SAAT ini sudah ramai beredar di masyarakat paket lebaran yang ditawarkan oleh orang tertentu, di mana nasabah membayar cicilan per hari, per pekan atau per bulan sampai Ramadhan Nantinya nasabah akan mendapatkan barang yang dijanjikan oleh penyedia layanan paket lebaran tersebut, apakah itu parcel lebaran, daging sapi, atau lainnya.
Ada juga yang kembali uang utuh tetapi disertai bonus berupa makanan. Ada juga yang uangnya kembali setengahnya, sementara setengahnya lagi dalam wujud makanan untuk lebaran. Menurut hukum Islam apakah paket lebaran seperti itu dibenarkan?
BACA JUGA: Atheisme dan Riba
Ada beberapa model paket lebaran. Ada yang masuk kategori jual beli tidak tunai, ada juga yang berbentuk tabungan atau simpanan. Maka tentu ketentuan hukumnya pun ada perbedaan. Untuk contoh parcel lebaran atau daging sapi masuk kategori jual beli tidak tunai.
Sementara untuk contoh uang kembali utuh ditambah bonus, ini masuk kategori simpanan atau tabungan. Dan yang uang kembali setengahnya sedang yang setengahnya lagi berwujud parcel lebaran, ini masuk kategori simpanan dan jual beli sekaligus.
Untuk jual beli tidak tunai, secara umum diperbolehkan tetapi dengan syarat barangnya sudah ada, atau bisa disediakan oleh pihak penerima pesanan (istishna’). Model pembayarannya bisa dilangsungkan di muka sekaligus lalu barang yang dibelinya diterima kemudian (salam) atau barang yang dibelinya diterima dahulu lalu pembayaran diangsur atau dicicil (mu`ajjal atau taqsith).
Bisa juga barangnya belum ada, baru sebatas memesan, tetapi sudah melakukan pembayaran uang muka (‘urban atau panjar) asalkan sistemnya saling ridha dan tidak ada yang dizalimi. Maksudnya kalau barang yang dipesan tidak kunjung bisa dipenuhi, maka uang panjar itu harus dikembalikan oleh penjual kepada pemesan.
Jika yang membatalkannya dari pihak pemesan, maka penjual harus jujur dengan kerugian yang dialaminya akibat pembatalan pemesanan tersebut. Jika tidak ada kerugian, maka penjual harus mengembalikan uang panjar secara utuh. Tetapi jika ada kerugian maka uang panjar itu diambil seukuran kerugiannya, sisanya dikembalikan lagi kepada pemesan.
Atau jika kerugiannya tidak tertutup oleh uang panjar, maka penjual bisa menagih uang ganti rugi tambahan kepada pemesan yang membatalkan pesanannya. Uang panjar itu hanya sebagai pengikat awal saja, bukan otomatis berpindah kepemilikan. Jadi jual beli ‘urban atau panjar ini pada hakikatnya masuk kategori jual beli tunai biasa yang ketika ada barang maka pembayarannya ditunaikan. Kalaupun kemudian dicicil berarti masuk kategori jual beli angsuran (mu`ajjal atau taqsith) yang sama dihalalkan juga.
Akan tetapi jika yang terjadi pembeli tidak membayar tunai dan penjual juga tidak menyerahkan barang yang dijual secara tunai, maka ini masuk kategori jual beli utang dengan utang. Model paket cicilan lebaran untuk memperoleh parcel lebaran atau daging sapi ketika lebaran termasuk dalam jenis jual beli utang dengan utang ini, sebab penjual menjual barangnya dengan utang (tidak diberikan tunai saat transaksi) dan pembeli pun membelinya dengan utang (tidak tunai melainkan diangsur).
Para ulama sepakat model jual beli utang dengan utang seperti itu hukumnya haram. Sisi keharamannya karena ada kesamaan dengan riba, dimana yang terjadi adalah pengambilan keuntungan di balik transaksi utang piutang, bukan murni jual beli. Al-Hafizh Ibn Hajar misalnya dalam Bulughul-Maram memasukkan pembahasan tema ini dalam bab riba:
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ بَيْعِ اَلْكَالِئِ بِالْكَالِئِ, يَعْنِي: اَلدَّيْنِ بِالدَّيْنِ. رَوَاهُ إِسْحَاقُ وَالْبَزَّارُ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ
Dari Ibn ‘Umar ra: “Sesungguhnya Nabi saw melarang penjualan bertempo dengan pembayaran bertempo.” Yaitu: Utang dengan utang. Ishaq dan al-Bazzar meriwayatkannya dengan sanad dla’if (Bulughul-Maram bab ar-riba no. 846).
BACA JUGA: Kejamnya Riba
Dalam at-Talkhishul-Habir, al-Hafizh menjelaskan sanad hadits di atas dha’if karena melalui rawi Musa ibn ‘Ubaidah yang dla’if. Al-Hafizh mengutip penjelasan Imam Ahmad sebagai berikut:
لَا تَحِلُّ عِنْدِي الرِّوَايَةُ عَنْهُ وَلَا أَعْرِفُ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ غَيْرِهِ. وَقَالَ أَيْضًا: لَيْسَ فِي هَذَا حَدِيثٌ يَصِحُّ لَكِنَّ إجْمَاعَ النَّاسِ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ بَيْعُ دَيْنٍ بِدِينٍ
“Bagiku tidak halal meriwayatkan darinya, dan aku tidak tahu hadits ini ada dari selainnya.” Tetapi Imam Ahmad berkata juga: “Tidak ada satu hadits shahih pun dalam tema ini, tetapi sudah menjadi ijma’ (kesepakatan) tidak boleh jual beli utang dengan utang.” (at-Talkhishul-Habir bab al-qabdl wa ahkamihi no. 1208).
Ada banyak model dari jual beli utang dengan utang. Imam as-Shan’ani dalam Subulus-Salam setidaknya menjelaskan dua model:
1. Penjual dan pembeli sama-sama nasi`ah (bertempo/tidak tunai). Penjual tidak tunai memberikan barangnya pada saat transaksi, demikian juga pembeli tidak tunai melakukan pembayarannya.
2. Seseorang yang membeli satu barang kepada seorang penjual secara kredit, tetapi ketika jatuh tempo ia meminta transaksi baru lagi sampai tempo berikutnya lagi dan sanggup membayar dengan harga yang dilebihkan lagi (Subulus-Salam bab ar-riba). Model yang kedua ini lebih jelas ribanya karena ada pemberlakuan kelebihan harga (riba/bunga) ketika ada tambahan tempo/waktu.
Atau sebagaimana dijelaskan Imam Malik: (3) Menjual satu barang secara tidak tunai kepada seorang pembeli dan pembeli tersebut melimpahkan pembayarannya kepada orang lain yang berutang kepadanya (Muwaththa` Malik bab as-sulfah fil-‘arudl no. 70).
Jual beli utang dengan utang juga diharamkan karena ada unsur gharar (gambling/ketidakpastian)–nya, sebab tidak mustahil harga daging sapi pada bulan Juni 2020 berbeda signifikan dengan harga daging sapi pada bulan April 2021, bisa lebih murah atau bisa lebih mahal. Demikian halnya dengan kebutuhan pokok atau makanan ringan yang umum dijadikan parcel lebaran.
Keuntungan atau kerugian yang serba tidak pasti ini termasuk gharar dan bisa menjadi pangkal perselisihan antara pedagang dan pembeli. Termasuk dalam gharar juga model transaksi yang pembayarannya dilimpahkan oleh pembeli kepada pihak ketiga yang berutang kepadanya, sebab belum jelas bagaimana orangnya, apakah sanggup membayar, apakah bisa dipercaya, dan semacamnya.
Solusi dari paket cicilan lebaran yang seperti ini adalah memberlakukan dua akad dalam dua waktu yang berbeda. Pertama, akad menabung terlebih dahulu. Misalkan Rp. 10.000,-/minggu untuk waktu 45 minggu. Jadi sesudah 45 minggu uang yang terkumpul Rp. 450.000,-. Kalau disepakati ada uang administrasi sebagai ujrah (jasa/upah) sebesar Rp. 10.000,- misalnya, diperbolehkan berdasarkan akad mu’ajarah (jasa). Sehingga uang yang terkumpul keseluruhannya Rp. 440.000,-. Sesudah selesai tabungan sebesar Rp. 440.000,- baru kemudian diberlakukan akad kedua, yakni jual beli sesuai harga yang ada pada tahun depannya. Pada saat itu sudah pasti jelas berapa harga daging sapi, kebutuhan pokok, atau makanan ringan yang akan dijadikan kebutuhan lebaran. Baru kemudian dilakukan transaksi jual beli secara transparan.
Tetapi tentunya antara akad menabung dan akad jual beli itu tidak boleh dijadikan mengikat atau bersyarat; di mana yang menabung untuk keperluan lebaran tersebut harus melanjutkannya dengan akad membeli kebutuhan lebaran kepada penyedia layanan jasa tabungan. Model yang seperti ini sama saja dengan hailah (tipu daya) untuk mengelabui yang haram, sebab jadinya sama saja dengan jual beli utang dengan utang sebagaimana diulas di atas. Atau masuk dalam kategori menggabungkan dua transaksi dalam satu transaksi yang jelas haramnya, sebab transaksi menabung (pinjaman/simpanan) harus disatukan dengan transaksi jual beli. Semestinya akad tabungan itu tidak mengikat dengan keharusan membeli kepada penyedia layanan tabungan. Bagi yang ingin melanjutkannya dengan akad jual beli barang kebutuhan lebaran dipersilahkan, dan bagi yang tidak ingin melanjutkan pada akad jual beli juga dipersilahkan. Dalil-dalil yang melarangnya adalah:
وَعَنْهُ قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ. رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالنَّسَائِيُّ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ حِبَّانَ
Dari Abu Hurairah ra: “Rasulullah saw melarang dua transaksi dalam satu transaksi.” Riwayat Ahmad dan Nasa’i. Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Ibn Hibban (Bulughul-Maram kitab al-buyu’ bab syuruthihi wa ma nuhiya ‘anhu no. 818).
وَعَنْ عَمْرِوِ بْنِ شُعَيْبٍ, عَنْ أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِي بَيْعٍ, وَلَا رِبْحُ مَا لَمْ يُضْمَنْ, وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ. رَوَاهُ الْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ خُزَيْمَةَ, وَالْحَاكِمُ
Dari ‘Amr ibn Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya: Rasulullah saw bersabda: “Tidak halal pinjam dan jual-beli, dua syarat dalam satu transaksi, keuntungan yang belum terjamin, dan menjual yang tidak kamu miliki.” Riwayat Lima Imam. Hadits shahih menurut at-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan al-Hakim (Bulughul-Maram kitab al-buyu’ bab syuruthihi wa ma nuhiya ‘anhu no. 820).
Praktik tabungan yang diharuskan untuk melanjutkannya dengan jual beli termasuk pada larangan “dua transaksi dalam satu transaksi, pinjam dan jual-beli, dan dua syarat dalam satu transaksi”. Model akad seperti ini diharamkan karena pasti rentan dengan “keterpaksaan” yang melanggar syarat halal jual beli ‘an taradlin; harus ada saling ridla antara penjual dan pembeli. Meski ada sebagiannya yang merasa taradlin; saling ridha saja, tetap saja celah menuju keterpaksaannya terbuka lebar. Celah menuju yang haram wajib ditutup, maka statusnya jadi haram. Di samping teks dalil juga jelas mengharamkannya, sehingga alasan saling ridla tidak bisa kemudian menghalalkannya.
Dengan penjelasan ini maka model paket cicilan lebaran di mana setengahnya dikembalikan dalam bentuk uang dan setengahnya lagi dibelikan barang kebutuhan lebaran juga termasuk pada menyatukan dua transaksi dalam satu transaksi. Hukumnya haram. Semestinya tetap dipisahkan antara akad menabung dan akad jual beli, dan masing-masingnya tidak boleh saling mengikat dan menjadi bagian dari persyaratan.
Sementara model paket lebaran yang murni tabungan, dimana penabung akan mendapatkan uang tabungannya secara utuh—tentunya sesudah dipotong admin ujrah (upah)—tetapi ia kemudian mendapatkan bonus, maka status bonus ini harus jelas asalnya dari mana. Jika berasal dari keuntungan yang halal sebagai hasil usaha pihak penerima tabungan yang mengalirkan uang tabungan yang diterimanya pada usaha-usaha halal, maka status bonus tersebut pun halal.
BACA JUGA: Larangan Riba, Begini Al-Qur’an Menjelaskannya
Akan tetapi jika berasal dari bunga rente yang dialirkan oleh penerima tabungan kepada pihak ketiga dalam bentuk pinjaman berbunga, maka status bonus itu otomatis haram juga. Para penabung paket lebaran yang sudah mengetahui bahwa penerima tabungan adalah rentenir atau bank keliling maka sama statusnya dengan para pendukung dan pemberi modal riba. Statusnya sama-sama terlaknat akibat riba.
عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم آكِلَ الرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
Dari Jabir, ia berkata: Rasulullah saw melaknat pemakan riba, orang yang memberinya, pencatatnya, dan kedua pihak saksinya. Beliau bersabda: “Mereka semua sama.” (Shahih Muslim kitab al-musaqah bab la’ni akilir-riba wa mu`kilahu no. 2995).
Itu pun tidak berarti bahwa yang tabungannya tidak berbonus otomatis halal. Tetap saja harus diselidiki apakah tabungan nasabah tersebut kemudian digunakan untuk praktik riba atau tidak. Jika jelas digunakan untuk praktik riba maka hurumnya tetap haram meski tabungannya tidak berbonus. Wallahualam. []
SUMBER: ATTAUBAH INSTITUTE