10. MENURUT hujjah golongan yang pertama, bahwa ada dua kewajiban yang ditanggungnya, yaitu shalat dan pelaksanaannya pada waktunya. Jika satu ditinggalkan, maka akan menyisakan satunya lagi. Yang seperti ini berlaku jika yang satu tidak berkait dengan satunya lagi dalam kaitan syarat, seperti orang yang diperintahkan untuk menunaikan haji dan zakat.
Jika satu dikerjakan, tidak akan menggugurkan satunya lagi. Tapi jika salah satu merupakan syarat bagi yang lain, maka bagaimana mungkin dia diperintahkan untuk mengerjakan yang satu tanpa yang lainnya?
11. Tentang sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Apabila aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah, maka kerjakanlah menurut kesanggupan kalian”, terlalu jauh untuk dijadikan hujjah.
Sabda beliau ini menunjukkan bahwa orang yang mukallaf dalam keadaan tidak mampu untuk mengerjakan sejumlah perintah, sehingga dia cukup mengerjakan apa yang disanggupinya, seperti orang yang tidak mampu berdiri sewaktu shalat, atau menyempurnakan anggota wudhu’.
BACA JUGA:Â Kisah Taubatnya Seorang Penari Terkenal Mesir
Atau menginfakkan harta yang wajib diinfakkan, atau lain-lainnya, sehingga dia bisa mengerjakannya menurut kesanggupannya dan dia dimaafkan tentang apa yang ada di luar kesanggupannya.
Tapi orang yang tidak melaksanakan apa yang diperintahkan hingga keluar dari waktunya secara sengaja atau meremehkannya tanpa ada alasan, maka tidak perlu dibicarakan lagi di sini, karena permasalahannya sudah jelas.
12. Perkataan golongan pertama, “Apa anggapan orang terhadap syariat, karena ia membebaskan orang yang sengaja meninggalkan fardhu dan durhaka kepada Allah untuk meninggalkan fardhu itu, sementara ia mewajibkannya kepada orang meninggalkan fardhu itu dengan alasan”, sulit diterima.
Karena orang yang berhalangan melaksanakan shalat itu melaksanakannya sesuai dengan perintah seperti pada saat-nya.
13. Perkataan golongan pertama, “Shalat di luar waktu merupakan pengganti daripada shalat pada waktunya. Jika ibadah ada penggantinya dan ada alasan dari apa yang diganti, maka apa yang diwajibkan bisa beralih kepada penggantinya”, hanya sekedar isapan jempol dan pernyataan yang dibuat sepintas lalu saja.
Apa dalil yang menunjukkan bahwa shalat orang yang mengabaikan itu ada penggantinya? Sesuatu dianggap sebagai pengganti bisa diketahui dari apa yang ditetapkan syariat, seperti pensyariatan tayammum saat tidak sanggup menggunakan air dan makan saat tidak kuat berpuasa.
14. Mengerjakan shalat di luar waktunya dianggap sah, yang diqiyaskan kepada pembayaran hutang di antara manusia, yang dianggap sah jika dilaksanakan di luar waktu yang telah ditetapkan, jelas merupakan qiyas yang tidak tepat. Sebab waktu pembayaran hutang tidak memiliki batasan seperti halnya shalat.
15. Tentang Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang menunda shalat ashar hingga setelah tenggelamnya matahari sewaktu perang Ahzab, maka ada dua pendapat di antara para ulama, apakah hal ini mansukh (dihapus) atau tidak?
Jumhur, seperti Ahmad, Asy-Syafi’y dan Malik berpendapat, ini terjadi sebelum turunnya shalat khauf. Karena itu masalah ini pun dianggap hangus dengan datangnya shalat khauf. Penundaan itu mirip dengan penundaan karena ada dua shalat yang dijama’.
Jadi tidak shalat ashar pada waktunya jangan dianggap sama dengan sesuatu yang diharamkan. Pendapat kedua mengatakan bahwa kejadian ini tidak dihapus. Orang yang sedang berperang mempunyai hak untuk menunda shalatnya, karena dia sibuk dengan urusan peperangan, lalu mengerjakannya pada saat yang memungkinkan.
Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan juga ada riwayat dari Ahmad. Berdasarkan dua pendapat ini, maka menunda shalat dengan sengaja tidak diang gap sah.
BACA JUGA:Â Kisah Ahli Maksiat yang Bertaubat dan Menjadi Ahli Surga
Begitu pula yang dilakukan para shahabat saat menunda shalat ashar sewaktu perang Bani Quraizhah. Bahkan penundaan itu berdasarkan perintah dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Ini menurut pendapat Ahli Zhahir. Sementara ada pula yang menganggap penundaan itu memerlukan ta’wil. Karena itu beliau tidak menghardik salah satu pihak di antara para shahabat.
16. Tentang perkataan golongan pertama, “Setiap orang yang bertaubat mempunyai jalan untuk bertaubat. Lalu mengapa jalan taubat ini harus ditutup dan dosa kesia-siaan harus ditanggungnya?”
Tentu saja tidak mungkin bagi Allah untuk menutup pintu yang telah dibukakan-Nya bagi semua hamba yang berdosa, hingga mereka meninggal dunia, semenjak matahari terbit dari tempat tenggelamnya. Tapi
yang perlu dipertimbangkan adalah cara taubat dan penerapannya. Apakah jelas ada kepastian hukum bahwa shalat itu memang perlu diqadha’ dan apa yang telah dilakukannya itu dianggap angin lalu, bukan merupakan pahala baginya dan bukan merupakan dosa di pundaknya?
Apakah hukumnya seperti orang kafir yang masuk Islam, sehingga amalnya dianggap tidak ada dan taubatnya langsung diterima?
Sedangkan taubat orang yang tidak sanggup memenuhi hak, yang berkaitan dengan hak manusia, bisa digambarkan lewat beberapa masalah, ini dia:
Pertama: Seseorang mengambil harta orang lain, kemudian pada kesempatan lain dia bertaubat namun tidak mampu mengembalikan apa yang telah diambilnya itu kepada pemiliknya atau kepada ahli warisnya, karena dia tidak mengenal mereka atau alasan lainnya. Ada perbedaan pendapat dalam masalah ini.
Ada golongan yang berpendapat, taubatnya tidak berarti sama sekali kecuali dengan mengembalikan hak kepada orang yang berhak menerimanya. Jika dia tidak sanggup, maka taubatnya juga tidak bisa diterima. Maka pada hari kiamat nanti akan diberlakukan qishash berdasarkan kebaikan dan keburukannya.
Menurut pendapat mereka, karena hal ini berkait dengan hak manusia yang lepas darinya. Sementara Allah tidak membiarkan sedikit pun di antara hak-hak hamba, sehingga sebagian memenuhi hak itu terhadap sebagian yang lain, tidak ada kezhaliman orang yang zhalim.
Orang yang dizhalimi harus mengambil hak dari orang yang menzhaliminya, sekalipun itu hanya berupa satu tamparan, serangan kata-kata atau lemparan kerikil.
Cara lain yang bisa dilakukan orang yang zhalim ialah dengan memperbanyak kebaikan, agar dia dapat memenuhi hak yang telah dirampasnya pada hari yang harta tidak bermanfaat apa-apa. Dia harus berbisnis agar dapat memenuhi hak.
Ada pula yang sangat bermanfaat baginya, yaitu bersabar jika kemudian dia dizhalimi orang lain, disakiti, digunjing dan dituduh macam-macam. Dia tidak perlu meminta haknya di dunia dan tidak perlu membalasnya, supaya kebaikannya tidak habis. Sebab selagi dia menuntut pemenuhan hak, maka keduanya dalam posisi yang sama.
Ada perbedaan pendapat tentang harta yang ada di tangannya. Segolongan orang mengatakan, harta itu harus dibekukan dan tidak boleh dipergunakanuntukkeperluanapapun.
Golongan lain berpendapat, harta itu diserahkan kepada penguasa atau kepada wakil yang sudah ditunjuk, menunggu sampai menemukan ahli warisnya. Jadi hukumnya seperti harta yang hilang.
Kedua: Jika seseorang mengambil hak orang lain, lalu dia bertaubat dan ingin mengembalikan hak itu, namun dia tidak mampu. Kemudian ada orang lain yang sanggup membantunya, namun bantuannya berasal dari harta yang haram, seperti dari hasil melacur, bernyanyi, menjual khamr dan lain-lainnya. Sementara uang ganti rugi itu masih ada di tangannya.
BACA JUGA:Â Beda Taubat dengan Hati dan Istighfar
Maka bagaimana hukumnya? Segolongan orang berpendapat, dia harus mengembalikan harta itu kepada pemiliknya, karena dia tidak berhak menerimanya kecuali menurut ketentuan yang diperbolehkan syariat. Ada pula yang berpendapat, uang itu harus dishadaqahkan.
Ketiga: Seseorang mengambil harta, lalu pemiliknya meninggal dunia, sehingga dia tidak bisa mengembalikan lagi kepada pemiliknya. Seperti yang sudah ditentukan, dia harus menyerahkannya kepada ahli warisnya.
Jika ahli warisnya juga sudah meninggal dunia, maka dia harus menyerahkan kepada ahli waris berikutnya. Begitu seterusnya.
Jika dia tidak bisa mengembalikan kepada pemiliknya atau pun kepada salah seorang ahli warisnya, siapakah yang berhak menuntut di akhirat? Apakah pemilik aslinya ataukah ahli warisnya yang menerima pengalihan hak itu?
Ada dua pendapat di kalangan fuqaha’ dan dua pendapat dalam madzhab Asy-Syafi’y Namun pertanyaan ini dapat dijawab sebagai berikut:
Penuntutan itu menjadi hak pewaris yang menjadi pemilik asli dan juga hak masing-masing ahli waris, karena mereka semua mempunyai hak untuk itu. Orang yang mengambil tetap berkewajiban mengembalikan-nya. Jika tidak mengembalikan, berarti dia telah berbuat zhalim. Maka di akhirat dia akan dituntut atas hak tersebut.
Lalu bagaimanakah caranya bertaubat agar dia terbebas dari tuntutan mereka? Ada yang berpendapat, caranya dengan menshadaqahkan harta itu atas nama pemilik aslinya dan ahli warisnya, sehingga harta itu terus berkembang manfaatnya dan mendatangkan pahala bagi mereka, sesuai dengan manfaat yang seharusnya mereka peroleh dari harta tersebut. []
Referensi: E-book Madarijus Salikin (Pendakian Menuju Allah)/Ibnu Qayyim Al-Jauziyah/Pustaka Al-Kautsar/1999Â