KEHADIRAN aplikasi semacam tiktok cash dan lain-lain sudah lama hadir di dunia maya. Mereka menawarkan koin atau poin yang bisa dirupiahkan setelah mencapai kuota tertentu yang disyaratkan. Sudah pasti, masing-masing mengajukan syarat, di antaranya meng-install aplikasi tersebut di smartphone pengguna.
Pertanyaan dari para pengguna, apakah dengan menjalankan aplikasi-aplikasi di atas, kemudian mendapatkan koin yang pada akhirnya bisa dirupiahkan itu sebagai pendapatan yang halal?
Jika kita menelurusi dari pola pemberian koin beberapa aplikasi di atas, terlepas dari apakah sumber keuangan mereka halal atau tidak, maka pendapatan yang diraih oleh pengguna termasuk dari akad ju’alah (sayembara).
BACA JUGA: Tiktok, Aisyah dan Fir’aun
Sebab, berdasarkan penjelasan yang diturutsertakan pihak developer di playstore, mereka membayar pengguna setelah pengguna mendapatkan poin yang disyaratkan. Misalnya setelah like, menonton, membaca dan seterusnya, mereka mendapatkan 0.01 USD. Jika saldo koin sudah terkumpul sebanyak 50 USD, maka koin itu baru bisa dirupiahkan.
Pada aplikasi Cashzine misalnya, pendapatan itu dapat diperoleh melalui dua mekanisme. Pertama, dengan jalan membaca berita yang disajikan oleh aplikasi. Dari setiap akses berita, pengguna aplikasi mendapatkan 50 koin. Dalam aturannya, mereka menstandarkan bahwa 5000 koin Cashzine bisa ditukar menjadi uang 1000 rupiah. Artinya, untuk mendapatkan 10 ribu rupiah, maka koin yang harus didapatkan adalah sebanyak 50 ribu koin, dan seterusnya, dengan perbandingan di atas.
Bonus juga dijanjikan bila memberikan referral kepada penggguna lain sehingga kemudian pengguna itu meng-install aplikasi tersebut pada handphone-nya. Bonus referral itu diberikan pihak developer secara langsung ke akun pemberi referral.
Artinya, tidak ada sepeserpun kerugian pihak yang diberi referral sehingga itu mutlak merupakan bonus dari developer. Oleh karenanya, bonus referral ini juga dipandang sah secara syara’.
Menimbang akad tersebut, maka jelas sudah bahwa akad yang berlaku antara pihak developer dan penggunanya adalah akad ju’alah, sebab dalam ju’alah berlaku ketentuan sebagai berikut.
“Disyaratkan dalam ja’lu (poin/koin/bonus) sesuatu diketahui (sesuatu yang jelas), karena ja’lu (poin) merupakan upah (‘iwadh), maka dari itu, wajib diketahui oleh peserta sayembara sebagaimana ujrah yang wajib diketahui pada akad ijarah (oleh penyewa),” (Taqiyuddin Al-Hushni, Kifayatul Akhyar, halaman 298).
Karena pendapatan pengguna aplikasi (ja’lu) adalah didasarkan pada pekerjaan mengakses/ membaca lewat aplikasi yang tersedia, serta tidak berhubungan dengan kontrak berbasis waktu, maka itu yang menjadi pembedanya untuk tidak memasukkan akad di atas sebagai akad ijarah.
BACA JUGA: Demam TikTok Bikin Shock!
Dengan merujuk pada keterangan Syekh Taqiyuddin Al-Hushni dalam Kifayatul Akhyar bahwa akad ju’alah merupakan akad jaizah (boleh) dalam hukum Islam, maka tanpa syak wasangka lagi, penghasilan yang didapat dari pengakses aplikasi di atas adalah halal bagi penggunanya sebab tidak ada unsur gharar (menipu), ghabn (curang), riba, maysir (spekulatif), atau menjual barang haram.
Namun ada hal penting yang kami garis bawahi dalam masalah ini. Mengingat pendapatannya sangat kecil. Anda perlu mempertimbangkan konsekuensi waktu dan pendapatan yang diperoleh. Apabila waktu yang terbuang tidak sebanding dengan yang didapatkan dan banyak kewajiban lain yang terabaikan, menurut hemat kami, ditinggalkan saja.
Wallahu a’lam. []