SEBAGIAN orang bertanya, bolehkah penggunaan produk yang mengandung babi dan alkohol untuk penggunaan di luar tubuh, misalnya sebagai minyak rambut, minyak oles, dll?
Kita akan mulai pembahasan mengenai keharaman mengonsumsi babi dan alkohol. Baru setelah itu, status kenajisannya. Karena berbicara hukum menggunakan minyak dari benda-benda ini dan mengoleskannya pada badan atau pakaian kita, sangat tergantung pada hukum kenajisannya. Apakah ia najis, atau suci.
Keharaman Babi
Keharaman mengonsumsi babi adalah perkara yang sangat jelas, dan disepakati oleh seluruh ulama. Dalam Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (3/19, terbitan Darul Hadits, Kairo) dikatakan:
وَأَمَّا الْمُحَرَّمَاتُ لِعَيْنِهَا فَمِنْهَا مَا اتَّفَقُوا عَلَيْهِ، وَمِنْهَا مَا اخْتَلَفُوا فِيهِ. فَأَمَّا الْمُتَّفَقُ مِنْهَا عَلَيْهِ فَاتَّفَقَ الْمُسْلِمُونَ مِنْهَا عَلَى اثْنَيْنِ: لَحْمِ الْخِنْزِيرِ، وَالدَّمِ. فَأَمَّا الْخِنْزِيرُ فَاتَّفَقُوا عَلَى تَحْرِيمِ شَحْمِهِ وَلَحْمِهِ وَجِلْدِهِ…
Artinya: “Adapun hewan yang diharamkan berdasarkan zatnya, ada yang keharamannya disepakati oleh seluruh ulama, ada yang mereka perselisihkan. Para ulama kaum muslimin sepakat atas keharaman dua hal: daging babi dan darah. Terkait babi, para ulama sepakat atas keharaman lemaknya, dagingnya, dan kulitnya…”
BACA JUGA: Ngeri, Berikut 5 Penyakit Akibat Konsumsi Daging Babi
Saat berbicara tentang kenajisan babi, Imam Ibnu Qudamah, dalam Al-Mughni (1/42) mengatakan:
وَحُكْمُ الْخِنْزِيرِ حُكْمُ الْكَلْبِ؛ لِأَنَّ النَّصَّ وَقَعَ فِي الْكَلْبِ، وَالْخِنْزِيرُ شَرٌّ مِنْهُ وَأَغْلَظُ؛ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى نَصَّ عَلَى تَحْرِيمِهِ، وَأَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى ذَلِكَ، وَحَرُمَ اقْتِنَاؤُهُ.
Artinya: “Dan hukum (kenajisan) babi sama dengan hukum anjing, karena nash berbicara tentang anjing, sedangkan babi lebih buruk dari anjing. Allah ta’ala telah menyatakan keharaman babi secara jelas, dan para ulama kaum muslimin sepakat atas keharamannya, dan haram juga memilikinya.”
Di antara dalil yang jelas menunjukkan keharaman babi, adalah firman Allah ta’ala:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ
Artinya: “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih untuk dipersembahkan kepada selain Allah.” (QS. Al-Baqarah [2]: 173)
Juga firman-Nya:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
Artinya: “Diharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih untuk dipersembahkan kepada selain Allah.” (QS. Al-Maidah [5]: 3)
Hukum Alkohol
Adapun hukum alkohol, ia diperselisihkan oleh para ulama. Perselisihannya bukan tentang, apakah khamr haram dikonsumsi atau tidak. Keharaman mengonsumsi khamr merupakan perkara yang disepakati seluruh ulama.
Dalam Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (3/23, terbitan Darul Hadits, Kairo) dikatakan:
أَمَّا الْخَمْرُ فَإِنَّهُمُ اتَّفَقُوا عَلَى تَحْرِيمِ قَلِيلِهَا وَكَثِيرِهَا، أَعْنِي: الَّتِي هِيَ مِنْ عَصِيرِ الْعِنَبِ. وَأَمَّا الْأَنْبِذَةُ فَإِنَّهُمُ اخْتَلَفُوا فِي الْقَلِيلِ مِنْهَا الَّذِي لَا يُسْكِرُ، وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْمُسْكِرَ مِنْهَا حَرَام
Artinya: “Adapun khamr, para ulama sepakat atas keharamannya, sedikit maupun banyak, yaitu yang berasal dari hasil perasan anggur. Adapun hasil perasan dari tanaman lain, para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya, jika ia sedikit dan tidak memabukkan. Dan mereka sepakat, seluruh hasil perasan tanaman tersebut haram, jika ia memabukkan.”
Dalil yang menunjukkan haramnya khamr, di antaranya adalah firman Allah ta’ala:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah keburukan termasuk dari perbuatan syaithan. Jauhilah perbuatan-perbuatan itu, agar kalian mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah [5]: 90)
Juga Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَلاَ يَشْرَبُ الخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ
Artinya: “Tidaklah seseorang meminum khamr, ketika ia meminumnya, ia dalam keadaan beriman.” (HR. Al-Bukhari no. 5578 dan Muslim no. 57)
Dan banyak lagi dalil-dalil yang menunjukkan keharaman meminum khamr.
Jika khamr haram dikonsumsi, bagaimana dengan hukum alkohol, apakah otomatis bisa disimpulkan haram juga? Jawabannya, belum tentu. Senyawa alkohol belum dikenal di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat menyampaikan keharaman khamr, Nabi tidak menjelaskan bahwa khamr itu haram karena di dalamnya ada alkohol. Nabi menyatakan:
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
Artinya: “Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap yang memabukkan haram hukumnya.” (HR. Muslim no. 2003)
Para ulama memang berbeda pendapat tentang definisi khamr. Sebagian fuqaha, di antaranya mayoritas Syafi’iyyah, Hanafiyyah, dan sebagian Malikiyyah, bahwa khamr hanya yang berasal dari perasan anggur. Sedangkan kalangan Hanabilah, sebagian Syafi’iyyah, dan ulama Hijaz menyatakan khamr adalah nama bagi setiap yang memabukkan, baik yang berasal dari perasan anggur, maupun dari perasan tanaman lainnya. (Silakan baca: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 5/12. Ada perincian lebih lanjut dalam bahasan ini).
Hanya saja, meskipun mereka berbeda pendapat tentang apa yang dinamakan khamr, mereka sepakat, jika suatu minuman memabukkan, maka hukumnya haram seperti khamr, sebagaimana sudah disampaikan pada kutipan kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid di atas. Penulis kitab Al-Mu’tamad fi Al-Fiqh Asy-Syafi’i (2/570) juga menyatakan:
وَيُقَاسُ عَلَى الْخَمْرِ غَيْرُهَا مِنَ الْمُسْكِرَاتِ، لِأَنَّهَا تَدْخُلُ فِي مَضْمُوْنِ الْخَمْرِ
Artinya: “Dan diqiyaskan seluruh minuman memabukkan lainnya atas khamr, karena ia masuk pada kandungan makna khamr.”
Penulis kitab Al-Fiqh Al-Manhaji ‘Ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i (1/506) menyatakan:
لِأَنَّ الْمَعْنَى الْمُسَبِّب لِتَحْرِيْمِ الْخَمْرِ، إِنَّمَا هُو وصف بِالْإِسْكَارِ فِيْهَا، بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ. فَوَجَبَ أَنْ يَشْتَرِكَ مَعَهَا فِي التَّحْريمِ كُلُّ الْأَشْرِبَةِ المُسْكِرَة، أَيًّا كَانَ أَصْلهَا دُوْنَ أَيِّ تَفْرِيْق.
Artinya: “Karena yang menyebabkan keharaman khamr adalah sifat memabukkan yang ada padanya, berdasarkan ijma’ seluruh ulama kaum muslimin. Maka wajib menyertakan seluruh minuman yang memabukkan dalam keharamannya, dari manapun ia berasal, tanpa ada pembedaan sama sekali.”
BACA JUGA: Mendeteksi Kandungan Gelatin Babi pada Makanan, Bagaimana?
Dan ‘illah keharaman khamr dan minuman memabukkan lainnya adalah iskar (sifat memabukkan pada minuman tersebut). Dan berdasarkan kaidah الحكم يدور مع علته وجودا وعدما (Hukum mengikuti ‘illah-nya, ada dan tiadanya). Artinya, jika ‘illah memabukkan ada pada suatu minuman, maka ia haram dikonsumsi. Sebaliknya, jika ‘illah-nya tidak ada, maka ia halal.
Dari sini bisa dipahami, jika ada minuman yang diberi nama apapun, memiliki sifat memabukkan, maka ia terkena hukum khamr, dan haram diminum. Sebaliknya, jika khamr berproses secara alami menjadi cuka, maka hukumnya tidak lagi haram, karena sifat memabukkan pada khamr telah hilang saat menjadi cuka.
Dalam Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib (hlm. 31, cetakan Haramain, Indonesia, yang dicetak bersama At-Tadzhib fi Adillah Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib) dikatakan:
وَإِذَا تَخَلَّلَتِ الْخَمْرَةُ بِنَفْسِهَا طَهُرَتْ
Artinya: “Jika khamr berubah menjadi cuka dengan sendirinya (secara alami), maka ia suci (tidak lagi menjadi najis).”
Penulis At-Tadzhib fi Adillah Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib, masih pada halaman yang sama, mengomentari hal ini:
لِأَنَّ عِلَّةَ النَّجَاسَةِ الْإِسْكَارُ، وَقَدْ زَالَتْ باِلتَّخَلُّلِ
Artinya: “Karena ‘illah najisnya adalah memabukkan, dan ia telah hilang saat menjadi cuka.”
Khamr yang berubah menjadi cuka, menjadi halal dikonsumsi, dan tidak dianggap najis lagi.
Kenajisan Babi dan Khamr
Sekarang kita berbicara kenajisan babi dan khamr. Kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah sepakat atas najisnya zat babi itu sendiri. Artinya, babi itu najis, meskipun ia masih hidup, dan kenajisannya ada pada seluruh anggota badannya, serta bagian tubuhnya yang terpotong darinya. Sedangkan kalangan Malikiyyah menyatakan bahwa babi suci saat ia masih hidup, karena hukum asal segala sesuatu saat masih hidup adalah suci. (Silakan lihat: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 20/33, pembahasan tentang “Khinzir”).
Sedangkan ketika ia telah menjadi bangkai, fuqaha empat madzhab sepakat atas kenajisannya. Bahkan Fakhruddin Ar-Razi menghikayatkan adanya ijma’ ulama dalam hal ini. (Silakan lihat: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 39/388, pembahasan tentang “Maytah”).
Meskipun ada sedikit perbedaan pendapat tentang perinciannya. Misal, hukum bulu babi. Mayoritas ahli fiqih menyatakannya najis, sedangkan Malikiyyah menyatakannya suci, bahkan meskipun bulu babi itu dipotong dari babi yang telah menjadi bangkai. (Silakan lihat: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 20/35, pembahasan tentang “Khinzir”).
Dari sini bisa kita simpulkan, jika ada minyak rambut, sabun atau semisalnya yang mengandung zat babi, dan zat babi tersebut masih ada dalam komposisi benda-benda tersebut (tidak hilang 100%), maka ia haram digunakan, dan tergolong sebagai najis. Bahkan bagi kalangan Malikiyyah sekalipun, karena tentu zat babi yang menjadi bahan pembuatan sabun, minyak rambut atau semisalnya tersebut berasal dari bangkai babi (babi yang telah mati).
Sekarang khamr. Mayoritas ahli fiqih menyatakan khamr itu najis, seperti air kencing dan darah, karena adanya firman Allah ta’ala yang mengharamkannya dan menyebutnya sebagai “rijs” (Surah Al-Maidah Ayat 90). “Rijs” dalam bahasa Arab adalah sesuatu yang kotor atau busuk, dan ini menunjukkan ia najis. Sedangkan sebagian fuqaha menyatakan khamr itu suci, tidak najis. Yang berpendapat seperti ini misalnya Imam Rabi’ah, guru dari Imam Malik, serta Ash-Shan’ani dan Asy-Syaukani. Mereka berpegang pada hukum asal bahwa segala sesuatu itu asalnya adalah suci. Sedangkan kata “rijs” dalam Ayat Al-Qur’an, mereka bawa pada makna “kotoran secara hukum”, yang berarti hukumnya buruk, dan tidak menunjukkan najisnya benda yang disifati dengan kata tersebut. (Silakan baca: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 40/93-94, pembahasan tentang “Najasah”).
Mengikuti pendapat jumhur (mayoritas) ahli fiqih, maka khamr itu bukan hanya haram dikonsumsi, tapi juga najis. Artinya, jika ia terkena badan kita atau pakaian kita, berarti badan dan pakaian kita terkena najis dan wajib disucikan. Jika badan dan pakaian yang terkena khamr tersebut kita bawa saat shalat, maka shalatnya tidak sah.
Najiskah Alkohol?
Sekarang tersisa pembahasan, apakah alkohol itu adalah khamr itu sendiri. Jika benar, tentu badan dan pakaian yang terkena alkohol, berarti ia terkena najis, dan tidak boleh digunakan ketika shalat dan hal-hal lain yang mensyaratkan sucinya badan dan pakaian kita dari najis.
Fakta yang disepakati tentang hal ini adalah, khamr dan semua minuman yang memabukkan, mengandung alkohol. Karena itu berbagai minuman yang memabukkan sering disebut “minuman beralkohol”. Hanya saja, apakah alkohol itu adalah khamr itu sendiri, atau ia hanya bagian dari minuman yang memabukkan itu. Jika ia adalah khamr itu sendiri, maka sepenuhnya berlaku hukum khamr. Sedangkan jika bukan khamr itu sendiri, maka ia kembali ke hukum asal segala sesuatu, yaitu suci.
Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub, dalam bukunya “Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat dan Kosmetika Menurut Al-Qur’an dan Hadis”, yang merupakan terjemahan dari buku hasil disertasi beliau di Universitas Nizamia Hyderabad India, yang berjudul “Ma’ayir Al-Halal Wa Al-Haram Fi Al-Ath’imah Wa Al-Asyribah Wa Al-Adwiyah Wa Al-Mustahdharat At-Tajmiliyyah ‘Ala Dhau Al-Kitab Wa As-Sunnah”, membahas persoalan alkohol dan khamr. Beliau sendiri menguatkan pendapat, bahwa alkohol adalah khamr itu sendiri. Zat yang menyebabkan khamr memabukkan adalah alkohol. Namun, beliau juga mengemukakan pendapat sebagian ulama kontemporer yang menyatakan alkohol bukan khamr, dan hukumnya suci.
Beliau misalnya, mengutip pernyataan Prof. dr. Muhammad Sa’id As-Suyuthi, dalam kitabnya “Mu’jizat Fi Ath-Thibb Li An-Nabi Al-‘Arabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam” bahwa alkohol itu suci. Prof. As-Suyuthi (sebagaimana dikutip oleh Prof. Ali Mustafa Yaqub) menyatakan: “Mengqiyaskan alkohol kepada khamar adalah bentuk qiyas yang tidak relevan (al-qiyas ma’a al-fariq) dan tidak benar, karena susunan partikel di dalamnya berbeda.” (Kriteria Halal-Haram, hlm. 123).
Prof. As-Suyuthi juga menyatakan, alkohol jika terpisah dengan khamr, maka hukumnya adalah suci. Sehari-hari kita biasa mengonsumsinya dari buah-buahan, tanpa batas dan perhitungan.
Dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 11 Tahun 2009, dikatakan: “Alkohol sebagaimana dimaksud dalam ketentuan umum yang berasal dari khamr adalah najis. Sedangkan alkohol yang tidak berasal dari khamr adalah tidak najis.”
Juga dikatakan: “Penggunaan alkohol/etanol hasil industri khamr untuk produk makanan, minuman, kosmetika, dan obat-obatan, hukumnya haram.” Kemudian, “Penggunaan alkohol/etanol hasil industri non khamr (baik merupakan hasil sintesis kimiawi [dari petrokimia] ataupun hasil industri fermentasi non khamr) untuk proses produksi produk makanan, minuman, kosmetika, dan obat-obatan, hukumnya: mubah, apabila secara medis tidak membahayakan.”
Fatwa MUI No. 11 Tahun 2009 ini bisa dilihat pada tautan berikut ini: http://mui.or.id/wp-content/uploads/files/fatwa/Hukum-Alkohol.pdf.
Pada Fatwa MUI di atas, dibedakan antara alkohol yang diproduksi dari industri pembuatan khamr, dengan alkohol yang diproduksi di luar industri khamr. Yang najis, hanyalah yang berasal dari industri khamr. Sedangkan yang di luar industri khamr, hukumnya suci.
Syaikh Muhammad bin Ahmad Asy-Syathiri, dalam kitab beliau “Syarh Al-Yaqut An-Nafis Fi Madzhab Ibn Idris” (hlm. 100-101), saat membahas bab “Najasah”, beliau menyatakan bahwa alkohol adalah ruh dari khamr. Yang berarti obat-obatan dan parfum yang mengandung alkohol, berarti hukumnya mengikuti hukum khamr, dan khamr itu najis. Namun beliau menyatakan, penggunaan obat-obatan yang mengandung alkohol dan semisalnya, jika telah berlaku umum di tengah-tengah manusia atau karena dharurat, maka dimaafkan. Dan beliau mengingatkan, seorang muslim harus berupaya untuk menghindarinya semampunya.
Sebagai kesimpulan terkait hukum penggunaan alkohol sebagai parfum, minyak rambut, dan semisalnya adalah:
1. Dari sisi kenajisan khamr, mayoritas ulama menganggapnya najis. Namun sebagian fuqaha (sebagaimana sudah disebutkan di atas) menyatakan ia suci.
2. Terkait alkohol, sebagian ulama menganggapnya adalah khamr itu sendiri. Dan tentang kenajisan khamr, penjelasannya seperti di poin 1.
BACA JUGA: Profesor Ini Menduga Uang Kertas Malaysia Mengandung Lemak Babi
3. Sedangkan sebagian ulama lainnya menganggap, alkohol bukan khamr. Atau seperti fatwa MUI, alkohol yang diproduksi di luar industri pembuatan khamr, bukanlah khamr, dan hukumnya suci.
Pendapat yang saya pilih adalah, alkohol yang berada di luar minuman beralkohol (seperti bir, wiski, dan semisalnya) bukan khamr dan hukumnya suci, kecuali terbukti ia ternyata memabukkan ketika dikonsumsi. Karena itu, menggunakan alkohol sebagai parfum, minyak rambut, dan semisalnya boleh hukumnya dan tidak najis.
Hanya saja, jika seseorang memilih sikap hati-hati dan menghindari sepenuhnya penggunaan parfum beralkohol dan semisalnya, itu jauh lebih baik (sebagaimana disampaikan juga oleh Asy-Syathiri). Selain itu juga, para ulama menyatakan, keluar dari perselisihan ulama itu dianjurkan. Karena kesucian alkohol dalam parfum dan semisalnya itu diperselisihkan oleh para ulama, maka dianjurkan menghindarinya. Wallahu a’lam bish shawab. []
Facebook: Muhammad Abduh Negara