MUSAQAH adalah akad muamalah antara pemilik lahan dengan pekerja, di mana pemilik lahan menyerahkan pemeliharaan pohon tertentu di lahan miliknya tersebut kepada pekerja, untuk diairi dan lain-lain, dengan bagi hasil dari buah yang dihasilkan, dengan redaksi tertentu.
Contohnya, Abdul Karim berkata kepada Ahmad, “Saya musaqahkan pohon kurma ini, selama satu tahun, untuk anda pelihara, dengan bagi hasil setengah (atau sepertiga, seperempat, dan seterusnya) dari buah yang dihasilkan.” Kemudian Ahmad berkata, “Saya terima.”
Dalil bolehnya musaqah adalah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membuka (menaklukkan) tanah Khaibar, kemudian mempekerjakan penduduk Yahudi di sana untuk mengelola pepohonan di sana, dengan bagi hasil setengah dari buah dan tanaman yang dihasilkan. Dan beliau mengutus ‘Abdullah bin Rawahah radhiyallahu ‘anhu setiap tahun, untuk mengambil jatah setengah buah-buahan dan tanaman tersebut.
BACA JUGA:Â Dropshipper Termasuk dalam Akad Samsaroh atau Wakalah?
Akad musaqah sah berdasarkan ijma’, tidak ada khilaf di kalangan ulama. Perbedaan hanya pada pohon yang boleh diakadkan musaqah, apakah seluruh pohon, atau jenis pohon tertentu saja.
Syafi’iyyah membatasi akad musaqah hanya pada pohon kurma dan anggur saja. Hal ini karena yang disebutkan dalam nash, hanya pohon kurma saja. Pohon anggur diqiyaskan dengan pohon kurma, karena sama-sama diwajibkan zakat padanya dan bisa ditaksir atau diperkirakan kadarnya. Dan itu tidak berlaku pada pohon lainnya. Juga karena pohon lainnya, umumnya bisa tumbuh tanpa pemeliharaan khusus.
Sedangkan muzara’ah, adalah akad antara pemilik lahan dan pekerja, yang pemilik lahan menyerahkan lahan miliknya kepada pekerja untuk digarap dan ditanami tanaman, di mana bibit tanaman berasal dari pemilik lahan, dan tanaman yang dihasilkan dibagi bersama (bagi hasil) antara pemilik lahan dan pekerja.
Mukhabarah mirip dengan muzara’ah. Bedanya, dalam akad mukhabarah, bibit tanaman berasal dari pekerja, bukan dari pemilik lahan.
Akad muzara’ah dan mukhabarah ini tidak sah menurut pendapat yang masyhur dan mu’tamad di kalangan Syafi’iyyah. Sedangkan menurut Malikiyyah dan madzhab qadim Imam Asy-Syafi’i, keduanya sah. Dan keabsahan kedua akad ini, yang dipilih oleh Imam An-Nawawi.
Hukum Musaqah, Muzara’ah, dan Mukhabarah

Untuk muzara’ah, jika ia menjadi akad mandiri, tidak sah, sedangkan jika ia mengikuti akad musaqah, sah. Adapun mukhabarah, menurut madzhab jadid, tidak sah, baik secara mandiri maupun mengikuti musaqah.
Syarat kebolehan muzara’ah yang mengikuti musaqah, ada empat, yaitu:
BACA JUGA:Â Akad Wadiah di Bank Syariah Itu Adalah Akad Qardh?
1. Lafazh musaqah lebih dulu diucapkan dalam akad, atau minimal berbarengan dengan muzara’ah, tidak boleh lebih akhir. Contoh akadnya: “Saya musaqahkan pohon kurma ini dengan bagi hasil setengah dari buahnya dan saya muzara’ah-kan lahan ini dengan bagi hasil setengah dari tanaman yang dihasilkan.”

2. Akad keduanya disatukan. Jika akad musaqah tersendiri, dan akad muzara’ah tersendiri, tidak boleh.
3. Pekerja yang melaksanakan musaqah dan muzara’ah itu satu, tidak boleh untuk musaqah satu pekerja, dan untuk muzara’ah pekerja yang lain.
4. Tidak memungkinkan membuat akad musaqah saja, tanpa muzara’ah. Jika bisa dan mudah, mengadakan akad musaqah saja, maka tidak boleh disertakan dengan akad muzara’ah.
Wallahu a’lam. []
Rujukan: At-Taqrirat As-Sadidah, Qism Al-Buyu’ Wa Al-Faraidh, karya Syaikh Hasan bin Ahmad Al-Kaf, Halaman 130-135, Penerbit Dar Al-Mirats An-Nabawi, Hadramaut, Yaman.
Oleh: Muhammad Abduh Negara