TITIK pembahasannya adalah, apakah seseorang yang menjadi mahram karena pernikahan yang sah dan halal, juga menjadi mahram jika itu hasil dari perzinaan?
Gambaran:
Fulan A dan Fulanah B menikah, kemudian Fulanah B melahirkan anak perempuan hasil pernikahannya, kita sebut Fulanah C. Fulanah C adalah anak dari Fulan A, dan jelas ia mahram baginya, dan Fulan A haram menikahi Fulanah C.
BACA JUGA:Â Ternyata, Hewan pun Jijik pada Zina?
Sekarang kita ubah, pernikahan dengan perzinaan. Fulan A berzina -wal ‘iyaadzu billah- dengan Fulanah B, kemudian Fulanah B melahirkan anak perempuan hasil perzinaannya, kita sebut Fulanah C.
Fulanah C boleh disebut anak biologis dari Fulan A, namun secara syar’i, ia bukan anaknya. Bolehkah Fulan A menikahi Fulanah C?
Mayoritas ahli fiqih menyatakan, Fulanah C haram dinikahi oleh Fulan A. Demikian juga, semua yang terkait dengan hubungan zina Fulan A dan Fulanah B, semisal cucunya dari anak hasil zina, keponakannya, dan seterusnya.
Artinya, jumhur fuqaha tidak membedakan konsekuensi kemahraman, baik hubungan dilakukan melalui pernikahan halal maupun melalui perzinaan.
BACA JUGA:Â Macam-macam Zina
Artinya, yang menjadi mahram karena pernikahan syar’i, juga menjadi mahram karena perzinaan.
Sedangkan Malik dan Asy-Syafi’i dalam pendapat yang masyhur dalam madzhabnya, tidak menganggap hasil perzinaan berkonsekuensi mahram.
Rujukan: Mausu’ah Masaail Al-Jumhur fi Al-Fiqh Al-Islami, karya Prof. Dr. Muhammad Na’im Muhammad Hani As-Sa’i, Jilid 2, Halaman 683, Penerbit Darussalam, Kairo, Mesir.
Penulis Mausu’ah Masaail Al-Jumhur merujuk pada: Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, Juz 7, Halaman 485.
Oleh: Muhammad Abduh Negara