ULAMA berbeda pendapat tentang hukum mengambil upah dari mengajar Al-Qur’an. Imam Abu Sulaiman Al-Khaththabi menghikayatkan perbedaan pendapat tersebut, yaitu:
1. Sebagian ulama, di antaranya Az-Zuhri dan Abu Hanifah, melarang hal tersebut.
2. Sebagian ulama menyatakan boleh mengambil upah jika ia tidak mensyaratkan adanya upah tersebut. Ini adalah pendapat Al-Hasan Al-Bashri, Asy-Sya’bi dan Ibnu Sirin.
BACA JUGA: Menjadi Guru Ahli Surga dengan Meneladani Sifat Rasulullah
3. ‘Atha, Malik, Asy-Syafi’i, dan lainnya berpendapat boleh mengambil upah jika ia disyaratkan dan dijadikan sebagai akad ijarah yang shahih.
Pendapat yang membolehkan mengambil upah ini, berdasarkan Hadits-Hadits yang Shahih.
Sedangkan pendapat yang melarang, berdasarkan Hadits ‘Ubadah bin Shamit, bahwa beliau mengajarkan Al-Qur’an kepada seorang ahlush shuffah, kemudian beliau diberi hadiah sebuah busur. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata kepadanya:
إن سرك أن تطوق بها طوقا من النار فاقبلها
Artinya: “Jika engkau senang dipakaikan kalung dari api neraka, silakan terima hadiah tersebut.” (Hadits Masyhur, riwayat Abu Dawud dan selainnya)
Mereka juga melandasi pendapatnya dengan banyak atsar dari ulama salaf.
Para ulama yang membolehkan mengambil upah dari mengajar Al-Qur’an, menjawab Hadits ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu ini dengan dua jawaban:
BACA JUGA: Begini Ulama Salaf Membalas Kebaikan Guru-guru Mereka
1. Sanad Hadits tersebut bermasalah.
2. Beliau mengajar Al-Qur’an dalam rangka tabarru’ (bantuan sukarela), sehingga beliau tak berhak dan tak boleh menerima hadiah sebagai ganti jasa dari mengajarkan Al-Qur’an.
Berbeda halnya dengan orang yang menjadikannya sebagai akad ijarah sebelum proses mengajar Al-Qur’an itu dilakukan. Pada kondisi ini, ia boleh mengambil upah dari akad ijarahnya. []
Rujukan: At-Tibyan Fi Adab Hamalah Al-Qur’an, karya Imam An-Nawawi, Halaman 73-75, Penerbit Dar Al-Minhaj, Jeddah, Saudi Arabia.
Oleh: Muhammad Abduh Negara