TAKBIR di hari raya boleh dilakukan sendiri-sendiri atau berjama’ah. Ini merupakan pendapat sekelompok para ulama’ salaf. Bahkan sebagian ulama’ ada yang menyatakan sebagai pendapat jumhur (mayoritas ulama’).
Hal ini berdasarkan beberapa argument, diantaranya:
Pertama:
Perintah takbir dalam surat Al-Baqarah ayat : 185, sifatnya mutlak. Tidak dibatasi oleh sesuatupun. Dalam kaidah ushul fiqh, dalil yang mutlak diamalkan sesuai kemutlakannya, sampai ada dalil lain yang mentaqyidnya ( membatasinya ). Sehingga dibolehkan bertakbir secara sendiri-sendiri ataupun berjama’ah. Barang siapa yang mengeluarkan surat Al-Baqarah : 185 dari kemutlakannya, dan membatasi hanya takbir sendiri-sendiri, maka dituntut untuk mendatangkan dalil yang shohih dan jelas yang mengeluarkan dari makna asalnya.
Adapun pihak yang mengamalkan ayat di atas sesuai kemutlakannya, maka jangan ditanya dalil lagi. Karena mereka telah beramal di atas dalil. Yang perlu ditanya dalil, orang yang membatasi takbiran harus sendiri-sendiri.
BACA JUGA: Hukum Takbiran (1)
Kedua:
Adapun dari hadits nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam-, diantaranya : Hadits Ummu Athiyyah –rodhiallohu ‘anha- beliau berkata :
«كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ العِيدِ حَتَّى نُخْرِجَ البِكْرَ مِنْ خِدْرِهَا، حَتَّى نُخْرِجَ الحُيَّضَ، فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ، فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ، وَيَدْعُونَ بِدُعَائِهِمْ يَرْجُونَ بَرَكَةَ ذَلِكَ اليَوْمِ وَطُهْرَتَهُ»
“Pada hari Raya Ied kami diperintahkan untuk keluar sampai-sampai kami mengajak para anak gadis dari kamarnya dan juga para wanita yang sedang haid. Mereka duduk di belakang barisan kaum laki-laki dan mengucapkan takbir mengikuti takbirnya kaum laki-laki, dan berdoa mengikuti doanya kaum laki-laki dengan mengharap barakah dan kesucian hari raya tersebut.” [ HR. Al-Bukhari : 971 ].
Sisi pendalilan dari riwayat di atas, pada kalimat “( mereka para wanita ) mengucapkan takbir mengikuti takbir kaum laki-laki”. Makna yang dzohir ( tampak ) dari kalimat ini, takbir dilakukan secara bersama-sama ( jama’ah ).
Dalam kaidah ushul fiqh, suatu dalil yang memiliki makna dzohir, maka dipahami dan diamalkan sesuai dzohirnya. Tidak boleh bagi kita untuk keluar dari makna dzohirnya, sampai ada dalil yang mengeluarkannya dari makna asal kepada makna yang lain.
Telah diriwayatkan al-imam Al-Bukhari –rohimahullah- secara mu’allaq dari Abdullah bin Umar –rodhiallohu ‘anhu- :
«يُكَبِّرُ فِي قُبَّتِهِ بِمِنًى فَيَسْمَعُهُ أَهْلُ المَسْجِدِ، فَيُكَبِّرُونَ وَيُكَبِّرُ أَهْلُ الأَسْوَاقِ حَتَّى تَرْتَجَّ مِنًى تَكْبِيرًا»
“Sesungguhnya beliau bertakbir di atas menaranya di Mina, maka orang-orang di masjid mendengar hal itu, lalu mereka bertakbir, dan bertakbir pula orang-orang di pasar sehingga Mina goncang dan bergerak ( maksudnya : gegap gempita ) dengan suara takbir.” [ Shohih Al-Bukhari : 2/20 ].
Ibnu Hajar –rohimahullah- mengatakan :
وَصَلَهُ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ مِنْ رِوَايَةِ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ كَانَ عُمَرُ يُكَبِّرُ فِي قُبَّتِهِ بِمِنًى وَيُكَبِّرُ أَهْلُ الْمَسْجِدِ وَيُكَبِّرُ أَهْلُ السُّوقِ حَتَّى تَرْتَجَّ مِنًى تَكْبِيرًا وَوَصَلَهُ أَبُو عُبَيْدٍ مِنْ وَجْهٍ آخَرَ بِلَفْظِ التَّعْلِيقِ وَمِنْ طَرِيقِهِ الْبَيْهَقِيُّ
“Riwayat ini telah dimaushulkan ( disambung sanadnya ) oleh Sa’id bin Manshur dari riwayat ‘Ubaid bin ‘Umari dia berkata : “Sesungguhnya beliau bertakbir di atas menaranya di Mina, maka orang-orang di masjid mendengar hal itu, lalu mereka bertakbir dan bertakbir pula orang-orang di pasar sehingga Mina goncang dan bergerak ( maksudnya : gegap gempita ) dengan suara takbir.” Dan hal ini telah dimaushulkan oleh Abu ‘Ubaid dari sisi yang lain dengan lafadz ta’liq. Al-Baihaqi juga telah meriwayatkan dari jalurnya”. [ Fathul Bari : 2/462 ].
Saya ( penulis ) berkata : Ucapan Ibnu Hajar –rohimahullah- “Al-Baihaqi juga telah meriwayatkan dari jalurnya”, maksudnya Al-Baihaqi telah meriwayatkan atsar dari Umar di atas, dari jalur periwayatan Abu Ubaid. Sebagaimana beliau berkata dalam “Sunan Al-Baihaqi” : 3/312 : Abu Abdillah Al-Hafidz telah mengabarkan kepada kami, dia berkata : Abu Bakar bin Ishaq telah menceritakan kepada kami, dia berkata : Abu Ubaid berkata : Yahya bin Said telah menceritakan kepadaku, dari Ibnu Juraij dari Atho’ dari Ubaid bin Umair dari Umar……-kemudian beliau menyebutkan riwayat di atas .”
Kemudian beliau ( Ibnu Hajar ) –rohimahullah- berkata :
وَقَوْلُهُ تَرْتَجُّ بِتَثْقِيلِ الْجِيمِ أَيْ تَضْطَرِبُ وَتَتَحَرَّكُ وَهِيَ مُبَالَغَةٌ فِي اجْتِمَاعِ رفع الْأَصْوَات
“Ucapannya “tartajju” dengan tatsqiil di huruf jim, artinya : goncang dan bergerak. Dan ini ( maknanya ) : menunjukkan berlebihan di dalam berkumpul/berjama’ah dalam mengeraskan suara”. [ Fathul Bari : 2/462 ].
Al-Imam Al-‘Aini –rohimahullah- ( wafat : 855 H ) berkata :
قَوْله: (حَتَّى ترتج) يُقَال: ارتج الْبَحْر، بتَشْديد الْجِيم إِذا اضْطربَ، والرج: التحريك. قَوْله: (منى) فَاعل: ترتج. قَوْله: (تَكْبِيرا) نصب على التَّعْلِيل، أَي: لأجل التَّكْبِير، وَهُوَ مُبَالغَة فِي إجتماع رفع الْأَصْوَات.
“ Ucapannya “sehingga tartajju”, dikatakan :: “Laut itu irtajja” dengan ditasydiid di huruf jim, ( artinya ) : Apabila bergelombang atau goncang atau bergerak. Ar-rajju artinya bergerak. Dan ucapannya “Mina”, sebagai fail ( pelaku perbuatan ) dari kata kerja tartajju. Ucapannya “takbiran”, dalam kondisi manshub sebagai ta’lil ( sebab ), artinya : karena takbir. Dan hal ini sebagai bentuk berlebihan/menyangatkan dalam berkumpul/berjama’ah dalam mengangkat suara.” [ Umdatul Qori’ : 2/292 ].
Al-Imam Asy-Syaukani –rohimahullah- berkata :
وَقَوْلُهُ: (تَرْتَجُّ) بِتَثْقِيلِ الْجِيمِ: أَيْ تَضْطَرِبُ وَتَتَحَرَّكُ، وَهِيَ مُبَالَغَةٌ فِي اجْتِمَاعِ رَفَعَ الْأَصْوَاتِ.
“Ucapannya “Tartajju”, dengan tatsqiil di huruf jim, artinya : goncang dan bergerak. Dan ini menunjukkan akan bentuk berlebihan/menyangatkan dalam berkumpul/berjama’ah dalam mengangkat suara.” [ Nailul Author : 3/374 ].
Al-Imam Asy-Syafi’i –rohimahullah- berkata :
فاذاراواهلال شوال احببت ان يكبر الناس جماعة و فرادي في المسجدوالاسواق والطرق والمنازل و مسافرين ومقيمين في كل حال واين كانوا و ان يظهروا التكبير
“Maka apabila mereka melihat hilal bulan Syawwal, aku sangat menganjurkan agar manusia bertakbir secara BERJAMA’AH atau SENDIRI-SENDIRI di masjid, pasar-pasar, jalan-jalan, rumah-rumah, musafir dan muqim di seluruh keadaan dan di manapun mereka berada untuk menampakkan takbir”. [ Al-Umm : 1/231 ].
Beliau –rohimahullah- juga berkata :
ويستحب الانفرادفي التكبير حالة المشي للمصلي و اما تكبير جماعة وهم جالسون في المصلي فهذا هوالذي استحسن
“Dianjurkan sendiri-sendiri dalam takbir dalam keadaan berjalan bagi orang yang akan sholat. Adapun takbir SECARA BERJAMA’AH DAN MEREKA DALAM KONDISI DUDUK DI MUSHALA, maka ini perkara yang baik”. [ Bulghatus Salik : 1/304 ].
BACA JUGA: Takbiran di Malam Idul Fitri, Adakah Tuntunannya?
Demikian secara jelas dan tegas Al-Imam Asy-Syafi’i –rohimahullah- memperbolehkan untuk bertakbir secara berjama’ah. Oleh karena itu, menurut kami, adat takbiran baik sendiri atau berjama’ah di masjid-masjid atau takbir keliling yang sudah berjalan di negeri kita ini, merupakan suatu perkara yang baik. Karena sudah bersandar kepada dalil dan mengikuti fatwa seorang mujtahid mutlak sekelas imam Asy-Syafi’i.
Apakah kita akan berani menyatakan imam Asy-Syafi’i telah mengadakan bid’ah dalam agama ? Tentu tidak. Atau beliau tidak punya sandaran dalil ? Tentu tidak. Siapa kita sampai berani berkata demikian. Benar ucapan yang berbunyi “Semoga Allah merahmati seorang yang mengetahui kadar dirinya”.
Jika anda ternyata punya pendapat lain, cukup bagi anda untuk berlapang dada dan menghormati mereka yang mengamalkannya. Jangan sampai masalah furuiyyah yang bersifat ijtihadiyyah menjadi sebab untuk saling mencela dan bermusuhan, apalagi menyesatkan. Dan inilah madzhab salaf. Walaupun bagi kami, mengikuti adat setempat yang telah berjalan merupakan perkara yang lebih baik sepanjang bukan termasuk pelanggaran agama. Ibnu Aqil Al Hambali berkata :
لا ينبغي الخروج من عادات الناس
“Tidak seyogyanya untuk keluar dari adat manusia” (selama tidak melanggar ketentuan syariat). []
Facebook: Abdullah Al Jirani