DI Indonesia, menghormati dan memulian orang yang lebih tua atau memiliki kedudukan banyak dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan mencium tangan saat bertemu. Seperti anak kepada orang tuanya, atau murid kepada gurunya, orang yang lebih muda kepada yang lebih tua. Adat ini sudah berlangsung lama selama puluhan tahun dari generasi ke generasi berikutnya.
Jika dilihat dari kaca mata syari’at, perkara ini juga tidak ada masalah (boleh), bahkan sebagian ulama’ menganjurkannya. Hal ini berdasarkan sebuah riwayat dari Abdullah bin Umar –radhiallahu ‘anhu- beliau berkisah, lalu di akhir hadits beliau berkata:
«فَدَنَوْنَا يَعْنِي مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَبَّلْنَا يَدَهُ»
“Maka kami mendekat kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, lalu kami mencium tangan beliau”. [HR. Abu Dawud : 5223, Al-Bukhari dalam “Al-Adabul Mufrad” : 972 dan selain keduanya].
BACA JUGA: Hajar Aswad, Kenapa Dicium?
Hadits ini dinilai dhaif (lemah) oleh sebagian ahli hadits karena dalam sanadnya terdapat seorang rawi yang bernama Yazid bin Abi Ziyad dan beliau seorang rawi yang dhaif (lemah). Walau lemah, hadits ini boleh diamalkan, karena isinya dalam bab adab. Menurut jumhur ulama’, dalam bab adab dan yang semisalnya tidak dipersyaratkan keshahihan sebuah hadits. Oleh karena itu, Abu Dawud dan Al-Bukhari menyebutkan hadits di atas di kitab keduanya dengan memberi tarjamah (judul) “Bab Mencium Tangan” sebagai wujud istimbath (memetik) hukum darinya. Ini sebagai bukti, bahwa beliau menjadikan hadits ini sebagai hujjah (dalil) yang mendasari bolehnya mencium tangan.
Makna hadits di atas juga telah dikuatkan oleh sebuah riwayat dari Zari’ –radhiallahu ‘anhu- beliau berkata –dalam pengutusan Abdul Qais – :
لَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا، فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Tatkala kami tiba di Madinah, maka kami segera turun dari hewan tunggangan kami lalu kami mencium tangan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-“.[HR. Abu Dawud : 5225 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani –rahimahullah- ].
Telah diriwayatkan sebuah atsar oleh Imam Al-Bukhari dalam “Al-Adabul Mufrad” dari Abdurrahman bin Ruzain –rahimahullah- beliau berkata :
مَرَرْنَا بِالرَّبَذَةِ فَقِيلَ لَنَا: هَا هُنَا سَلَمَةُ بْنُ الْأَكْوَعِ، فَأَتَيْنَاهُ فَسَلَّمْنَا عَلَيْهِ، فَأَخْرَجَ يَدَيْهِ فَقَالَ: بَايَعْتُ بِهَاتَيْنِ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْرَجَ كَفًّا لَهُ ضَخْمَةً كَأَنَّهَا كَفُّ بَعِيرٍ، فَقُمْنَا إِلَيْهَا فَقَبَّلْنَاهَا
“Kami melewati Rabadzah, maka dikatakan kepada kami: Di sini Salamah bin Al-Akwa’. Lalu kami mendatangi dan mengucapkan salam kepadanya. Kemudian beliau mengeluarkan tangannya seraya berkata : “Aku telah membaiat nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-dengan dua tangan ini.” Lalu beliau mengeluarkan telapak tangannya yang besar seperti telapak onta, kamipun berdiri dan menciupnya.” [HR. Al-Bukhari dalam “Al-Adabul Mufrad” : 973 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani –rahimahullah-].
Telah diriwayatkan oleh Abdullah bin Wahb Al-Mishri Al-Qurasyi –rahimahullah- (w. 197 H) dari Tamim bin Salamah –rahimahullah- beliau berkata :
قَدِمَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ مِنْ سَفَرٍ فَقَبَّلَ يَدَهُ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ، ثُمَّ خَلَوَا يَتَنَاجَيَانِ حَتَّى بَكَيَا جَمِيعًا
“Umar bin Al-Khathab –radhiallahu ‘anhu- datang dari safar (perjalanan jauh), lalu Abu Ubaidah bin Al-Jarrah mencium tangannya. Kemudian keduanya menyendiri dan berbisik-bisik sampai menangis bersama.”[ Al-Jami’ fil Hadits : 259 ].
Dari sebagian atsar di atas dapat kita simpulkan, bahwa menciup tangan dalam rangka untuk menghormati dan memuliakan orang lain yang memang berhak untuk mendapatkan hal itu merupakan tradisi yang telah dilakukan oleh para ulama’ salaf dari masa ke masa. Bukan sesuatu yang baru dilakukan sekarang. Adapun yang tidak boleh, menciup tangan orang lain karena masalah-masalah duniawi seperti kekayaan, materi, kedudukan dan yang semisalnya. Jadi bukan dilarang secara mutlak.
Imam An-Nawawi –rahimahullah-(w. 676 H) berkata :
يُسْتَحَبُّ تَقْبِيلُ يَدِ الرَّجُلِ الصَّالِحِ وَالزَّاهِدِ وَالْعَالِمِ وَنَحْوِهِمْ مِنْ أَهْلِ الْآخِرَةِ وَأَمَّا تَقْبِيلُ يَدِهِ لِغِنَاهُ وَدُنْيَاهُ وَشَوْكَتِهِ وَوَجَاهَتِهِ عِنْدَ أَهْلِ الدُّنْيَا بِالدُّنْيَا وَنَحْوِ ذَلِكَ فَمَكْرُوهٌ شَدِيدُ الْكَرَاهَةِ وَقَالَ الْمُتَوَلِّي لَا يَجُوزُ
“Dianjurkan untuk mencium tangan seorang yang shalih, zuhud, berilmu dan yang semisal mereka dari ahli akhirat. Adapun mencium tangannya karena kekayaannya, materinya, kekuasaannya, dan kedudukannya di sisi ahli dunia karena dunia mereka dan yang semisalnya, maka hukumnya sangat dimakruhkan. Al-Mutawalli berkata : tidak boleh.” [Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 4/636].
BACA JUGA: Meski Kasar, Tangan Seorang Tukang Batu Dicium Rasulullah
Imam Ibnul Mulaqqin –rahimahullah (w. 804 H) berkata :
ثمَّ اعْلَم أَن الرَّافِعِيّ اسْتدلَّ بِهَذَا الحَدِيث عَلَى أَنه لَا يكره التَّعْظِيم بالتقبيل لزهد أَو علم وَكبر سنّ
“Ketahuilah ! sesungguhnya imam Ar-Rafi’i –rahimahullah- berdalil dengan hadits ini, sesungguhnya tidak dimakruhkan menghormati/memuliakan orang lain dengan mencium (tangannya) karena kezuhudan(nya), atau ilmu(nya), atau usia(nya),” [Al-Badrul Munir: 9/47].
Kesimpulan :
1). Mencium tangan dalam rangka menghormati dan memuliakan orang lain karena keshalihannya, atau kezuhudannya, atau ilmunya, atau usianya yang lebih tua, atau yang semisal dengan hal ini hukumnya BOLEH.
2). Adapun mencium tangan orang lain karena masalah-masalah dunia seperti jabatan, materi, kekayaan, dan yang semisalnya hukumnya MAKRUH.
Demikian, semoga bermanfaat. Barakallahu fiikum jami’an. []
Facebook: Abdullah Al Jirani