromi dengan berbagai dalil, baik dari Al-Qur’an dan hadits nabi yang telah kami paparkan sebelumnya.
Seorang yang membawa hadits larangan jual beli kucing secara mutlak tanpa dirinci, dia telah menggunakan satu dalil tanpa memperhatikan berbagai dalil lain dan berbagai indikasi yang menjelaskannya. Dan ini sebuah kesalahan yang sering terjadi di kalangan para penuntut ilmu. oleh karena itu, jangan tergesa-gesa dan ceroboh untuk menyelisihi jumhur ulama’.
Demikian pembahasan kami kali ini. semoga bermanfaat untuk kita sekalian. Barokallohu fiikum. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani